Bunga Rampai Catatan Harian (15) : 5 Bulan!
Senin, 26 Februari 2018
Hari ini tepat 5 bulan atau sekitar 153 hari saya menjalani hidup di Negeri Seribu Menara ini. Hari-hari saya berlalu bersama kebudayaan dan kearifan lokal yang masih coba saya pelajari. Persoalan tentang adaptasi dalam skala efektif masih benar-benar harus terus digali. Silih berganti kejadian dan perkataan sedikit banyak membuat saya harus berfikir dan terus merenung. Dibandingkan 5 bulan sebelumnya, dalam berjalannya waktu, adakah saya memiliki peningkatan atau justru turun tingkat?
Bagaimana kabar ibadah saya? Sholat-sholat sunnah yang dahulu sering menemani kesibukan-kesibukan? Dhuha Tahajud masihkah hadir sebagai kebutuhan? Sedekah Jum’at? Keberpihakan kepada kaum pinggiran? Kalau dipikir-pikir lagi, beberapa hal tidak lagi segencar dahulu. Saya sangat menyesalkan ini. Jauh-jauh meninggalkan kampung halaman, orang tua, sanak saudara, dengan harapan kian dekat dengan Tuhan pemiliki segala Ilmu; justru tiada peningkatan dalam hal ini atau, dengan kata lain, malah terjadi degradasi spiritualitas. Boleh jadi wawasan kita banyak bertambah seiring perjalanan kita menyerap Bumi Kiblat ilmu ini. Namun bila tidak semakin mendekatkan kepada Allah, Apa yang mau dibanggakan? Dan tentu saja, diantara perwujudannya ialah melalui ibadah-ibadah sunnah.
Dalam hal ini, saya merasa praktek tasawuf dan tarekat yang cukup banyak disni dapat menjadi obat. Perjalanan spiritual saya di Alexandria lalu cukup membuka pandangan sempit saya tentang sufi. Setidaknya, dengan mendalami sekaligus mengamalkannya dapat menjadi embun ditengah kegersangan spritualitas saya.
Akhirnya, saya hanya dapat menanyakan pertanyaan yang sejatinya jawaban ada pada diri sendiri : apa kabar resolusi?
Rabu, 28 Februari 2018
Ketika mendengar cerita keberanian teman-teman di Qo’ah lain ketika DL, baik dalam menjawab atau menunjukkan kemampuan, saya merasa seolah tertampar keras. Saya juga tidak mengerti mengapa mental berani hasil didikan Mu’allimin dahulu, hanya meletup di paruh-paruh awal DL saja. Di pertengahan hingga belakangan ini, berbagai kesempatan yang cukup menggoda cenderung saya abaikan atau persilahkan teman-teman lain. Saya seolah kehilangan nafsu dalam melibas pertanyaan-pertanyaan dan panggung keberanian. Ada apa sebenarnya?
Padahal, kalau saja saya mau mengambilnya, tidak hanya kualitas saya meningkat, namun juga kenyamanan hati dalam membersamai proses DL. Bukankah apa yang nampak diluar ialah proyeksi bagaimana hati didalam? Sekeras apapun bersandiwara, kalau hati tidak senada, semesta tetap akan tau kita tiada menikmatinya.
Saya harap besok-besok dapat lebih bersahabat dengan hati dan pikiran saya. Sekalipun pragmatis, saya harus terus berkembang dan hati saya harus nyaman. Bagaimanapun caranya.
Hari ini tepat 5 bulan atau sekitar 153 hari saya menjalani hidup di Negeri Seribu Menara ini. Hari-hari saya berlalu bersama kebudayaan dan kearifan lokal yang masih coba saya pelajari. Persoalan tentang adaptasi dalam skala efektif masih benar-benar harus terus digali. Silih berganti kejadian dan perkataan sedikit banyak membuat saya harus berfikir dan terus merenung. Dibandingkan 5 bulan sebelumnya, dalam berjalannya waktu, adakah saya memiliki peningkatan atau justru turun tingkat?
Bagaimana kabar ibadah saya? Sholat-sholat sunnah yang dahulu sering menemani kesibukan-kesibukan? Dhuha Tahajud masihkah hadir sebagai kebutuhan? Sedekah Jum’at? Keberpihakan kepada kaum pinggiran? Kalau dipikir-pikir lagi, beberapa hal tidak lagi segencar dahulu. Saya sangat menyesalkan ini. Jauh-jauh meninggalkan kampung halaman, orang tua, sanak saudara, dengan harapan kian dekat dengan Tuhan pemiliki segala Ilmu; justru tiada peningkatan dalam hal ini atau, dengan kata lain, malah terjadi degradasi spiritualitas. Boleh jadi wawasan kita banyak bertambah seiring perjalanan kita menyerap Bumi Kiblat ilmu ini. Namun bila tidak semakin mendekatkan kepada Allah, Apa yang mau dibanggakan? Dan tentu saja, diantara perwujudannya ialah melalui ibadah-ibadah sunnah.
Dalam hal ini, saya merasa praktek tasawuf dan tarekat yang cukup banyak disni dapat menjadi obat. Perjalanan spiritual saya di Alexandria lalu cukup membuka pandangan sempit saya tentang sufi. Setidaknya, dengan mendalami sekaligus mengamalkannya dapat menjadi embun ditengah kegersangan spritualitas saya.
Akhirnya, saya hanya dapat menanyakan pertanyaan yang sejatinya jawaban ada pada diri sendiri : apa kabar resolusi?
Rabu, 28 Februari 2018
Ketika mendengar cerita keberanian teman-teman di Qo’ah lain ketika DL, baik dalam menjawab atau menunjukkan kemampuan, saya merasa seolah tertampar keras. Saya juga tidak mengerti mengapa mental berani hasil didikan Mu’allimin dahulu, hanya meletup di paruh-paruh awal DL saja. Di pertengahan hingga belakangan ini, berbagai kesempatan yang cukup menggoda cenderung saya abaikan atau persilahkan teman-teman lain. Saya seolah kehilangan nafsu dalam melibas pertanyaan-pertanyaan dan panggung keberanian. Ada apa sebenarnya?
Padahal, kalau saja saya mau mengambilnya, tidak hanya kualitas saya meningkat, namun juga kenyamanan hati dalam membersamai proses DL. Bukankah apa yang nampak diluar ialah proyeksi bagaimana hati didalam? Sekeras apapun bersandiwara, kalau hati tidak senada, semesta tetap akan tau kita tiada menikmatinya.
Saya harap besok-besok dapat lebih bersahabat dengan hati dan pikiran saya. Sekalipun pragmatis, saya harus terus berkembang dan hati saya harus nyaman. Bagaimanapun caranya.
Komentar
Posting Komentar