Kilas Balik Ramadhan 1439 H

Dalam tulisan saya sebelumnya, saya menandai beberapa poin penting yang bisa saya kembangkan. Mungkin tidak akan banyak dan mendetail. Setidaknya dapat menjadi refleksi kecil, yang barangkali ketika dipikir-pikir kembali, dapat diterapkan atau diambil hikmahnya oleh siapapun. Termasuk saya pribadi.

Selain itu, ini sebagai bentuk saya mengabadikan pikiran-pikiran saya saat ini. Karena manusia sebagai makhluk pembelajar, akan memasuki fase perubahan pemikiran dan cara pandang, seiring perjalanan yang panjang dan persinggungan dengan orang  maupun buku-buku bacaan. Maka menjadi menarik untuk menggoreskan setiap fase, sehingga harapannya kemudian akan ada potret utuh bagaimana perjalanan pemikiran seseorang.

Berikut beberapa kilas balik Ramadhan 1439 H, dan beberapa perenungan saya didalamnya.

1. Masyarakat Elit dan Salafi

Ya, perpindahan saya ke MAQURAA tidak hanya perpindahan rutinitas ataupun kebiasaan. Melainkan juga geografis. MAQURAA terletak di daerah perumahan elit Abbas el Akad. Apartemen tinggi yang mewah dan mobil-mobil mengkilap menjadi pemandangan sehari-hari saya. Harga sembako dan kebutuhan lainnya pun relatif lebih mahal. Bukan berarti gaya hidup saya juga berubah. Alhamdulillah, banyak muhsinin yang memberikan bantuan pada kami. Sehingga tidak perlu membayar tinggi, namun tetap memiliki tempat tinggal yang lebih dari layak.

Masjid didekat asrama kami juga relatif elit. As-Salam namanya. Dari fasilitas, inferior, dan jama’ahnya menunjukan strata menengah keatas. Menariknya, mayoritas jama’ahnya ialah kelompok salafi. Dan mereka menyumbangkan hartanya demi kemakmuran masjid. Saya mendapati fenomena menarik. Dikalangan pengusaha, jutawan, atau kaum perkotaan yang ekonominya tinggi, dakwah salafi cenderung diterima dan banyak tersebar. Hal ini cukup berbeda, misalnya bila kita bandingkan dengan masyarakat pedesaan yang bahkan cenderung antipati.

Mengapa demikian? Terlepas dari adanya perbedaan yang seringkali dibenturkan, saya hanya akan menyorot fenomena sosial yang ada. Dipedesaan, pengaruh pesantren dan kyai sangatlah mengakar kuat. Ketika misalnya kita berbicara NU yang memiliki banyak pesantren, maka secara otomatis masyarakat sekitar pada umumnya akan mengikuti manhaj Asy’ari—meskipun tidak disadari—yang notabenenya bersinggungan dalam beberapa hal dengan manhaj Salafi. Sehingga andaikata dakwah salafi ada disana, tidak akan mudah atau cepat berkembang.

Sementara di perkotaan atau pemukiman elit, ada beberapa hal setidaknya mengapa dakwah salafi dapat lebih mudah berkembang. Pertama, dakwah Asy’ari terkadang jarang menyentuh kalangan atas. Entah sudah nyaman dengan statusquo atau memang bukan orientasinya, yang jelas karena inilah dakwah salafi dapat mudah berkembang. Kedua, ditengah masyarakat bisnis, pegawai kantoran, dan pekerjaan lain yang memerlukan etos kerja tinggi, praktek keagamaan yang terlalu menekankan banyak seremonial atau ritual cenderung tidak diminati. Ketiga, masyarakat modern di lingkungan perkotaan yang tidak bergantung pada tradisi lama, sangat terbuka dengan sesuatu yang baru. Dalam dakwah, sesuatu cenderung ditolak ketika bertentangan dengan tradisi keagamaan yang telah mengkar. Ketika tidak ada, mudah saja untuk menerimanya.

‘Ala kulli hal, kedua sayap kelompok masyarakat ini jika dilihat dari kacamata fastabiqul khairat keduanya telah memberi peran yang berarti bagi masyarakat, terutama dalam mendekatkan masyarakat kepada agama islam, dan tentu dalam ranah masing-masing. Dan saya berharap kita dapat memandang demikian, tidak melulu dalam posisi berhadap-hadapan.

2. Masjid dan Pengelolaan Ramah Anak

Suatu ketika saya ikut sholat subuh di Masjid. Ini pertama kali selama Ramadhan, karena kami juga mengadakan jama’ah sendiri di asrama sebetulnya. Saya dapati disana banyak sekali jama’ah hadir termasuk anak-anak. Bahkan melebihi jumlah jama’ah sholat maghrib. Suatu pemandangan yang hidup.

Selepas sholat shubuh, Imam Masjid mengambil perhatian semua jama’ah. Saya kira akan ada kuliah subuh sebagaimana marak di Indonesia. Ternyata, ia membuat beberapa pertanyaan singkat dan menyiapkan hadiah bagi yang mampu menjawabnya.

