Sebuah Renungan
Beberapa waktu lalu, saat perjalanan pulang dari Jogja menuju Klaten, saya mampir di Rest Area daerah sebelum Prambanan. Kebetulan waktu Zuhur juga telah masuk. Sekalian istirahat sebentar.
Selesai shalat dan membaca beberapa wirid zikir, sambil bersandar istirahat pada dinding masjid, saya kepikiran beberapa hal. Menempuh perjalanan sendiri begini memang seringkali memicu beberapa perenungan.
Pertama, munculnya perasaan amat bersyukur dapat kesempatan bisa sholat zuhur di masjid berjamaah pada awal waktu. Lengkap dengan beberapa ritual sunah lainnya seperti qabliyah-ba'diyah. Suatu kemewahan yang barangkali cukup langka saya rasakan di tengah padatnya aktivitas harian biasanya, terutama saat kondisi perjalanan.
Hampir 4 tahun di Mesir, tidak jarang kesempatan untuk bisa shalat berjamaah di masjid pada awal waktu harus terlewatkan saat sedang dalam perjalanan. Hal ini karena transportasi yang kami gunakan secara umum ialah bus-bus kota. Cukup repot untuk sekedar mampir masjid saat waktu sholat tiba. Selain bisa telat karena harus menunggu lagi bus, beberapa masjid juga tidak terletak tepat dipinggir jalan bus sehingga harus jalan lagi.
Tentu ini berbeda dengan kondisi Indonesia yang mayoritas pengguna kendaraan pribadi sehingga bisa mampir sekehendak hati.
Lagipula, di Mesir tidak banyak mahasiswa yang membutuhkan motor pribadi. Selain karena transportasi umum sudah memadai, riskan juga terjadi pencurian kalo punya motor lalu parkir sembarangan. Maka bisa mampir sholat pada waktunya dengan perasaan aman atas motor yang diparkirkan itu ialah suatu kenikmatan tersendiri. Sangat layak disyukuri.
Kedua, ada ketenteraman hati yang luar biasa ketika dengan sadar mampu memutuskan untuk bergegas menyambut panggilan azan menuju masjid. Ketentraman itu semakin deras terasa saat dapat duduk tenang di antara azan dan iqomah. Hiruk-pikuk kesibukan dunia seolah berhenti, berganti dengan perasaan tenang dan sejuk yang mendalam. Pada saat itu, siapapun bisa dengan khidmat melangitkan doa dan harapan pada waktu mustajab.
Namun di waktu yang sama, timbul juga perasaan malu terhadap diri sendiri yang sudah mengetahui keutamaan dan kenyamanan ini namun seringkali masih menunda, bahkan tidak menunaikannya dengan kesadaran. Asal berangkat ke masjid karena ada wajib sholat dan kebetulan lingkungan sekitar juga biasa melaksanakannya. Sekedar rutinitas tanpa ruh.
Gejolak perasaan ini mungkin semacam panggilan kerinduan atas sesuatu yang dulu pernah dijaga baik-baik sebelum akhirnya perlahan terkikis oleh nilai dan tantangan lain yang lebih besar.
Ketiga, setelah merasa tentram sekaligus malu tadi, ada semacam kesadaran yang pahit namun harus saya akui: beberapa nilai telah menjadi luntur seiring meluasnya perjalanan.
Setiap orang merantau dengan berbagai latar belakang dan sepaket nilai yang dijunjung tinggi. Begitu sampai, nilai tersebut diuji baik ketepatan maupun kemampuan adaptifnya menyesuaikan kondisi setempat. Ada yang berhasil tetap terjaga, tidak sedikit juga yang menjadi luntur.
Dan diantara nilai yang telah luntur tersebut ialah semangat untuk shalat berjamaah di masjid pada awal waktu. Setidaknya bagi saya.
Dulu, beberapa tahun nilai itu pernah menjadi semacam pegangan dalam setiap kesibukan saya. Dimana saja dan sesibuk apapun, selama masih memungkinkan, usahakan untuk bisa bergegas shalat berjamaah di awal waktu. Di masjid.
Harus diakui, sebagian kecil hati saya saat itu cukup 'pragmatis' dengan obsesi agar dapat kesempatan melangitkan doa yang berupa mimpi dan harapan pada waktu mustajab. Setiap punya keinginan ya dibawa dalam ibadah dan disiplin shalat di awal waktu (Alhamdulillah memang terbukti ampuh sih hehe).
Meski begitu, saya juga tidak mengingkari kalau merasakan dampak ketenangan batin yang luar biasa. Semacam obat atas segala kegundahan. Sampai kalau ketinggalan shalat qobliyah saja bisa menyesal betul. Apalagi masbuk.
Begitu tiba di Mesir, nilai tersebut masih coba saya pegang. Karena di negara Arab, saya mengira akan mendapati lingkungan yang mendukung untuk menyuburkan nilai tersebut. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Nilai itu kian tergerus. Di situ saya merasakan sekali beratnya mencoba tetap teguh memegang idealisme-meskipun belakangan saya mulai mengerti bahwa hal ini bukan sesuatu yang kaku.
Tidak semua hal bisa saya sebutkan di sini sebabnya. Yang jelas, beberapa kondisi seperti transportasi tadi dan cukup padatnya beberapa jadwal pembelajaran menjadi salah satu alasan yang dimaklumi. Untuk yang terakhir ini, bahkan kami diajari bahwa belajar itu yang harus diutamakan karena wajib hukumnya sementara solat berjamaah di masjid tidak wajib menurut jumhur.
Hanya saja, mengetahui hukum suatu hal tanpa kedewasaan menyikapinya terkadang melahirkan berbagai pembenaran. Karena tau tidak wajib, lantas bermudah-mudahan untuk meninggalkannya. Karena tau tidak wajib, lantas mendahulukan hal lainnya yang padahal bukan kepentingan belajar. Dan berbagai pembenaran lainnya yang menjadikan hati tidak lagi gelisah saat ketinggalan shalat berjamaah di awal waktu. Padahal di sana ada fadhilah (keutamaan) dan etika bagaimana sebaiknya seorang penuntut ilmu.
Ya, setidaknya itulah yang saya rasakan, sedih sekali kehilangan berbagai nilai itu. Yasudah, karena masjid juga mulai sepi dan istirahat dirasa cukup, saya bergegas untuk kembali memacu sepeda motor saya ke Klaten. Bertemu keluarga dan masyarakat sendiri mungkin bisa menjadi kesempatan untuk berbenah. Semoga saja.
Klaten, 6 September 2021.
Komentar
Posting Komentar