Refleksi Akhir Tahun 2020
Tahun ini memang berat. Setidaknya bagi sebagian besar orang, tidak terkecuali saya sendiri. Banyak hal tidak diharapkan terjadi. Target dan mimpi-mimpi harus pupus seiring dengan berbagai kesedihan yang datang menghampiri. Keluarga-kerabat perlahan juga berkurang satu persatu dipanggil oleh Allah. Cukuplah kehadiran wabah Corona menjadi salah satu tokoh di balik semua duka ini. Sebuah peristiwa yang menjadikan tahun ini begitu berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Hanya saja, perlu selalu kita sadari bahwa ini semua tidak terjadi melainkan atas kehendak Allah Tuhan Semesta Alam. Dan cukuplah ini sebagai pengingat, bahwa bagi seorang muslim, tidaklah Allah menetapkan sesuatu untuk hambanya kecuali di dalamnya terdapat hikmah dan kebaikan. Itu yang harus selalu diingat, sebuah kunci agar hidup tetap tenang.
Di tahun yang cukup krusial ini, beberapa peristiwa silih berganti cukup menguras tenaga dan pikiran. Perlu waktu yang tidak singkat untuk dapat benar-benar berdamai dengan diri sendiri, memastikan bahwa semuanya tidak apa-apa. Butuh tekad berlipat-lipat untuk sekedar meyakinkan diri agar sudi kembali melangkah, melengkapi sisa kepingan hidup dengan penuh arti. Semuanya amat melelahkan namun mesti dijalani.
Di tahun ini, rencana pulang saya gagal. Keinginan untuk melepas rindu bersama keluarga, bertemu teman-teman dan silaturahim guru-guru harus tertunda. Mungkin ini terkesan sepele. Toh, tidak sedikit masisir yang baru pulang setelah 4 tahun bahkan setelah lulus. Saya sendiri sebetulnya cukup mampu menahan rasa rindu terhadap mereka, tapi entah dengan Ibu dan Bapak saya.
Di tanah rantau, saya mendapat banyak teman dan keluarga, sama sekali jarang merasa kesepian. Saya rasa Adek saya di Yogyakarta juga demikian. Tapi bagaimana dengan Ibu dan Bapak saya yang hanya berdua saja di rumah? Melalui hari-hari sepi tanpa kehadiran anaknya di rumah? Tiga tahun lebih kami tidak berkumpul lengkap, saya selalu alfa dalam perayaan hari-hari besar, dan berkurangnya anggota keluarga besar kami satu persatu belakangan, cukup membuat saya takut dan khawatir sekaligus.
Di tahun ini juga saya gagal merealisasikan target-target akademik saya. Bukan soal hanya mendapat Jayyid Jiddan, toh saya sangat tau itu bukan standar. Melainkan keinginan untuk khatam dars-dars ilmu alat, menguasai bab muamallah, menghafal matan, mengejar ketertinggalan bersama Syaikh Husyam dan banyak rencana lainnya yang gagal saya capai tahun ini.
Sejak diumumkan lockdown di Mesir, semua aktifitas pembelajaran berhenti. Tidak ada lagi kuliah, dars, talaqqi dan kajian. Beberapa diselenggarakan online tapi kurang cocok. Saya sendiri terkurung di dalam asrama, dan celakanya, itu petaka bagi saya. Sungguh, bukannya mampu melakukan banyak hal di tengah banyaknya waktu luang, dengan hanya berdiam diri di satu tempat, saya malah lumpuh dari berbagai kegiatan produktif. Karantina sangat menyiksa saya. Dan diakhir tahun seperti ini, saya hanya bisa meratapi hari-hari yang berlalu tanpa manfaat.
Perkembangan literasi saya tahun ini juga bisa dibilang paling buruk, setidaknya dibandingkan 2-3 tahun sebelumnya. Seharusnya, di tahun ini ada tulisan saya yang sudah menembus media cetak nasional. Namun alih-alih mengirim tulisan, membaca buku-buku saja beratnya minta ampun. Pikiran saya tumpul, daya analisa saya tidak lagi setajam dulu, ditambah keinginan menulis yang sangat angin-anginan.
