Bunga Rampai Catatan Harian (13)
Senin, 19 Februari 2018
Saya merasa harus melanjutkan apa yang saya mulai. Menulis catatan harian terkadang bukan perkara hobi maupun kecintaan. Yang saya rasakan dalam hal ini justru kekuatan konsistensi serta komitmen dengan kemampuan. Atau saya yang tidak kunjung naik pada level mahabbah kitabah? Dimana menuliskannya bukan lagi sebuah beban melainkan kenikmatan? Ah, saya merasa memang masih belum. Masih jauh. Walau demikian, menyerah bukanlah karakter saya. Semestinya saya hanya harus menulis dan terus menulis.
Dalam setiap kemalasan saya, ada saja bisik-bisik menyesatkan. Seperti suatu kewajaran jika seorang perempuan cenderung lebih konisten menuliskan diarynya dibanding kaum lelaki. Perempuan lebih banyak (walau tidak semua)melihat persoalan dengan perasaan sehingga, bilamana tersentuh, mudah saja menumpahkannya. Sementara laki-laki cenderung (sok) analitis dan tinggal trabas. Kadang-kadang yang demikian sering menjadi apologis kemalasan saya. Lalu saya teringat Soe Hok Gie—salah satu alasan saya memulai. Bahkan Galileo-Galilei juga menuliskan catatan hariannya. Lagi-lagi saya hanya harus memenangkan diri saya daripada kemalasan.
Sekali lagi, saya hanya harus menulis dan terus menulis.
“Even you have reached this page,” seperti pesan teman saya pemberi buku ini.
Selasa, 20 Februari 2018
Ketika ada seseorang meminta tips pada saya perihal bagaimana baiknya membaca buku-buku bahasa arab, tidak ada satupun ekspresi pada saya kecuali tersenyum simpul. Haha. Dalam hati saya menertawakan diri sendiri. Tentu saja tidak saya jawab. Bagaimana mungkin saya menjawab persoalan yang saya sendiripun sebenarnya sedang berurusan dengannya, bahkan belum terpecahkan jalan keluarnya? Dan atas pasal apa, saya tiada tahu, belum lagi gelisah saya dapati sebagaimana biasanya. Pragmatis saya, nanti juga bakal bisa, pada waktunya. Hehe
Belakangan justru saya tertarik buku-buku Indonesia. Ada 3 faktor setidaknya yang mendorong saya. Pertama, saya rindu kebiasaan lama saya. Kedua, kata-kata saya kering butuh bacaan sebagai nutrisi. Ketiga, jiwa intelektual saya sedang tandus. Baru saja kemaren saya menamatkan buku “Humanisme Islam : Studi Kritis Kajian Pemikiran Arkoun” karya H. Baedhowi. Buku itu saya dapatkan di KSW dan sebagaimana dijanjikan, tepat satu minggu saya selesaikan. Dengan ketebalan sekitar 226 halaman, satu minggu tentu terlalu lama dan manja. Namun saya juga baru berkenalan dengan Arkoun sehingga butuh waktu.
Dalam diri Arkoun mengalir darah Afrika, tepatnya Aljazair. Namun masa keemasannya terjadi di Prancis dimana jabatan dan karya karyanya melejit masyhur. Dalam buku tersebut, Arkoun membagi humanisme islam menjadi tiga : humanisme literer (tekstual), humanisme religius (spiritual), dan humanisme filosofis. Kemudian dengan berani ia mendobrak status quo humanisme literer atau ortodoksi islam dengan menawarkan humanisme filosofis dalam porsi yang banyak. Oleh Amin Abdullah dalam pengantar buku ini, dikatakan bahwa pembagian Arkoun mirip dengan yang telah dilakukan oleh Muhammad Abid Al Jabiri yang membagi nalar islam menjadi tiga : Bayani (tekstual), Irfani (tasawuf), Burhani (rasional).
Sementara saat ini saya sedang menikmati buku Islam karya Fazlur Rahman. Cukup disayangkan, buku yang diberikan sebagai hadiah pada saya dari Prof Ahmad Syafii Maarif tersebut baru saya baca. Walau begitu, satu hikmah saya pelajari : untuk sampai pada kenyamanan dalam membaca buku-buku berat, dibutuhkan konsumsi pada buku-buku ringan yang mengantarkan pada kebingungan sementara. Sebelum sampai sini, rasanya buku Sejarah Tuhan, Misykat, dan Humanisme Islam cukup memiliki andil yang besar.
Rabu, 21 Februari 2018
Malam tadi saya menginap rumah Tio di Darrasah. Subuhnya berencana hendak mengikuti Dars Fajar bersama Habib Ali Jufri. Sayang, beliau sedang safar sehingga rencana saya, Rois, Mas Albi, dan Tio harus tertunda. Di rumah Tio justru pencerahan saya dapatkan. Yaitu sebuah buku yang berjudul “Kado dari Mesir : Catatan Mahasiswa Al Azhar”. Selain sebagai referensi dan motivasi, pengarangnya yang bernama Jauhar Ridloni Marzuq ialah seorang lelaki. Haha. Tentu saja, itu akan menampar saya yang selalu berlindung dibalik alasan wanita lebih istiqomah dalam menulis catatan hariannya. Nyatanya, beliau dan karyanya hadir lebih dari sekedar bukti.
Semoga, perjumpaan ini memang sudah digariskan Tuhan sebagaimana memang semestinya, sehingga mudahbagi saya untuk istifadah dan menapaki langkah yang sama atau bahkan lebih tinggi. WaAllahu A’la wa A’lam.
