BRCH (18) : Diskusi Kontroversi Tim Riset PCINU
Selasa, 6 Maret 2018
Semalam saya mengikuti diskusi “Mengupas Riset PCINU tentang Radikalisme” di KPMJB. Hal ini berangkat dari hasil riset tim PCINU bahwa 12% masisir terindikasi berfaham radikal. Tentu saja, ini menyulut polemik panas. Pro-Kontra tidak ada hentinya, termasuk dalam berjalannya diskusi. Saya seolah menyaksikan Muktamar dimana tidak hanya alot, melainkan bertensi panas. Seperti ricuh yang akan pecah namun tidak jadi.
Hadir bersama utusan PCIM, saya melihat hadirin rata-rata senior. Orang angkatan lama yang masih peduli dengan perkembangan dunia mahasiswa di Mesir. Ada yang hanya menyaksikan, mengkritisi, bahkan bersiap menghabisi. Diskusi panas yang amat menarik ini akan menjadi momen tersendiri buat saya. Tim riset NU yang hadir didepan seolah berada pada satu kubu beserta beberapa warga NU di belakang, sementara hadirin pada umumnya oposisi biner atau dalam kubu yang berseberangan.
Sejak awal diskusi sudah memanas. Perwakilan PPM Sumut mengangkat tensi ruangan dengan kalimat pedas dan tingginya. Mereka tidak terima adanya pencatutan Kekeluargaan PPM Sumut dalam angka 12% tersebut. Selain itu, perizinan kerjasama juga dibantah keras. Dalam menyikapi ini, perwakilan PCINU cerdik mengambil sikap. Bukanya dibalas keras, ia berbicara tenang dan menjelaskan kronologi sebenarnya.
Setelah itu, beberapa hadirin mencoba mempertanyakan hasil. Termasuk Ustad Nur farid, senior PCIM yang berdiri sebagai seorang intelektual independen. Beliau mempertanyakan standarisasi radikal yang dijadikan acuan. Pertanyaan fundamental. Apa poin-poin seseorang dikatakan sebagai radikal? Kali ini, tim riset PCINU menjawab dengan sedikit berbelit. Berputar namun tidak menyentuh inti pertanyaan. Bahkan sempat mengalihkan. Tanpa membantah lebih banyak, beliau mencukupkan pertanyaanya dengan kesimpulan ketidaksiapan tim riset dalam menjawab pertanyaan sederhana namun mendasar.
Adapula seseorang yang datang di pertengahan, lalu menaikkan nada suaranya sambil menyerang. Ia berkata bahwa tidak tepat forum ini disebut sebagai diskusi, tetapi forum penyidangan terhadap tim riset PCINU. Suasana kembali memanas. Salah satu simpatisan NU dalam forum menyela pembicaraan dengan keberatan etika orang tersebut. Belum selesai bicara, sudah dipotong lagi oleh yang lain. Begitu seterusnya keributan, sampai-sampai presiden PPMI, Pangeran Arsyadul Haq, harus turun tangan menawarkan diri sebagai moderator pengganti. Ditangan beliau tensi cukup membaik, namun tarik ulur pendapat tidak berhenti.
Semakin menarik ketika salah seorang menyinggung proyek dengan BNPT yang kebetulan saat itu berkunjung ke Mesir. Seperti tidak mungkin mengadakan kerjasama tanpa adanya feedback. Tanpa mengatakan uang, semua memahami arah pembicaraan bermuara kesana. Mencoba menjawab, Mas Hilman selaku ketua PCINU menjelaskan duduk perkaranya sambil berkelakar santai. Sontak saja, seseorang menyolot menyangsikan candaan yang tidak pada tempatnya.
Sampai pukul 00.45 CLT diskusi masih berjalan. Tidak ada rasa kantuk sama sekali saya rasakan. Walau tidak berbicara banyak ilmu saya serap: bagaimana menyusun argumen, tekhnik memotong pembicaraan, sampai intonasi tinggi menyerang mental lawan bicara. Dari banyaknya gaya pembicaraan, saya cenderung tertarik dengan model Kak Fardan (Ketua Umum PCIM). Terlepas subjektif sekali, caranya menyampaikan terbukti mendapat apresiasi dari banyak hadirin. Cukup sekali berbicara namun runut dengan poin by poin serta tanpa nada tinggi melainkan halus menyindir.
Selain tidak memperuncing diskusi, model pembicaraan tersebut relatif lebih mengena dan diterima. Pendengar seolah dapat membenarkan apa yang disampaikan. Tekhnik demikian juga tepat untuk menjauh daripada muara diskusi yang tidak ada akhirnya. Bargaining Power PCIM pun terangkat melalui Kak Fardan. Ini dapat diwajari sebab beliau berbicara sebagai sosok ketua PCIM.
Konklusi diskusi memutuskan bahwa tim riset PCINU meminta maaf atas hasil risetnya yang menimbulkan polemik dikalangan masisir. Kami pulang sekitar pukul 01.30 CLT.
