Resensi Buku "Menuju Kiblat Ilmu"
Menuju Kiblat Ilmu : Refleksi Mahasiswa Mesir
Judul Buku : Menuju Kiblat Ilmu : Panduan Studi di Universitas Al-Azhar Mesir
Nama Penulis : Cecep Taufikurrohman, S.Ag., M.A.
Nama Penerbit : PT Inkubator Penulis Indonesia
Tahun Terbit : 2017
ISBN : 978-602-60730-3-7
Jumlah Halaman : 246 Halaman
_______
Tepat pada hari Jum’at dini hari waktu Kairo, aku terbangun karena suara telepon genggamku berdering keras. Setelah aku cek, nomor yang muncul bukan nomor Mesir, sebab kode tidak muncul. Setelah aku angkat, diujung sana ada suara putus-putus menyapaku.
"Cep, Bapak ..., “ lalu suara itu putus.
Tidak lama kemudian, teleponku berdering lagi, aku segera sambar kembali, “Kamu harus bersabar ya, jangan banyak pikiran. Bapak,” ia tidak mampu meneruskan kata-katanya. Telepon kembali terputus.
“Cep, kamu sabar, ya. Bapak sudah tiada,” ucapnya singkat tanpa basa-basi. (Halaman 175-176)
* * *
Demikian ialah salah satu kenyataan pahit yang dialami seorang mahasiswa yang menuntut ilmu di luar negeri. Dalam ribuan angka yang terbentang dalam jarak antara Mesir dengan tanah air, Cecep, tokoh utama dalam buku ini, harus menghadapi suatu cobaan besar berupa kehilangan Ayah yang amat dicintainya. Diwaktu yang sama, ia tidak dapat pulang kembali untuk sekedar menyolatkan atau menatap terakhir kalinya sebab faktor ekonomi dan ujian yang sudah dekat. Sebuah kenyataan menyakitkan dimana tidak seorangpun menginginkannya, sekalipun tiada satupun yang kuasa menghindarinya.
Jangan sangka ini adalah sebuah cerita fiksi dimana kekuatan maupun kebebasan imajinasi penulisnya mengantarkan pembaca pada keadaan haru, terbawa perasaan, bahkan terinspirasi namun tidak menemuinya dalam dunia nyata. Buku Menuju Kiblat Ilmu ini merupakan sebuah refleksi kisah nyata penulis dalam lika-liku perjuangannya menuntut ilmu di Universitas Al Azhar.
Karena non fiksi, kekuatannya dalam menginspirasi jauh lebih besar. Bukti nyata pernah ada maupun saksi mata yang masih dapat ditemui, menjadikan berlipat-lipat pelajaran didapat. Tidak hanya itu, kita dapat berinteraksi langsung dengan penulis sekaligus tokoh utama dalam buku tersebut sehingga spirit perjuangan akan lebih mudah kita serap. Oleh karenanya, membaca buku ini sungguh amat menarik!
Lalu, siapakah Cecep itu?
Ia adalah seorang mahasiswa S2 Al-Azhar yang mengambil gelar sarjananya di Indonesia. Karena terhitung baru, ia harus mengejar banyak ketertinggalan dari rekan sebayanya yang telah berkecimpung di Al-Azhar sejak S1. Banyak tantangan harus diselesaikan. Diantaranya mempelajari bahasa ‘ammiyah (gaul mesir) sering digunakan dosen, berinteraksi dengan turats bahkan menghafalkannya, mencari biaya kuliah, serta mitos sulitnya studi S2 di Al-Azhar.
Mitos tentang kesulitan menempuh program S2 di Al-Azhar ini cukup mengusik pikirannya. Banyak sekali saudara, senior, dan orang yang dijumpainya mengatakan hal yang senada. Dalam sebuah kelas seorang dosen hanya akan meluluskan satu orang asing. Memang ada kemungkinan, namun banyaknya kawan asing yang cerdas kerap membuat Cecep ciut. Setiap kali kesusahan, ia akan teringat mitos yang selama ini didengarnya.
