Bunga Rampai Catatan Harian (14)
Jum’at, 23 Februari 2018
Dalam Al Hikam, Ibnu Athaillah menuliskan :
ارادتك التجريد مع اقامة الله اياك في الأسباب من الشهوة الخفيفة
وارادتك الأسباب مع اقامة الله اياك في التجريد انخطاط من الهمة العلية
“Keinginanmu untuk Tajrid, sementara Allah masih menegakkan engkau dalam asbab, merupakan syahwah yang tersamar. Dan keinginanmu kepada asbab, pada saat Allah menegakkan engkau dalam tajrid, merupakan suatu kejatuhan dari himmah yang tinggi”
Saya merasa sepakat dengan beliau. Tajrid ialah melepaskan segala hal yang berkaitan dengan dunia. Sementara asbab ialah tanggung jawab atau berurusan dengannya. Dalam syarahnya diterangkan bahwa Ibnu Athaillah hendak berkeluh menemui mursiydnya, Abu Abbas Al Mursy. Ia merasa bahwa untuk sampai kepda Allah dan masuk dalam jajaran para wali dengan sibuk pada ilmu lahiriah dan bergaul dengan sesama manusia (kasab) agak jauh dan tidak mungkin.
Belum sempat dari lisannya satu kata terlontar, gurunya mendahului bertutur, “Ada seorang ahli dibidang ilmu lahiriah, ketika ia dapat merasakan sedikit dalam perjalanan ini, ia datang kepadaku sambil berkata : aku akan meninggalkan kebiasaanku untuk mengikuti perjalananmu. Maka aku menjawab : bukan itu yang kamu harus lakukan, tetapi tetaplah dalam kedudukanmu, sedang apa yang akan diberikan Allah kepadamu pasti sampai kepadamu.
Tentu tidak elok seseorang yang dipundaknya tanggung jawab terpikul, baik dalam jabatan atau kemasyarakatan, memilih beruzlah atau menepikan diri dari perkara-perkara dunia yang mengikatnya. Begitupula seorang yang sudah diusia senja dan tidak lagi memikul banyak tugas dunia, masih saja sibuk dalam perkara dunianya.
Ketika saya tarik dalam hal kepanitiaan, tidak bijak memilih menyendiri menepi dari serentetan tugas, sementara padanya terdapat tanggung jawab.
Sekalipun demikian, saya menulis ini dalam situasi demikian. Entah kenapa saya senang melakukannya. Ditengah hati yang mudah terbolak-balik, mengambil waktu sejenak menyendiri ditengah berlangsungnya acara seolah mendatangkan kedamaian bagi saya. Entah melalui sholat atau sebatas perenungan. Hal ini juga sering saya terapkan ketika dahulu membersamai acara-acara IPM, Pemuda Muhammadiyah, FKPO, dlsb.
Sebab dalam kesendirian, mudah untuk merenung atau bermuhasabah perihal kejadian yang telah berlalu. Sudahkah benar niat kita? Adakah semakin dekat atau malah menjauh dari Allah? Yang paling susah ialah memurnikan diri dari niat-niat terselubung. Sejujurnya saya amat khawatir yang saya lakukan hanya demi mencari eksistensi atau perhatian manusia atau bahkan, lebih lebih wanita. La Haula wala Quwwata illa Billah.
Ditengah perenungan, saya berharap agar Allah selamatkan saya dari niat terselubung yang memperkeruh amal. Aamiin ya Rabb.
Ahad, 25 Februari 2018
Sampai malam ini, sisa-sisa kelelahan event Muhammadiyah Day masih terasa. Untung saja Musycab diundur sampai pekan-pekan depan. Kalau saja jadi maraton mungkin saya akan terkapar. Di pertandingan futsal kemaren, tim kami (PCIM 1) kembali bertemu PCINU di Final. Sebetulnya ini bisa menjadi balas dendam dari kekalahan kami di final NU Games 2 bulan lalu. Namun harapan tinggalah harapan. Bahkan konsekuensinya cukup menyisakan kesedihan. Sebab lagi-lagi kami harus menelan kekalahan. Seperti final sebelumnya, sebenarnya kami hanya kalah dalam adu pinalti. Secara umum pertandingan berimbang walau kami bermain deffense, secara kami semua anak baru dan lawan ialah senior penuh pengalaman. Walau begitu kami tetap dapat menciptakan beberapa shots on goal yang lebih banyak. Namun, sekali lagi, harapan tinggalah bayangan indah. Skor Pinalti belum dipihak kita.