Semalam saya mengikuti diskusi “Mengupas Riset PCINU tentang Radikalisme” di KPMJB. Hal ini berangkat dari hasil riset tim PCINU bahwa 12% masisir terindikasi berfaham radikal. Tentu saja, ini menyulut polemik panas. Pro-Kontra tidak ada hentinya, termasuk dalam berjalannya diskusi. Saya seolah menyaksikan Muktamar dimana tidak hanya alot, melainkan bertensi panas. Seperti ricuh yang akan pecah namun tidak jadi.
Hadir bersama utusan PCIM, saya melihat hadirin rata-rata senior. Orang angkatan lama yang masih peduli dengan perkembangan dunia mahasiswa di Mesir. Ada yang hanya menyaksikan, mengkritisi, bahkan bersiap menghabisi. Diskusi panas yang amat menarik ini akan menjadi momen tersendiri buat saya. Tim riset NU yang hadir didepan seolah berada pada satu kubu beserta beberapa warga NU di belakang, sementara hadirin pada umumnya oposisi biner atau dalam kubu yang berseberangan.
Sejak awal diskusi sudah memanas. Perwakilan PPM Sumut mengangkat tensi ruangan dengan kalimat pedas dan tingginya. Mereka tidak terima adanya pencatutan Kekeluargaan PPM Sumut dalam angka 12% tersebut. Selain itu, perizinan kerjasama juga dibantah keras. Dalam menyikapi ini, perwakilan PCINU cerdik mengambil sikap. Bukanya dibalas keras, ia berbicara tenang dan menjelaskan kronologi sebenarnya.
Setelah itu, beberapa hadirin mencoba mempertanyakan hasil. Termasuk Ustad Nur farid, senior PCIM yang berdiri sebagai seorang intelektual independen. Beliau mempertanyakan standarisasi radikal yang dijadikan acuan. Pertanyaan fundamental. Apa poin-poin seseorang dikatakan sebagai radikal? Kali ini, tim riset PCINU menjawab dengan sedikit berbelit. Berputar namun tidak menyentuh inti pertanyaan. Bahkan sempat mengalihkan. Tanpa membantah lebih banyak, beliau mencukupkan pertanyaanya dengan kesimpulan ketidaksiapan tim riset dalam menjawab pertanyaan sederhana namun mendasar.
Adapula seseorang yang datang di pertengahan, lalu menaikkan nada suaranya sambil menyerang. Ia berkata bahwa tidak tepat forum ini disebut sebagai diskusi, tetapi forum penyidangan terhadap tim riset PCINU. Suasana kembali memanas. Salah satu simpatisan NU dalam forum menyela pembicaraan dengan keberatan etika orang tersebut. Belum selesai bicara, sudah dipotong lagi oleh yang lain. Begitu seterusnya keributan, sampai-sampai presiden PPMI, Pangeran Arsyadul Haq, harus turun tangan menawarkan diri sebagai moderator pengganti. Ditangan beliau tensi cukup membaik, namun tarik ulur pendapat tidak berhenti.
Semakin menarik ketika salah seorang menyinggung proyek dengan BNPT yang kebetulan saat itu berkunjung ke Mesir. Seperti tidak mungkin mengadakan kerjasama tanpa adanya feedback. Tanpa mengatakan uang, semua memahami arah pembicaraan bermuara kesana. Mencoba menjawab, Mas Hilman selaku ketua PCINU menjelaskan duduk perkaranya sambil berkelakar santai. Sontak saja, seseorang menyolot menyangsikan candaan yang tidak pada tempatnya.
Sampai pukul 00.45 CLT diskusi masih berjalan. Tidak ada rasa kantuk sama sekali saya rasakan. Walau tidak berbicara banyak ilmu saya serap: bagaimana menyusun argumen, tekhnik memotong pembicaraan, sampai intonasi tinggi menyerang mental lawan bicara. Dari banyaknya gaya pembicaraan, saya cenderung tertarik dengan model Kak Fardan (Ketua Umum PCIM). Terlepas subjektif sekali, caranya menyampaikan terbukti mendapat apresiasi dari banyak hadirin. Cukup sekali berbicara namun runut dengan poin by poin serta tanpa nada tinggi melainkan halus menyindir.
Selain tidak memperuncing diskusi, model pembicaraan tersebut relatif lebih mengena dan diterima. Pendengar seolah dapat membenarkan apa yang disampaikan. Tekhnik demikian juga tepat untuk menjauh daripada muara diskusi yang tidak ada akhirnya. Bargaining Power PCIM pun terangkat melalui Kak Fardan. Ini dapat diwajari sebab beliau berbicara sebagai sosok ketua PCIM.
Konklusi diskusi memutuskan bahwa tim riset PCINU meminta maaf atas hasil risetnya yang menimbulkan polemik dikalangan masisir. Kami pulang sekitar pukul 01.30 CLT.
Komentar
Posting Komentar