Namun Cecep ialah seorang yang tekun bahkan idealis. Jatuh bangun dihafalkannya materi diktat setiap saat. Ia tidak akan tidur kecuali setelah menguasai materi yang disampaikan dosen. Sampai-sampai ia dijuluki Sibawaih Indonesia oleh seorang dosen. Namun ketika ujian datang dan segenap persiapan matang telah dihadirkan, papan pengumuman tidak mengizinkan namanya tertulis sebagai mahasiswa yang lulus. Ia gagal dan harus mengulang. Diyakininya bahwa kegagalan bukan sebab mitos, melainkan kemampuannya yang belum layak diluluskan.
Perjalanannya tidak berhenti disitu. Di tahun kedua ia mengulang, selain terbebani usaha belajar yang harus lebih keras, faktor biaya kuliah yang cukup mengganggu pikirannya. Termasuk musibah kematian ayahnya ia terima sepuluh hari sebelum ujian. Namun pantang bagi Cecep untuk menyerah. Perasaan rindu kepada ayahnya ia korbankan.Dengan memutar otak, ia lalu bisa mendapatkan uang 1000 LE hanya dalam 2 hari. Bahkan ia menorehkan suatu hal fantastis lain, yakni biaya SPP kuliah yang dibayari oleh Rektor Al-Azhar langsung.
Apakah Cecep Lulus ujian? Bagaimana bisa dijuluki Sibawaih Indonesia? Bagaimana mungkin SPP kuliah dibiayai oleh rektor? Tentu, akan lebih bijak bilamana pembaca menemukannya sendiri dalam buku tersebut. Sehingga tiada pesan yang terlewat barung satu huruf.
Buku setebal 246 halaman ini sebenarnya tidak hanya berisi refleksi perjalanan penulis yang sarat makna. Didalamnya juga terdapat informasi tentang sejarah Mesir, Universitas Al-Azhar, kiat sukses studi, termasuk informasi prosedur pendaftarannya. Yang terakhir menjadi amat penting, sebab tidak sedikit mahasiswa gagal bahkan terlantar setibanya di Mesir akibat informasi yang tidak akurat.
Terus terang ketika saya membaca sinopsis buku bagian belakang, ketertarikan saya tidak sebesar sebelum saya melihatnya. Mulanya saya mengira buku ini semacam karya ilmiah yang berkaitan dengan Aqidah Filsafat sebagaimana cabang ilmu yang dipelajari penulis di Al -Azhar. Ternyata gambaran umum dalam sinopsis buku menjelaskan tentang panduan lengkap mewujudkan mimpi belajar di Al-Azhar. Bagi pembaca seperti saya ataupun masisir—istilah untuk menyingkat sebutan mahasiswa indonesia di mesir— lainya, tentu kurang menarik sebab telah melewati fase tersebut.
Adapun setelah membacanya perlahan saya menyadari pentingnya informasi panduan mendaftar Universitas Al-Azhar dicantumkan dalam buku ini. Hal itu ialah suatu bentuk tanggung jawab moral seorang penulis yang berkecimpung langsung dalam proses seleksi. Agar tidak terulang kembali pemberangkatan terjun bebas oleh pihak tidak bertanggung jawab yang menjadikan banyak mahasiswa Indonesia terlantar.
Walau demikian, buku ini tetap memikat bagi masisir karena hampir separuh isinya berbicara pengalaman penulis yang luar biasa ketika studi di Al Azhar. Sebagaimana pepatah mengatakan, “Experience is the best teacher,” tentu kita harap dapat mengais hikmah dari pengalaman yang, kita amat bersyukur, dituliskan secara renyah, ringan, dan enak dibaca.
Oleh karenanya, buku ini tidak berisi panduan lengkap pendaftaran saja atau hanya kisah perjalanan studi di mesir, melainkan kedua-duanya. Disinilah kita dapati kelebihan buku ini. Sasaran pembaca dapat mencangkup segmen yang lebih luas. Baik bagi pembaca yang ingin menembus mimpi belajar di Al-Azhar maupun yang sudah berhasil merasakan belajar di kampus tertua ini.