Sebetulnya ada hal lain yang ingin saya sorot. Sebagai kapten, saya cukup terkejut melihat teman saya, Cikal, menangis sebelum dimulainya pertandingan. Sedikit saya tahu, sepertinya teman perempuannya mengirimkan pesan panjang yang berdampak pada airmata yang tidak terbendung. Entah ada kaitan dengan Madinah atau tidak saya belum memastikan. Hanya saja, dikesempatan terakhir penentuan babak pinalti saya pasrahkan tugas ini padanya. Ia sempat ragu dan menolak. Saya sedikit memaksa. Pikir saya agar ini dapat menjadi obat kesedihannya; bukti ia masih tetap kuat. Naasnya, dikesempatan dimana peluang gol adalah 50:50 itu ia gagal. Bukannya menjadi penyembuh, keputusan saya justru kian melipatkan luka kesedihannya. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Seketika ia terkapar menutup muka dilapangan lalu menangis.
Hal yang sama juga terjadi di final sebelumnya, dimana pinaltinya yang gagal menjadikan kami belum berkesempatan menjadi juara. Kegagalannya yang kedua kali barangkali semakin menambah keterpurukannya, ditambah masalah pribadinya. Melihat itu saya bersalah dan langsung menghampirinya. Saya memeluknya dalam beberapa sisa tangis air matanya. Situasi yang benar-benar berat. Menahan tak mampu, membuka kena malu. Sambil sesenggukan ia meminta agar saya membantu menyelesaikan kesedihannya. Tentu saja, tandas saya.
Saya tidak tahu apakah itu pertandingan terakhir saya bersamannya sebelum keberangkatannya ke Madinah. Terus terang, kabar penerimaanya tidak turut membuat saya mutlak senang atau mungkin iri hati. Saya justru merasa, lagi lagi, akan berpisah dengan orang terdekat saya. Semoga saja masih sempat setidaknya satu piala kami persembahkan bersamannya. Hehe.
Dalam Al Hikam, Ibnu Athaillah menuliskan :
ارادتك التجريد مع اقامة الله اياك في الأسباب من الشهوة الخفيفة
وارادتك الأسباب مع اقامة الله اياك في التجريد انخطاط من الهمة العلية
“Keinginanmu untuk Tajrid, sementara Allah masih menegakkan engkau dalam asbab, merupakan syahwah yang tersamar. Dan keinginanmu kepada asbab, pada saat Allah menegakkan engkau dalam tajrid, merupakan suatu kejatuhan dari himmah yang tinggi”
Saya merasa sepakat dengan beliau. Tajrid ialah melepaskan segala hal yang berkaitan dengan dunia. Sementara asbab ialah tanggung jawab atau berurusan dengannya. Dalam syarahnya diterangkan bahwa Ibnu Athaillah hendak berkeluh menemui mursiydnya, Abu Abbas Al Mursy. Ia merasa bahwa untuk sampai kepda Allah dan masuk dalam jajaran para wali dengan sibuk pada ilmu lahiriah dan bergaul dengan sesama manusia (kasab) agak jauh dan tidak mungkin.
Belum sempat dari lisannya satu kata terlontar, gurunya mendahului bertutur, “Ada seorang ahli dibidang ilmu lahiriah, ketika ia dapat merasakan sedikit dalam perjalanan ini, ia datang kepadaku sambil berkata : aku akan meninggalkan kebiasaanku untuk mengikuti perjalananmu. Maka aku menjawab : bukan itu yang kamu harus lakukan, tetapi tetaplah dalam kedudukanmu, sedang apa yang akan diberikan Allah kepadamu pasti sampai kepadamu.
Tentu tidak elok seseorang yang dipundaknya tanggung jawab terpikul, baik dalam jabatan atau kemasyarakatan, memilih beruzlah atau menepikan diri dari perkara-perkara dunia yang mengikatnya. Begitupula seorang yang sudah diusia senja dan tidak lagi memikul banyak tugas dunia, masih saja sibuk dalam perkara dunianya.