Saya merasa harus melanjutkan apa yang saya mulai. Menulis catatan harian terkadang bukan perkara hobi maupun kecintaan. Yang saya rasakan dalam hal ini justru kekuatan konsistensi serta komitmen dengan kemampuan. Atau saya yang tidak kunjung naik pada level mahabbah kitabah? Dimana menuliskannya bukan lagi sebuah beban melainkan kenikmatan? Ah, saya merasa memang masih belum. Masih jauh. Walau demikian, menyerah bukanlah karakter saya. Semestinya saya hanya harus menulis dan terus menulis.
Dalam setiap kemalasan saya, ada saja bisik-bisik menyesatkan. Seperti suatu kewajaran jika seorang perempuan cenderung lebih konisten menuliskan diarynya dibanding kaum lelaki. Perempuan lebih banyak (walau tidak semua)melihat persoalan dengan perasaan sehingga, bilamana tersentuh, mudah saja menumpahkannya. Sementara laki-laki cenderung (sok) analitis dan tinggal trabas. Kadang-kadang yang demikian sering menjadi apologis kemalasan saya. Lalu saya teringat Soe Hok Gie—salah satu alasan saya memulai. Bahkan Galileo-Galilei juga menuliskan catatan hariannya. Lagi-lagi saya hanya harus memenangkan diri saya daripada kemalasan.
Sekali lagi, saya hanya harus menulis dan terus menulis.
“Even you have reached this page,” seperti pesan teman saya pemberi buku ini.
Selasa, 20 Februari 2018
Ketika ada seseorang meminta tips pada saya perihal bagaimana baiknya membaca buku-buku bahasa arab, tidak ada satupun ekspresi pada saya kecuali tersenyum simpul. Haha. Dalam hati saya menertawakan diri sendiri. Tentu saja tidak saya jawab. Bagaimana mungkin saya menjawab persoalan yang saya sendiripun sebenarnya sedang berurusan dengannya, bahkan belum terpecahkan jalan keluarnya? Dan atas pasal apa, saya tiada tahu, belum lagi gelisah saya dapati sebagaimana biasanya. Pragmatis saya, nanti juga bakal bisa, pada waktunya. Hehe
Belakangan justru saya tertarik buku-buku Indonesia. Ada 3 faktor setidaknya yang mendorong saya. Pertama, saya rindu kebiasaan lama saya. Kedua, kata-kata saya kering butuh bacaan sebagai nutrisi. Ketiga, jiwa intelektual saya sedang tandus. Baru saja kemaren saya menamatkan buku “Humanisme Islam : Studi Kritis Kajian Pemikiran Arkoun” karya H. Baedhowi. Buku itu saya dapatkan di KSW dan sebagaimana dijanjikan, tepat satu minggu saya selesaikan. Dengan ketebalan sekitar 226 halaman, satu minggu tentu terlalu lama dan manja. Namun saya juga baru berkenalan dengan Arkoun sehingga butuh waktu.
Dalam diri Arkoun mengalir darah Afrika, tepatnya Aljazair. Namun masa keemasannya terjadi di Prancis dimana jabatan dan karya karyanya melejit masyhur. Dalam buku tersebut, Arkoun membagi humanisme islam menjadi tiga : humanisme literer (tekstual), humanisme religius (spiritual), dan humanisme filosofis. Kemudian dengan berani ia mendobrak status quo humanisme literer atau ortodoksi islam dengan menawarkan humanisme filosofis dalam porsi yang banyak. Oleh Amin Abdullah dalam pengantar buku ini, dikatakan bahwa pembagian Arkoun mirip dengan yang telah dilakukan oleh Muhammad Abid Al Jabiri yang membagi nalar islam menjadi tiga : Bayani (tekstual), Irfani (tasawuf), Burhani (rasional).
Sementara saat ini saya sedang menikmati buku Islam karya Fazlur Rahman. Cukup disayangkan, buku yang diberikan sebagai hadiah pada saya dari Prof Ahmad Syafii Maarif tersebut baru saya baca. Walau begitu, satu hikmah saya pelajari : untuk sampai pada kenyamanan dalam membaca buku-buku berat, dibutuhkan konsumsi pada buku-buku ringan yang mengantarkan pada kebingungan sementara. Sebelum sampai sini, rasanya buku Sejarah Tuhan, Misykat, dan Humanisme Islam cukup memiliki andil yang besar.
Rabu, 21 Februari 2018
Malam tadi saya menginap rumah Tio di Darrasah. Subuhnya berencana hendak mengikuti Dars Fajar bersama Habib Ali Jufri. Sayang, beliau sedang safar sehingga rencana saya, Rois, Mas Albi, dan Tio harus tertunda. Di rumah Tio justru pencerahan saya dapatkan. Yaitu sebuah buku yang berjudul “Kado dari Mesir : Catatan Mahasiswa Al Azhar”. Selain sebagai referensi dan motivasi, pengarangnya yang bernama Jauhar Ridloni Marzuq ialah seorang lelaki. Haha. Tentu saja, itu akan menampar saya yang selalu berlindung dibalik alasan wanita lebih istiqomah dalam menulis catatan hariannya. Nyatanya, beliau dan karyanya hadir lebih dari sekedar bukti.
Semoga, perjumpaan ini memang sudah digariskan Tuhan sebagaimana memang semestinya, sehingga mudahbagi saya untuk istifadah dan menapaki langkah yang sama atau bahkan lebih tinggi. WaAllahu A’la wa A’lam.
Komentar
Posting Komentar