BRCH (23) : Tasawuf sebagai Obat
Jum’at, 16 Maret 2018
Semalam, setelah merasa sedikit aras-arasen untuk berangkat ke Darrasah, saya menangkan juga. Demi merasakan pertama kali bagaimana nikmatnya Dars Fajar bersama Habib Ali Jufri dengan kitab “Qobsul Nuril Mubin”. Ternyata benar seperti kata orang, mengaji tasawuf memang mengerikan. Kita seolah dicambuk halus dengan sindiran tajam yang memojokkan kita selalu dalam posisi serba salah. Hal-hal yang kelihatannya sah-sah saja, ternyata juga dipersoalkan.
Pagi tadi beliau berbicara tentang Riya’. Bahwa kita menganggap diri kita tidak riya’ dalam beribadah ialah sama dengan riya’. Hal tersebut dikarenakan riya’ berkaitan dengan kemasyhuran. Sebab itu berharap orang mengira bahwa kita tidak cinta masyhur ialah menuntut kemasyhuran. Dan masih banyak lagi tentunya.
Saya berharap masih dapat mengikuti lagi pekan depan. Sekalipun seperti tercambuk, sejatinya belajar tasawuf ialah ibarat menyirami hati yang kering dan gersang dari tanaman ma’rifatullah. Saya harap air mata saya juga lekas cair untuk dikeluarkan. Allahu Musta’an.
Ahad, 18 Maret 2018
Saya bersama Faidzh (indo), Sayyid (Afghani), Umar (Nigeria), dan Munzir (Nigeria) dipanggil ke Idaroh. Sebagai perwakilan kelas, kami diminta menjelaskan kepada mudir DL persoalan di kelas. Tentang ketidak hadiran ustadz selama 2 minggu berturut-turut sehingga selalu datang ustadz baru setiap harinya. Padahal, idealnya guru yang membersamai tetap sehingga kami dapat mengikuti metodenya sampai selesai.
Di Idaroh kami menyampaikan argumen. Dan cukup disayangkan, saya paling belepotan berbicaranya diantara mereka. Ceplas ceplos mereka didepan saya. Hanya sedikit tambahan yang dapat saya sampaikan. Saya cukup terpukul. Hidup bersama orang Indonesia terus-terusan sedikit tidak membawa kemajuan, khususnya dalam bahasa. Walau begitu, saya akan tetap terus mencoba dan memperbanyak salah saya. Sampai habis jatahnya sedini mungkin.
Semalam, setelah merasa sedikit aras-arasen untuk berangkat ke Darrasah, saya menangkan juga. Demi merasakan pertama kali bagaimana nikmatnya Dars Fajar bersama Habib Ali Jufri dengan kitab “Qobsul Nuril Mubin”. Ternyata benar seperti kata orang, mengaji tasawuf memang mengerikan. Kita seolah dicambuk halus dengan sindiran tajam yang memojokkan kita selalu dalam posisi serba salah. Hal-hal yang kelihatannya sah-sah saja, ternyata juga dipersoalkan.
Pagi tadi beliau berbicara tentang Riya’. Bahwa kita menganggap diri kita tidak riya’ dalam beribadah ialah sama dengan riya’. Hal tersebut dikarenakan riya’ berkaitan dengan kemasyhuran. Sebab itu berharap orang mengira bahwa kita tidak cinta masyhur ialah menuntut kemasyhuran. Dan masih banyak lagi tentunya.
Saya berharap masih dapat mengikuti lagi pekan depan. Sekalipun seperti tercambuk, sejatinya belajar tasawuf ialah ibarat menyirami hati yang kering dan gersang dari tanaman ma’rifatullah. Saya harap air mata saya juga lekas cair untuk dikeluarkan. Allahu Musta’an.
Ahad, 18 Maret 2018
Saya bersama Faidzh (indo), Sayyid (Afghani), Umar (Nigeria), dan Munzir (Nigeria) dipanggil ke Idaroh. Sebagai perwakilan kelas, kami diminta menjelaskan kepada mudir DL persoalan di kelas. Tentang ketidak hadiran ustadz selama 2 minggu berturut-turut sehingga selalu datang ustadz baru setiap harinya. Padahal, idealnya guru yang membersamai tetap sehingga kami dapat mengikuti metodenya sampai selesai.
Di Idaroh kami menyampaikan argumen. Dan cukup disayangkan, saya paling belepotan berbicaranya diantara mereka. Ceplas ceplos mereka didepan saya. Hanya sedikit tambahan yang dapat saya sampaikan. Saya cukup terpukul. Hidup bersama orang Indonesia terus-terusan sedikit tidak membawa kemajuan, khususnya dalam bahasa. Walau begitu, saya akan tetap terus mencoba dan memperbanyak salah saya. Sampai habis jatahnya sedini mungkin.
Komentar
Posting Komentar