Ketika saya tarik dalam hal kepanitiaan, tidak bijak memilih menyendiri menepi dari serentetan tugas, sementara padanya terdapat tanggung jawab.
Sekalipun demikian, saya menulis ini dalam situasi demikian. Entah kenapa saya senang melakukannya. Ditengah hati yang mudah terbolak-balik, mengambil waktu sejenak menyendiri ditengah berlangsungnya acara seolah mendatangkan kedamaian bagi saya. Entah melalui sholat atau sebatas perenungan. Hal ini juga sering saya terapkan ketika dahulu membersamai acara-acara IPM, Pemuda Muhammadiyah, FKPO, dlsb.
Sebab dalam kesendirian, mudah untuk merenung atau bermuhasabah perihal kejadian yang telah berlalu. Sudahkah benar niat kita? Adakah semakin dekat atau malah menjauh dari Allah? Yang paling susah ialah memurnikan diri dari niat-niat terselubung. Sejujurnya saya amat khawatir yang saya lakukan hanya demi mencari eksistensi atau perhatian manusia atau bahkan, lebih lebih wanita. La Haula wala Quwwata illa Billah.
Ditengah perenungan, saya berharap agar Allah selamatkan saya dari niat terselubung yang memperkeruh amal. Aamiin ya Rabb.
Ahad, 25 Februari 2018
Sampai malam ini, sisa-sisa kelelahan event Muhammadiyah Day masih terasa. Untung saja Musycab diundur sampai pekan-pekan depan. Kalau saja jadi maraton mungkin saya akan terkapar. Di pertandingan futsal kemaren, tim kami (PCIM 1) kembali bertemu PCINU di Final. Sebetulnya ini bisa menjadi balas dendam dari kekalahan kami di final NU Games 2 bulan lalu. Namun harapan tinggalah harapan. Bahkan konsekuensinya cukup menyisakan kesedihan. Sebab lagi-lagi kami harus menelan kekalahan. Seperti final sebelumnya, sebenarnya kami hanya kalah dalam adu pinalti. Secara umum pertandingan berimbang walau kami bermain deffense, secara kami semua anak baru dan lawan ialah senior penuh pengalaman. Walau begitu kami tetap dapat menciptakan beberapa shots on goal yang lebih banyak. Namun, sekali lagi, harapan tinggalah bayangan indah. Skor Pinalti belum dipihak kita.
Sebetulnya ada hal lain yang ingin saya sorot. Sebagai kapten, saya cukup terkejut melihat teman saya, Cikal, menangis sebelum dimulainya pertandingan. Sedikit saya tahu, sepertinya teman perempuannya mengirimkan pesan panjang yang berdampak pada airmata yang tidak terbendung. Entah ada kaitan dengan Madinah atau tidak saya belum memastikan. Hanya saja, dikesempatan terakhir penentuan babak pinalti saya pasrahkan tugas ini padanya. Ia sempat ragu dan menolak. Saya sedikit memaksa. Pikir saya agar ini dapat menjadi obat kesedihannya; bukti ia masih tetap kuat. Naasnya, dikesempatan dimana peluang gol adalah 50:50 itu ia gagal. Bukannya menjadi penyembuh, keputusan saya justru kian melipatkan luka kesedihannya. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Seketika ia terkapar menutup muka dilapangan lalu menangis.
Hal yang sama juga terjadi di final sebelumnya, dimana pinaltinya yang gagal menjadikan kami belum berkesempatan menjadi juara. Kegagalannya yang kedua kali barangkali semakin menambah keterpurukannya, ditambah masalah pribadinya. Melihat itu saya bersalah dan langsung menghampirinya. Saya memeluknya dalam beberapa sisa tangis air matanya. Situasi yang benar-benar berat. Menahan tak mampu, membuka kena malu. Sambil sesenggukan ia meminta agar saya membantu menyelesaikan kesedihannya. Tentu saja, tandas saya.
Saya tidak tahu apakah itu pertandingan terakhir saya bersamannya sebelum keberangkatannya ke Madinah. Terus terang, kabar penerimaanya tidak turut membuat saya mutlak senang atau mungkin iri hati. Saya justru merasa, lagi lagi, akan berpisah dengan orang terdekat saya. Semoga saja masih sempat setidaknya satu piala kami persembahkan bersamannya. Hehe.
Komentar
Posting Komentar