BRCH (21) : Move!
Ahad, 11 Maret 2018
Hati dan pikiran saya membenarkan bahwa dengan siapa seseorang bergaul alan menentukan cara berfikirnya. Pepatah jawa mengatakan “cedak kebo gupak”. Sementara dalam hadis disebutkan, “Al-Mar’u ‘ala diini kholilihi” (seseorang ialah bagaimana agama orang terdekatnya). Baru saja dua kejadian membuka mata saya lebar-lebar.
Pertama, saya menonton final Jawa Cup dan mbolos DL sebab telah berjanji datang demi melihat KSW mendapat gelar La Decima (10 kali juara). Kehadiran saya cukup tidak sia-sia karena dengan mata kepala saya sendiri saya dapati KSW mewujudkannya dan puluhan air mata berjatuhan dalam euforia haru dan gembira. Beberapa senior bilang pada saya bahwa tahun depan giliran dan tugas saya melanjutkan. Teman-teman seangkatan juga demikian. Hal ini cukup wajar sebab jabatan kapten tim juga ada dipundak saya. Saya hanya tersenyum. “Kita lihat besok,” kata saya.
Kedua, sepulang dari suporteran, ketika hendak balik ke kamar bertemu Abdullah (mahasiswa mesir) dan mengobrol banyak di jalan. Sejak berulang kali saya tidur ba’da subuh di masjid lalu ia bangunkan, kami menjadi cukup dekat. Ia basi-basi seperti biasa. Yang mengejutkan ialah ketika saya tanya apakah ia juga sepak bola, dijawabnya bahwa terakhir kali ia bermain 11 tahun silam. Apakah mengikuti perkembangan sepak bola? Tanya saya lagi. “Saya tidak punya waktu untuk memikirkannya” jawabnya. Kenapa? Reflek saya bertanya.
Ia menjawab bahwa harus fokus dengan pelajaran syariahnya serta memahami banyak hal yang belum diketahui. Saya tertohok. Tentu saja ini tidak biasa. Hampir semua pemuda di Mesir suka sepakbola atau minimal mengikuti perkembangannya. Di asrama, teman-temannya gila bola, sampai bermain tengah malam dijalanan. Namun ia bilang bahwa harus berfikir, memahami, dan terus menghafal. Sampai tidak ada waktu untuk hal selain itu.
Ini sebuah teguran yang dalam. Lebih-lebih atas banyak waktu yang terlewat sia-sia. Di akhir percakapan, ketika saya menjawab Aqidah Filsafat atas pertanyaan kuliah apa yang akan saya ambil, ia memberikan tahdzir (peringatan). Selain bisa dicari diluar, ada fan ilmu yang jauh lebih penting untuk dikuasai, yaitu Hadis. Ia bercerita sedikit menyesal mengapa dulu tidak memilih Hadis.
Oke, saya yang sempat mantap memilih harus berpikir ulang lagi. Barangkali sebab ini Allah gerakkan saya untuk istikhoroh pertama kalinya.
Poin utamanya ialah bahwa setelah tumbuh keinginan untuk bermain di Jawa Cup tahun depan setelah menyaksikan final tadi, muncul pula kerinduan yang mendalam untuk segera menghafal A-Qur’an dan matan-matan. Adapun menggabungkan keduanya hanyalah seperti memecah air dengan batu: percuma dan sia-sia. Ini artinya saya harus memilih satu dan meninggalkan lainya. Kaidah “Taqdimul Aham minal Muhim” (mendahulukan yang lebih penting dari yang penting) menemui relevansinya.
Tentu saja, saya tidak enak tiba-tiba pamit dari team satu-dua tahun kedepan demi fokus terhadap Al-Qur’an; seolah sangat egois. Disisi lain, saya lebih tidak enak pada orang tua yang membiayai, dan pada saya harapan dan doa dikirimkam untuk lekas hafal Al-Qur’an. Dan yang terpenting, saya jauh lebih tidak enak dengan Allah yang telah memberi waktu dan tanda-tanda, namun saya tidak cerdas atau peka membacanya. Saya merasa semakin mantap. Teguhkan saya, Ya Rabb!