Puncaknya, setelah lockdown saya merasa sangat kaku untuk kembali memulai. Sangat berat dan sering buntu hanya untuk menyelesaikan sebuah tulisan. Dan ini sangat menyedihkan. Saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri terus merasa baik-baik saja sementara berbulan-bulan saya tidak mampu melahirkan sebuah tulisan. Sungguh, ini sangat menyiksa, saya tidak merasa menjadi diri saya seutuhnya.
Selanjutnya, untuk pertama kalinya di tahun ini juga saya mulai merasakan betul gejala quarter life crisis. Sering overthinking. Terlalu banyak khawatir memikirkan masa depan yang penuh misteri. Tiga tahun lagi mau jadi apa, lima tahun lagi bagaimana, pulang mau ambil peran apa, dan pertanyaan penuh kekhawatiran lainnya.
Saya juga mulai sering gelisah melihat berbagai pencapaian orang lain sementara diri sendiri masih begitu-begitu saja. Mencoba mengingat target dan cita-cita, namun justru malu dengan diri sendiri. Jatuhnya minder dan tidak optimis dengan masa depan. Penuh rasa takut dan tidak yakin dengan langkah apa yang akan saya ambil. Berbagai perasaan ini kerap saya tepis dan sembunyikan, tapi tetap saja gagal. Ia sering datang tiba-tiba menghantui, membuat hati tidak tenang. Pada titik-titik tertentu, bahkan saya merasa takut untuk sekedar melanjutkan kenyataan hidup.
Kemudian soal asmara....,hmm...sebetulnya saya tidak terlalu ingin mengupas ini karena dulu saya berkomitmen untuk tidak terlalu menguras waktu memikirkan hal remeh ini. Namun sesuatu terjadi pada tahun ini. Sebuah keputusan yang dampaknya rupanya tidak sederhana namun tidak akan pernah saya sesali.
Pada intinya, saya mencoba melepas potensi ‘keterikatan’ diri saya dengan orang lain. Tentu ini dengan pertimbangan matang dan tidak terjadi secara sepihak. Bodohnya, saya malah diplomatis. Menjanjikan sesuatu yang sangat tidak pasti. Seperti menawarkan opsi namun justru menjerat-melukai. Saya masih menyesal pernah menulis puisi pendek itu. Teman saya membela bahwa rindu memang impulsif, namun tetap saja saya masih sering dihantui rasa bersalah. Seharusnya saya tegas, agar masing-masing juga mantap dalam melangkah, tidak ragu sedikitpun dalam membuat keputusan-keputusan berikutnya.
Yah, terus terang perihal satu ini cukup menguras pikiran saya, dan saya tidak berharap apa-apa kecuali memastikan, bahwa kita semua baik-baik saja; siap melalui episode kehidupan selanjutnya dengan lebih baik.
Dan begitulah. Lelah juga rupanya mengetik bualan panjang akhir tahun seperti ini. Mungkin lebih tepat disebut sebagai curhatan akhir tahun 2020 dibandingkan dengan refleksi. Hahaha. Sebetulnya masih banyak kesedihan dan kegagalan saya di tahun ini, namun setidaknya beberapa hal di atas cukup untuk sekedar saya jadikan pelampiasan sembari mengabadikannya.
Di akhir tahun seperti ini, sekali lagi, saya hanya ingin berharap dan memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Bahwa kita bisa bertahan sampai titik ini di tahun yang krusial ini saya rasa lebih dari cukup untuk dikatakan sebuah prestasi. Sudah cukuplah tahun ini pikiran terkuras dengan keraguan dan ketidakpastian, saatnya melangkah dengan yakin dan penuh optimisme di tahun depan.
Sekian refleksi ini ditulis. Oiya, kalau ditanya resolusi saya di tahun 2021 apa, saya jawab satu aja deh: bisa konsisten nulis. Udah. Itu aja. Doakan ya hehe.
Madinah Zahro,
29 Desember 2020
Komentar
Posting Komentar