BRCH (16) : Bunga Tidur
Kamis, 1 Maret 2018
Semalam saya bermimpi sedang masak bersama seseorang. Lalu
ketika bangun, sekonyong-konyongnya saya, malah bibir saya berkembang
senyum-senyum sendiri tidak karuan. Hahaha. Walaupun memang misteri dan tidak
perlu terlalu dini mencari-cari, berekspektasi terkadang menjadi hiburan
tersendiri; selingan segar di tengah kepenatan rutinitas. Tenang saja, saya
akan tetap bahagia dengan merdeka.
Walau demikian, saya cukup bersedih sebab Tahajjud dan Dhuha
saya lewat. Setan memang layak disalahkan atas segala tipu dayanya. Namun tekad
dan azzam saya yang lembek lebih pantas untuk disalahkan. Kalau begini terus
bagaimana saya dapat membuktikan bahwa saya beanr-benar mencintai-Mu?
Saya jadi teringat suatu ketika pernah membaca Buku “Manajemen
Qolbu” di Perpustakaan Mu’allimin. Tentu saja, tidak semua orang biasa dapat
bertemu dengan Raja. Hanya orang-orang pilihanlah yang dapat menikmati
‘perjumpaan’ dengan Raja dalam waktu-waktu istimewa. Astaghfirulloh wa Atubu
ilaika ya Rabb.
Jum’at, 2 Maret 2018
Malam ini justru saya bermimpi tentang Ibnu Taimiyah dan
karya monumentalnya Majmu’ Fatawa. Tidur pukul 02.45, ketika Mas Rais datang
membangunkan subuh seolah yang terdengar ia bertutur tentang Majmu’ Fatawa.
Barangkali mindset saya padanya sudah terlanjur bergambarkan saudiah. Haha.
Sebagaimana mimpi pada umumnya, untuk menceritakan kembali
secara detail boleh dikata mustahil. Kita hanya dapat mendapati bekasnya yang
sesekali berceceran di sudut ingatan kita. Pada intinya kecenderungan mimpi
saya bukan pada menolak atau bahkan menjauhinya. Justru dorongan kuat untuk
memiliki dan memahaminya pelan-pelan. Pun tidak dapat disimpulkan bahwa ini
hidayah seoalah saya Neo-Abu Hasan Al Asy’ari. Hehe.
Di Mesir sendiri pandangan terhadap Ibnu Taimiyah relatif di
jauhi terutama oleh Al-Azhar dan lebih utamanya dalam bidang Aqidah. Pasalnya
beberapa fahamnya cenderung menyerang Asy’ari sebagai faham yang berkembang
disini. Tidak heran bila terkadang mahasiswa Al Azhar menyerang balik faham
ulama saudi tersebut. Sayangnya terkadang tidak objektif sehingga berlebihan.
Patut kita teladani ialah Syekh Dr. Said Ramadhan Al Buthi,
seorang ulama masyhur Suriah jebolan Al Azhar, ketika ditanya tentang Ibnu
Taimiyah, beliau mengatakan “Tentu saja, beliau (Ibnu Taimiyah)) ulama yang
‘alim, cerdas, dan sangat saya hormati. Hanya saja ada beberapa fahamnya dalam
Aqidah yang bermasalah,”
Namun saya tidak tertarik untuk menjauhinya. Di Mu’allimin
dahulu kami diajarkan untuk tidak membenci sebelum mengerti. Maka pantang bagi
saya mengambil sikap sebelum tau letak duduk persoalannya. Diantara wujudnya
ialah dengan membacanya dan memahaminya, sementara agar sampai sana ialah
dengan membeli kitabnya.
Komentar
Posting Komentar