Selain itu, kualitas kertas yang bagus, desaign cover yang menarik, dan bahasa penulis yang renyah, memudahkan kita menyerap ibrah yang sewaktu-waktu dapat kita terapkan.dalam kehidupan. Sebagaimana ketika membaca buku biografi, secara tidak sadar, segala polah tingkah laku penulis akan sedikit banyak mempengaruhi kita.
Bahkan saya membayangkan bahwa penulis ialah seorang Fahri versi non fiksi dalam tokoh Ayat-Ayat Cinta yang amat populer. Getah perjuangan, keberanian, dan kecerdasannya, apabila dituliskan lebih detail, saya rasa tidak kalah dengan Fahri versi fiksi. Barangkali poligami saja yang membedakan. Hehe.
Kemudian dalam tulisan ini saya akan menyorot beberapa refleksi, tentu dalam kapasitas saya sebagai seorang mahasiswa, yang dapat kita ambil sebagai ibrah dalam perjuangan menuntut ilmu, khususnya para penuntut ilmu di Universitas Al-Azhar. Diantaranya adalah :
Satu, buku ini hadir dikalangan masisir sebagai obat dari penyakit yang mustahil tidak diderita oleh para penuntut ilmu, yaitu malas. Didukung sistem pembelejaran Al-Azhar yang tidak mengabsen mahasiswanya, penyakit ini semakin ganas berkembang. Dalam menyembuhkannya, ada yang cukup dengan memotivasi diri sendiri, adapula yang membutuhkan faktor eksternal. Maka buku ini hadir sebagai faktor luar yang menyembuhkan penyakit berbahaya tersebut. Sikap malas, mengeluh, dan menyerah kita akan disentil oleh perjuangan dan ketekunan penulis. Bahwa kesuksesan meniscayakan perjuangan dan meniadakan kemalasan.
Dua, idealisme. Tan Malaka pernah mengatakan, “Kemewahan terkahir yang dimiliki oleh seorang pemuda adalah idealisme”. Dewasa ini, semakin langka kita temukan pemuda berwatak idealis. Kalaupun ada, tidak bertahan lama atau kandas terbentur realitas. Sebagian besar terjebak dalam kotak pemikiran pragmatis. Maka prinsip penulis untuk selalu hadir dalam perkuliahan dan idealisme tidak percaya mitos ketidakadilan studi S2, mengantarkannya kedepan gerbang kesuksesan. Menyadarkan kita, seberat apapun beban dan seterjal apapun jalan, selama idealisme dalam genggaman, kesuksesan hanya soal waktu ada dalam dekapan, sekalipun penuh aral rintangan.
Tiga, nekat. Orang bijak berkata bahwa yang membedakan antara pemimpi dan pemimpin ialah huruf ‘n’, adapun ‘n’ bermakna nekat. Mental nekat yang ditularkan dalam buku ini ialah tidak menerima kenyataan begitu saja. Selama masih bisa diperjuangkan, tidak ada yang dapat dimustahilkan. Barangkali tanpa nekat penulis tidak dapat lulus ujian atau bahkan dibiayai SPP oleh rektor. Kita seringkali menyerah dengan keadaan, sebelum mencoba berbagai kemungkinan. Menyerah bahkan sebelum memulai pertandingan.
Ketiga hal tersebut ideal bilamana dimiliki dalam jati diri penuntut ilmu. Lebih-lebih dalam usia belia. Apabila ketiga hal tersebut ada pada diri seorang, ia akan menjadi katalisator yang mengantarkan kepada samudra ilmu yang lebih luas dan penuh hikmah.
Pepatah mengatakan buku yang sempurna ialah buku yang tidak pernah dituliskan. Kesempurnaan mutlak milik Allah tanpa ada hak kita mengklaimnya. Termasuk buku ini juga tidak lepas dari kekurangan seperti beberapa kesalahan penulisan maupun tanda baca. Daftar pustaka yang tidak disertakan juga mengurangi keilmiahan buku. Walau demikian, sama sekali tidak mengurangi kenikmatan dalam meneguk setiap tetes ilmu yang terpancar darinya. Selamat membaca!