Hati dan pikiran saya membenarkan bahwa dengan siapa seseorang bergaul alan menentukan cara berfikirnya. Pepatah jawa mengatakan “cedak kebo gupak”. Sementara dalam hadis disebutkan, “Al-Mar’u ‘ala diini kholilihi” (seseorang ialah bagaimana agama orang terdekatnya). Baru saja dua kejadian membuka mata saya lebar-lebar.
Pertama, saya menonton final Jawa Cup dan mbolos DL sebab telah berjanji datang demi melihat KSW mendapat gelar La Decima (10 kali juara). Kehadiran saya cukup tidak sia-sia karena dengan mata kepala saya sendiri saya dapati KSW mewujudkannya dan puluhan air mata berjatuhan dalam euforia haru dan gembira. Beberapa senior bilang pada saya bahwa tahun depan giliran dan tugas saya melanjutkan. Teman-teman seangkatan juga demikian. Hal ini cukup wajar sebab jabatan kapten tim juga ada dipundak saya. Saya hanya tersenyum. “Kita lihat besok,” kata saya.
Kedua, sepulang dari suporteran, ketika hendak balik ke kamar bertemu Abdullah (mahasiswa mesir) dan mengobrol banyak di jalan. Sejak berulang kali saya tidur ba’da subuh di masjid lalu ia bangunkan, kami menjadi cukup dekat. Ia basi-basi seperti biasa. Yang mengejutkan ialah ketika saya tanya apakah ia juga sepak bola, dijawabnya bahwa terakhir kali ia bermain 11 tahun silam. Apakah mengikuti perkembangan sepak bola? Tanya saya lagi. “Saya tidak punya waktu untuk memikirkannya” jawabnya. Kenapa? Reflek saya bertanya.
Ia menjawab bahwa harus fokus dengan pelajaran syariahnya serta memahami banyak hal yang belum diketahui. Saya tertohok. Tentu saja ini tidak biasa. Hampir semua pemuda di Mesir suka sepakbola atau minimal mengikuti perkembangannya. Di asrama, teman-temannya gila bola, sampai bermain tengah malam dijalanan. Namun ia bilang bahwa harus berfikir, memahami, dan terus menghafal. Sampai tidak ada waktu untuk hal selain itu.
Ini sebuah teguran yang dalam. Lebih-lebih atas banyak waktu yang terlewat sia-sia. Di akhir percakapan, ketika saya menjawab Aqidah Filsafat atas pertanyaan kuliah apa yang akan saya ambil, ia memberikan tahdzir (peringatan). Selain bisa dicari diluar, ada fan ilmu yang jauh lebih penting untuk dikuasai, yaitu Hadis. Ia bercerita sedikit menyesal mengapa dulu tidak memilih Hadis.
Oke, saya yang sempat mantap memilih harus berpikir ulang lagi. Barangkali sebab ini Allah gerakkan saya untuk istikhoroh pertama kalinya.
Poin utamanya ialah bahwa setelah tumbuh keinginan untuk bermain di Jawa Cup tahun depan setelah menyaksikan final tadi, muncul pula kerinduan yang mendalam untuk segera menghafal A-Qur’an dan matan-matan. Adapun menggabungkan keduanya hanyalah seperti memecah air dengan batu: percuma dan sia-sia. Ini artinya saya harus memilih satu dan meninggalkan lainya. Kaidah “Taqdimul Aham minal Muhim” (mendahulukan yang lebih penting dari yang penting) menemui relevansinya.
Tentu saja, saya tidak enak tiba-tiba pamit dari team satu-dua tahun kedepan demi fokus terhadap Al-Qur’an; seolah sangat egois. Disisi lain, saya lebih tidak enak pada orang tua yang membiayai, dan pada saya harapan dan doa dikirimkam untuk lekas hafal Al-Qur’an. Dan yang terpenting, saya jauh lebih tidak enak dengan Allah yang telah memberi waktu dan tanda-tanda, namun saya tidak cerdas atau peka membacanya. Saya merasa semakin mantap. Teguhkan saya, Ya Rabb!
Komentar
Posting Komentar