Bunga Rampai Catatan Harian (12)

Ahad, 7 Januari 2018

Sudah lama saya berjarak dengan catatan harian saya. Nyaris satu bulan. Bukan berarti saya tidak menulis. Beberapa tulisan saya buat, namun tidak dalam bentuk catatan harian. Ah, saya merasa tidak lain itu hanya aplogis! Melakukan konsistensi atau istiqomah jauh lebih susah dari kata orang yang kesusahan.

Semalam seseorang chat saya. Ia bilang telah menghatamkan tulisan harian saya di blog. Ia memuji saya berikut tulisan saya, lalu berbagi tentang beberapa persoalan hidupnya. Terus terang saya cukup terkejut. Ada juga ‘orang luar’ yang tertarik menuntaskannya. Namun ia berdalih iseng-iseng. Hahaha. Sebetulnya bukan itu poin saya. Melainkan kebahagiaan yang mengalir secara tiba-tiba. Tulisan saya bagus? Tulisan saya bermanfaat? Tulisan saya menginspirasi? Hmmm, rasanya tidak juga. Saya merasa belum melakukan peningkatan yang berarti. 

Namun kenapa saya bahagia?
Perlahan akal sehat saya membisikkan kegelisahan. Sebab bahagia yang tidak sesaat itu, menyisakan beberapa tanya. Apakah saya senang dengan pujian? Jujur, hati saya mengingkarinya. Celaka pada saya. Senang dipuji ialah penyakit. Tidak saja membuat cepat puas diri (padahal masih sangat kopong), melainkan juga mengarah pada ujub. Dalam Kitabnya Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghazali mengatakan bahwa ialah sesederhana “kamu mengira dirimu baik,” Astaghfirullah, La haula Wa la Quwwata Illa Billah.

Lalu saya takut. Jangan-jangan motivasi saya menulis selama ini demu menuai pujian; dianggap produktif, pecinta ilmu, kutu buku, memegang prinsip, dlsb. Dan tentu, dalam catatan harian yang dipublikasikan, seorang penulis cenderung ingin menampakkan hal positif atau kebaikan semaunya. Sebab memang bebas bukan?

Dalam ulasannya tentang buku “Catatan Seorang Demonstran”, Salim Said, seorang redaktur Tempo menulis, “Dari Catatan Harian Soe Hok Gie itu hampir sulit menemukan orang yang baik, kecuali dirinya sendiri.” Seperti minyak dan air, menyatukan objektifitas dan catatan harian hampir dikatakan mustahil.

Rasanya susah sekali mengelak dari kenyataan bahwa diantara dorongan saya menulis catatan harian ialah agar adanya pandangan seorang pembaca bahwa penulisnya seorang yang baik atau hebat. Lalu, ketika pujian dilontarkan, celakalah penulisnya dalam kebahagiaan yang membahayakan. Bagaimana nasib tulisan saya?


Senin, 8 Januari 2018

Sejak beberapa hari menjelang dimulainya acara, teman-teman kabinet angkatan Zaahera menunjukkan keseriusannya. Acara akbar yang menghadirkan 7 pembicara akbar (Dr. Lukman Hakim, Ust Arif Wardani, Ust Mulyadi, Dr. Hamadallah, Ustdzh Sheila, Ust Irja Nasrullah, Ust Irvan Nasrullah) tentu tidak main-main sibuknya. Bahkan dari pamvlet, infografis, maupun videonya menunjukkan betapa berkemajuannya. Sampai hal sedetail kotak saran, sampah, dan photobooth. Semua kerumitan berikut kecemerlangan konsep tersebut, tanpa ada saya didalamnya. Sedari awal saya memilih menepi. Betapa terkejutnya saya menyaksikan apa yang didepan mata saya. Mereka sungguh luar biasa!

Apakah saya menyesal?

Tentu, sempat demikian. Jiwa organisatoris saya sempat meronta untuk dikeluarkan atau dibuktikan. Dalam kekaguman serta keinginan besar menyumbang konsep ini itu, saya tertegun tiba-tiba menyadari suatu hal. Tidak banyak berkembang! Saya rasa dalam hal ini saya harus pragmatis. Acara, MC, konsep, rundown, korlap, dlsb rasanya sudah khatam saya di Muallimin atau PD IPM Kota. Selain itu, agar jangan sampai saya terlalu sibuk dalam satu hal, sementara lemah sekali dalam hal lain yg jauh lebih primer. Mengingat tujuan awal berada disini rasanya cukup meneguhkan pilihan saya.

Akhirnya, sampai acara hari pertama usai, saya tidak banyak bersuara. Saya memilih banyak berdiam, setidaknya dalam acara ini, daripada inisiatif menyampaikan usul. Lagipula saya tidak pernah ikut kumpul sebelumnya. Tentu tidak elok tiba-tiba muncul menuntut ini itu dalam evaluasi. 

Selasa, 9 Januari 2018

Di hari kedua acara Zaahera sengaja saya datang awal-awal. Setelah saya setor wajah, sekitar pukul 11 siang, saya izin pada ketua sebentar ada perlu. Langsung saya meluncur Muqottom saat itu juga. Untuk kali ini, niat saya tidak hanya setor tahsin, melainkan juga bertemu ‘Ammu Mahmud. Ia seorang khodim di masjid sebelah tempat saya tahsin. Walau sudah sering bertemu, baru kemaren kami bercakap panjang. Selain ramah dan baik, ia juga hafal 30 Juz Al-Qur’an sejak usia 18 tahun. Kemaren saya diminta menyimak hafalannya Surat Ar-Rahman, Al Jasiyah, dan Qof. Bahkan ketika saya dipersilahkan masuk ke kamarnya (di bilik masjid) disuguhkan pada saya segelas teh. Bagaimana saya tidak senang dengan sambutan hangatnya. Sayang, saat itu saya sedang puasa. Oleh karenanya, digantikan hari ini saya akan bertemu lagi dengannya. Namun sayang, tidak seperti kemaren, ia baru hadir di masjid setelah adzan sholat dzuhur.Walau begitu, saya tetap dipersilahkan masuk kamarnya.

Setelah ia tasmi’ 2 surat, saya juga minta disimak hafalan saya. Selepas itu kami berbicara. Ia amat 
perhatian pada saya. Bertukar profil, tempat tinggal, dan hal-hal lain. Di akhir, ia berkata, “Ana uhibbuka ya habibi” sambil bersalaman cipika-cipiki. Allah. Saya merasa mendapat dekapan yg hangat. Padahal baru dua hari berbincang, Ia seolah seperti bapak saya. Barangkali saya harus baik-baik menjaga hubungan dengannya. Lagipula ini juga jadi latihan saya belajar bahasa (fusha dan ammiyah).

Kalau Pak Cecep punya Sya’ban, saya rasa ‘Ammu Mahmud akan banyak menjadi perantara saya mengetahui banyak hal. Sejauh saya pandai menjaga hubungan dengannya.

Komentar

VIEWERS

Postingan Populer