Judul Buku : Menuju Kiblat Ilmu : Panduan Studi di Universitas Al-Azhar Mesir
Nama Penulis : Cecep Taufikurrohman, S.Ag., M.A.
Nama Penerbit : PT Inkubator Penulis Indonesia
Tahun Terbit : 2017
ISBN : 978-602-60730-3-7
Jumlah Halaman : 246 Halaman
_______
Tepat pada hari Jum’at dini hari waktu Kairo, aku terbangun karena suara telepon genggamku berdering keras. Setelah aku cek, nomor yang muncul bukan nomor Mesir, sebab kode tidak muncul. Setelah aku angkat, diujung sana ada suara putus-putus menyapaku.
"Cep, Bapak ..., “ lalu suara itu putus.
Tidak lama kemudian, teleponku berdering lagi, aku segera sambar kembali, “Kamu harus bersabar ya, jangan banyak pikiran. Bapak,” ia tidak mampu meneruskan kata-katanya. Telepon kembali terputus.
“Cep, kamu sabar, ya. Bapak sudah tiada,” ucapnya singkat tanpa basa-basi. (Halaman 175-176)
* * *
Demikian ialah salah satu kenyataan pahit yang dialami seorang mahasiswa yang menuntut ilmu di luar negeri. Dalam ribuan angka yang terbentang dalam jarak antara Mesir dengan tanah air, Cecep, tokoh utama dalam buku ini, harus menghadapi suatu cobaan besar berupa kehilangan Ayah yang amat dicintainya. Diwaktu yang sama, ia tidak dapat pulang kembali untuk sekedar menyolatkan atau menatap terakhir kalinya sebab faktor ekonomi dan ujian yang sudah dekat. Sebuah kenyataan menyakitkan dimana tidak seorangpun menginginkannya, sekalipun tiada satupun yang kuasa menghindarinya.
Jangan sangka ini adalah sebuah cerita fiksi dimana kekuatan maupun kebebasan imajinasi penulisnya mengantarkan pembaca pada keadaan haru, terbawa perasaan, bahkan terinspirasi namun tidak menemuinya dalam dunia nyata. Buku Menuju Kiblat Ilmu ini merupakan sebuah refleksi kisah nyata penulis dalam lika-liku perjuangannya menuntut ilmu di Universitas Al Azhar.
Karena non fiksi, kekuatannya dalam menginspirasi jauh lebih besar. Bukti nyata pernah ada maupun saksi mata yang masih dapat ditemui, menjadikan berlipat-lipat pelajaran didapat. Tidak hanya itu, kita dapat berinteraksi langsung dengan penulis sekaligus tokoh utama dalam buku tersebut sehingga spirit perjuangan akan lebih mudah kita serap. Oleh karenanya, membaca buku ini sungguh amat menarik!
Lalu, siapakah Cecep itu?
Ia adalah seorang mahasiswa S2 Al-Azhar yang mengambil gelar sarjananya di Indonesia. Karena terhitung baru, ia harus mengejar banyak ketertinggalan dari rekan sebayanya yang telah berkecimpung di Al-Azhar sejak S1. Banyak tantangan harus diselesaikan. Diantaranya mempelajari bahasa ‘ammiyah (gaul mesir) sering digunakan dosen, berinteraksi dengan turats bahkan menghafalkannya, mencari biaya kuliah, serta mitos sulitnya studi S2 di Al-Azhar.
Mitos tentang kesulitan menempuh program S2 di Al-Azhar ini cukup mengusik pikirannya. Banyak sekali saudara, senior, dan orang yang dijumpainya mengatakan hal yang senada. Dalam sebuah kelas seorang dosen hanya akan meluluskan satu orang asing. Memang ada kemungkinan, namun banyaknya kawan asing yang cerdas kerap membuat Cecep ciut. Setiap kali kesusahan, ia akan teringat mitos yang selama ini didengarnya.