Seketika anak-anak kecil antusias menjawab untuk merebut hadiahnya. Ada yang berdiri, berteriak dari belakang, bahkan sampai maju kedepan shof pertama. Yang berhasil akan bahagia sebab mendapat hadiah amplop berisi uang atau buku-buku bacaan islami. Yang belum berhasilpun tidak ada yang menangis. Mereka antusias untuk menanti esok hari dan akan berlomba untuk menjawabnya.

Ketika saya tanya salah seorang jama’ah, dijawabnya bahwa hal seperti ini berlangsung setiap ba’da subuh selama Ramadhan. Sangat menarik. Saya kira, ketika ini diterapkan di Indonesia, baik di pedesaan atau di perkotaan, akan cukup memberi dampak dalam memakmurkan masjid. Disamping membuat anak kecil tertarik untuk ke Masjid, hal ini juga akan menambah wawasan keislaman mereka.

Sebenarnya cukup sederhana. Pertanyaan keislaman dan hadiah kecil-kecilan. Memang yang dibutuhkan barangkali adalah mengkomunikasikan atau meyakinkan pihak sepuh terkait hal ini. Saya harap suatu saat kelak dapat menerapkannya. Atau mungkin siapa saja yang membaca ini dapat mengusahakan niat baik ini, di masjid sekitar barangkali:)

3. Hanya ada dua: Semangat atau Sangat Semangat

Ini adalah usaha saya menguatkan diri saya sendiri. Bahwa diantara yang terkuat dalam merubah seseorang ialah persepsi. Saya mencoba menghadirkan persepsi ini pada diri saya dalam menghafal Al-Qur’an. Malas memang suatu keniscayaan, baik dalam memulai atau membiasakan sesuatu. Tapi bukan sebagai pembenaran atas penurunan kita. Setidaknya semalas apapun, mengusahakan usaha terbaik ialah bukti bahwa kita konsisten dengan tujuan kita.

Bisa dikatakan, dengan persepsi ini saya mencoba menghilangkan kamus malas di otak saya. Agar ketika terpaksanya sewaktu-waktu ia datang, saya akan mengusahakan menaikkan derajatnya menjadi semangat sekalipun tidak maksimal. Sekali lagi, hanya dua pilihan: semangat atau sangat semangat!

4. Teguran salah seorang Jama’ah pada peminta-minta di Masjid.

Di Jum’at kedua bulan Ramadhan, ketika solat jum’at, terjadi insiden yang cukup ramai. Ketika seorang kakek paruh baya, berdiri selepas salam terakhir, lalu berbicara kepada semua jama’ah dengan cukup keras agar dibantu atau diberikan sedekah untuk memudahkan urusan hidupnya.

Lalu menyela seorang jama’ah disebelah saya dengan suara yang lebih lantang, bahwa masjid tidak dibangun untuk hal ini. Dan sambil marah, ia menjelaskan bahwa hal tersebut haram dan meminta kakek tersebut untuk melakukan kebutuhanya diluar(mengusir). Bukannya membalas marah, sebagaimana kebanyakan orang Mesir, kakek tersebut justru menangis. Sambil mengelus dadanya, ia membalas lirih bahwa perkataan lelaki tersebut sangat menyayat hatinya. Ia menerima nasihat tersebut namun merasa seolah dipermalukan.

Saya sendiri iba, namun tidak juga dapat berbuat apa-apa karena ramai orang mendekat ke kakek tua tersebut. Sebagian memberinya uang, sebagian menenangkan atau membawanya keluar masjid. Sementara lelaki disebelah saya, telah beranjak sesaat setelah menasihati.

Bahwa apa yang disampaikan lelaki tersebut adalah benar, saya tidak menyangsikannya. Saya juga mengapresiasi keinginannya menyampaikan kebenaran. Persoalannya apakah kebenaran tersebut akan sampai dan diterima, bergantung bagaimana menyampaikannya. Saya menyesalkan sikap menasehatinya didepan umum yang seolah mempermalukan atau bahkan menghujat. Alih-alih terbuka hatinya, untuk menerima saja rasanya susah bila demikian caranya. Padahal, meminjam istilah Buya Hamka, dakwah adalah membina bukan menghina; menyejukkan dan bukan memojokkan.

-------

Ramadhan memang selalu menarik. Betapa akan sangat merugi, bila ia berlalu begitu saja, lalu kita lupa, berapa banyak hikmah dan pelajaran berharga Allah beri untuk kita.

Semoga kita dipertemukan di kejutan Ramadhan selanjutnya. Taqabalallahu minna wa minkum. Kullu 'Am wa Antum Bikhoirin.

Diselesaikan di Rumah Maquraa,
Dalam acara Tasyakuran 9 Tahun MAQURAA.
18.37 CLT
23 Juni 2018








Komentar

VIEWERS

Postingan Populer