Sowan Guru
Salah satu dilematis ketika memutuskan untuk pulang di masa-masa ini ialah ketika hendak silaturahmi tetapi sungkan. Ingin sekali rasanya bertemu sowan dengan kyai, asatiz dan para tokoh setempat namun masih tidak enakan. Tidak lain karena pandemi yang masih belum mendingan dan kondisi saya yang baru safar dari luar negeri.
Hal ini tentu tidak berlaku bagi teman-teman saya. Meski masih PPKM, begitu 1 minggu full saya hanya di rumah sejak kedatangan, praktis setelah itu saya bisa menemui mereka. Tentu dengan prokes yang berlaku.
Akhirnya, 2-3 minggu awal saya di rumah relatif dimaksimalkan untuk menemui kawan-kawan lama, merawat pertemanan yang ada sekalipun kian menyempit.
Orangtua saya cukup ketat prokes sehingga awalnya membatasi untuk banyak keluar. Selain karena Klaten termasuk kota tertinggi korban Covid di Jateng, desa saya sendiri telah berduka kehilangan banyak tokoh. Barulah setelah dapat vaksin pertama saya dikasih ke Jogja. Itupun masih hanya ketemu kawan lama.
Ya itu tadi, masih sungkan untuk menemui para guru kami di Muallimin karena di sana sudah menerapkan sistem offline 40% dan tentu dengan prokes ketat. Tidak sembarang orang bisa masuk, alumni sekalipun.
Memasuki awal minggu keempat, mulai ada sedikit celah. Berawal dari ketidaksengajaan bertemu Ustaz Purwanto di Masjid Wakaf Patangpuluhan sebelumnya, setelah beramah-tamah, beliau menawarkan saya untuk khutbah di Masjid Muallimin Sedayu. Saat itu saya belum menyanggupi karena sudah diminta duluan di rumah. Padahal itu kesempatan, tapi ya mau bagaimana. Saya menolak namun masih saja kepikiran.
Inisiatif selanjutnya muncul setelah mengetahui teman satu kelas saya Auliaurrahman dulu ternyata menjadi musyrif di Muallimin Sedayu. Langsung saja saya kontak menanyakan kemungkinan untuk berkunjung. Katanya, masih agak gambling. Kadang mudah, tidak jarang satpam juga mempersulit dan harus izin dulu ke pimpinan.
Untuk memperbesar peluang pertama, saya iseng bertanya siapa saja yang biasa khatib di sana sambil menceritakan pertemuan dengan Ustaz Pur sebelumnya. Tentu tidak elok dan tidak njawani kalo tiba-tiba minta khutbah. Syukur Aulia paham arah pembicaraan saya. Akhirnya dia menawarkan agar saya berkunjung sekaligus bertugas menjadi khatib jumat selanjutnya. Perizinan dia yang urus. Nah, itu lho yang saya harapkan. Hehe.
Pada Jum'at selanjutnya, begitu memasuki kampus terpadu Muallimin Sedayu, tujuan saya langsung ke Masjid Hajjah Yuliana. Salah satu bangunan yang lebih dulu diselesaikan untuk kegiatan utama para santri. Sejenak saya terkesima dengan nuansa elegan dan futuristiknya. Ada sedikit sentuhan lokal yang menjadikan perpaduan modern dan klasik menyulap masjid ini kian sempurna. Jauh lebih indah dari apa yang terlihat di foto.
Menurut informasi, pembangunan masjid ini 100% didanai oleh Yendra Fahmi, seorang pengusaha Muhammadiyah asal Minang. Ia ingin agar nama almarhumah ibundanya Hajjah Yuliana disematkan sebagai baktinya pada orangtua.
* * *
Saat mata saya masih asyik memandangi arsitektur masjid tersebut, tiba-tiba Ustaz Ahmad Salim datang menemui kami. Kebetulan beliau pamong asrama di kompleks terpadu ini. Langsung saja saya jabat tangan beliau dan kami berpelukan.
Ada perasaan haru luar biasa dapat kembali bertemu sosok yang dulu amat berjasa membantu kami persiapan tes timteng. Ya motivasi, bimbingan, apalagi kesabaran menghadapi kami yang bebal. Masih teringat betul bagaimana dulu beliau selalu bersedia kami datangi selepas subuh di asrama 6 untuk belajar qiraatul kutub.
Begitu masuk waktu Zuhur, akhirnya saya naik mimbar. Seorang santri lalu mendendangkan azan dengan merdu. Tidak banyak yang saya sampaikan melainkan hanya motivasi kecil-kecilan dalam semangat belajar. Sebuah khutbah yang baru disiapkan beberapa jam sebelumnya. Kebiasaan yang keterlaluan memang.
Untungnya bisa dipahami, terlihat dari anggukan serius beberapa jamaah yang hampir semua ialah santri kelas satu tsanawiyah. Meski, seperti biasanya anak pesantren, ada saja yang tertunduk khusyuk terlelap kelelahan. Dan saya sangat memaklumi hal itu. Memaklumi karena dulu juga sering (banget) begitu.
Selesai khutbah dan salat, ternyata sedari tadi sudah hadir Ustaz Royyan Utsani ikut jum'atan di masjid. Kami memang sempat janjian mau bertemu di rumah beliau, namun malah beliau yang menyempatkan ke sini. Akhirnya, sebelum kami beramah-tamah, Ustaz Salim meminta saya dan Ustaz Royan untuk sharing dan berbagi motivasi ke adek-adek kelas satu.
Begitu beres dan para santri mulai meninggalkan masjid untuk makan siang, kami menetap di masjid untuk berbincang. Tentu saja diawali dengan pembahasan kondisi Mesir, mengingat kami bertiga sama-sama pernah nyantri di Al-Azhar. Bedanya, beliau berdua ialah guru saya dan sudah lama lulus, sementara saya tetap murid dan hanya anak kemaren sore. Saya jadi ingat kalau dulu Ustaz Royan suka memberi hadiah roti GS Coklat Smessco bagi santri yang bisa menjawab pertanyaan nahwunya.
Setelah itu, dan ini yang paling inti dari sowan dan kunjungan ini, saya meminta nasihat dari beliau berdua. Soal semangat belajar, studi lanjut, dan ngangsu kawruh tentang ilmu kehidupan. Mungkin akan terlalu panjang kalau lanjut saya tuliskan. Toh, yang paling penting dari nasihat itu ialah pengamalan itu sendiri.
Dan pertemuan-pertemuan semacam ini, entah mengapa, bagi saya selalu punya daya magis untuk melahirkan gairah baru dalam menjalani hidup. Mungkin karena fitrah manusia itu membutuhkan kepada yang lainnya. Apalagi seorang murid, apalah ia tanpa gurunya.
Mudah-mudahan Allah menjaga para guru kita...
Komentar
Posting Komentar