Namun Cecep ialah seorang yang tekun bahkan idealis. Jatuh bangun dihafalkannya materi diktat setiap saat. Ia tidak akan tidur kecuali setelah menguasai materi yang disampaikan dosen. Sampai-sampai ia dijuluki Sibawaih Indonesia oleh seorang dosen. Namun ketika ujian datang dan segenap persiapan matang telah dihadirkan, papan pengumuman tidak mengizinkan namanya tertulis sebagai mahasiswa yang lulus. Ia gagal dan harus mengulang. Diyakininya bahwa kegagalan bukan sebab mitos, melainkan kemampuannya yang belum layak diluluskan.
Perjalanannya tidak berhenti disitu. Di tahun kedua ia mengulang, selain terbebani usaha belajar yang harus lebih keras, faktor biaya kuliah yang cukup mengganggu pikirannya. Termasuk musibah kematian ayahnya ia terima sepuluh hari sebelum ujian. Namun pantang bagi Cecep untuk menyerah. Perasaan rindu kepada ayahnya ia korbankan.Dengan memutar otak, ia lalu bisa mendapatkan uang 1000 LE hanya dalam 2 hari. Bahkan ia menorehkan suatu hal fantastis lain, yakni biaya SPP kuliah yang dibayari oleh Rektor Al-Azhar langsung.
Apakah Cecep Lulus ujian? Bagaimana bisa dijuluki Sibawaih Indonesia? Bagaimana mungkin SPP kuliah dibiayai oleh rektor? Tentu, akan lebih bijak bilamana pembaca menemukannya sendiri dalam buku tersebut. Sehingga tiada pesan yang terlewat barung satu huruf.
Buku setebal 246 halaman ini sebenarnya tidak hanya berisi refleksi perjalanan penulis yang sarat makna. Didalamnya juga terdapat informasi tentang sejarah Mesir, Universitas Al-Azhar, kiat sukses studi, termasuk informasi prosedur pendaftarannya. Yang terakhir menjadi amat penting, sebab tidak sedikit mahasiswa gagal bahkan terlantar setibanya di Mesir akibat informasi yang tidak akurat.
Terus terang ketika saya membaca sinopsis buku bagian belakang, ketertarikan saya tidak sebesar sebelum saya melihatnya. Mulanya saya mengira buku ini semacam karya ilmiah yang berkaitan dengan Aqidah Filsafat sebagaimana cabang ilmu yang dipelajari penulis di Al -Azhar. Ternyata gambaran umum dalam sinopsis buku menjelaskan tentang panduan lengkap mewujudkan mimpi belajar di Al-Azhar. Bagi pembaca seperti saya ataupun masisir—istilah untuk menyingkat sebutan mahasiswa indonesia di mesir— lainya, tentu kurang menarik sebab telah melewati fase tersebut.
Adapun setelah membacanya perlahan saya menyadari pentingnya informasi panduan mendaftar Universitas Al-Azhar dicantumkan dalam buku ini. Hal itu ialah suatu bentuk tanggung jawab moral seorang penulis yang berkecimpung langsung dalam proses seleksi. Agar tidak terulang kembali pemberangkatan terjun bebas oleh pihak tidak bertanggung jawab yang menjadikan banyak mahasiswa Indonesia terlantar.
Walau demikian, buku ini tetap memikat bagi masisir karena hampir separuh isinya berbicara pengalaman penulis yang luar biasa ketika studi di Al Azhar. Sebagaimana pepatah mengatakan, “Experience is the best teacher,” tentu kita harap dapat mengais hikmah dari pengalaman yang, kita amat bersyukur, dituliskan secara renyah, ringan, dan enak dibaca.
Oleh karenanya, buku ini tidak berisi panduan lengkap pendaftaran saja atau hanya kisah perjalanan studi di mesir, melainkan kedua-duanya. Disinilah kita dapati kelebihan buku ini. Sasaran pembaca dapat mencangkup segmen yang lebih luas. Baik bagi pembaca yang ingin menembus mimpi belajar di Al-Azhar maupun yang sudah berhasil merasakan belajar di kampus tertua ini.
Selain itu, kualitas kertas yang bagus, desaign cover yang menarik, dan bahasa penulis yang renyah, memudahkan kita menyerap ibrah yang sewaktu-waktu dapat kita terapkan.dalam kehidupan. Sebagaimana ketika membaca buku biografi, secara tidak sadar, segala polah tingkah laku penulis akan sedikit banyak mempengaruhi kita.
Bahkan saya membayangkan bahwa penulis ialah seorang Fahri versi non fiksi dalam tokoh Ayat-Ayat Cinta yang amat populer. Getah perjuangan, keberanian, dan kecerdasannya, apabila dituliskan lebih detail, saya rasa tidak kalah dengan Fahri versi fiksi. Barangkali poligami saja yang membedakan. Hehe.
Kemudian dalam tulisan ini saya akan menyorot beberapa refleksi, tentu dalam kapasitas saya sebagai seorang mahasiswa, yang dapat kita ambil sebagai ibrah dalam perjuangan menuntut ilmu, khususnya para penuntut ilmu di Universitas Al-Azhar. Diantaranya adalah :
Satu, buku ini hadir dikalangan masisir sebagai obat dari penyakit yang mustahil tidak diderita oleh para penuntut ilmu, yaitu malas. Didukung sistem pembelejaran Al-Azhar yang tidak mengabsen mahasiswanya, penyakit ini semakin ganas berkembang. Dalam menyembuhkannya, ada yang cukup dengan memotivasi diri sendiri, adapula yang membutuhkan faktor eksternal. Maka buku ini hadir sebagai faktor luar yang menyembuhkan penyakit berbahaya tersebut. Sikap malas, mengeluh, dan menyerah kita akan disentil oleh perjuangan dan ketekunan penulis. Bahwa kesuksesan meniscayakan perjuangan dan meniadakan kemalasan.
Dua, idealisme. Tan Malaka pernah mengatakan, “Kemewahan terkahir yang dimiliki oleh seorang pemuda adalah idealisme”. Dewasa ini, semakin langka kita temukan pemuda berwatak idealis. Kalaupun ada, tidak bertahan lama atau kandas terbentur realitas. Sebagian besar terjebak dalam kotak pemikiran pragmatis. Maka prinsip penulis untuk selalu hadir dalam perkuliahan dan idealisme tidak percaya mitos ketidakadilan studi S2, mengantarkannya kedepan gerbang kesuksesan. Menyadarkan kita, seberat apapun beban dan seterjal apapun jalan, selama idealisme dalam genggaman, kesuksesan hanya soal waktu ada dalam dekapan, sekalipun penuh aral rintangan.
Tiga, nekat. Orang bijak berkata bahwa yang membedakan antara pemimpi dan pemimpin ialah huruf ‘n’, adapun ‘n’ bermakna nekat. Mental nekat yang ditularkan dalam buku ini ialah tidak menerima kenyataan begitu saja. Selama masih bisa diperjuangkan, tidak ada yang dapat dimustahilkan. Barangkali tanpa nekat penulis tidak dapat lulus ujian atau bahkan dibiayai SPP oleh rektor. Kita seringkali menyerah dengan keadaan, sebelum mencoba berbagai kemungkinan. Menyerah bahkan sebelum memulai pertandingan.
Ketiga hal tersebut ideal bilamana dimiliki dalam jati diri penuntut ilmu. Lebih-lebih dalam usia belia. Apabila ketiga hal tersebut ada pada diri seorang, ia akan menjadi katalisator yang mengantarkan kepada samudra ilmu yang lebih luas dan penuh hikmah.
Pepatah mengatakan buku yang sempurna ialah buku yang tidak pernah dituliskan. Kesempurnaan mutlak milik Allah tanpa ada hak kita mengklaimnya. Termasuk buku ini juga tidak lepas dari kekurangan seperti beberapa kesalahan penulisan maupun tanda baca. Daftar pustaka yang tidak disertakan juga mengurangi keilmiahan buku. Walau demikian, sama sekali tidak mengurangi kenikmatan dalam meneguk setiap tetes ilmu yang terpancar darinya. Selamat membaca!
Kalau mau beli buku ini di mana z min..?
BalasHapusTolong bls minn..
Sangat oenting..!