BRCH (28) : Refleksi Paruh Awal Ramadhan 1439 H
Senin, 21 Mei 2018
Sudah memasuki hari ke-5 Bulan Ramadhan.
Apakah ada peningkatan?
Apakah saya bahagia?
Benar saja, semua hanya soal waktu. Keraguan saya beberapa waktu lalu terjawab lunas dengan kebahagian yang pelan-pelan bertambah. Saya telah menikmati rutinitas dan pola hidup di Maquraa. Sekali lagi, hanya soal waktu.
Seolah-olah saya menemukan apa yang selama ini saya cari; obat gelisah berkepanjangan; kedamaian hati; Al-Qur’an. Ditambah dengan proses Karantina Ramadhan selama ramadhan kali ini, ketika hp dikumpulkan untuk tidak dijadikan tempat bergantung sementara, dan dihadirkan Al-Qur’an sebagai sebaik penggantinya, yang sewaktu-waktu menjadi teman kehidupan.
Ada beberapa hal menarik, semoga suatu waktu nanti dapat saya kembangkan dalam tulisan khusus.
1. Boleh saja dengki dengan kelebihan orang lain. Iri dengan hafalan dan bacaan teman-teman yang jauh diatas kita. Namun tidak untuk pesimis, sebab startnya memang sudah berbeda.
2. Saya merasa masih harus terus memburu jawaban dari pertanyaan,
“Hal apa yang akan saya lakukan, yang tidak akan dilakukan oleh orang biasa kebanyakan?”
3. Mencoba bersabar dengan pantang menyerah.
Teringat status BBM salah satu teman saya dahulu,
“Bakat saya hanya satu: pantang menyerah!”
4. Perkataan Wildan,
“Pasti Bapak Ibunya Hafal Qur’an, atau setidaknya lingkungan dan saudara-saudaranya juga penghafal qur’an,” ketika menanggapi seseorang lulusan pondok modern non tahfidh, tapi hafalannya banyak dan sangat kuat.
Ya, faktor keluarga. Maka, kalau saja nanti anak saya ingin saya jadikan hafidh sejak belia, solusinya adalah?
Mau tidak mau, bapak dan ibunya juga harus begitu. Kira-kira demikian barangkali. Hehe.
Sudah memasuki hari ke-5 Bulan Ramadhan.
Apakah ada peningkatan?
Apakah saya bahagia?
Benar saja, semua hanya soal waktu. Keraguan saya beberapa waktu lalu terjawab lunas dengan kebahagian yang pelan-pelan bertambah. Saya telah menikmati rutinitas dan pola hidup di Maquraa. Sekali lagi, hanya soal waktu.
Seolah-olah saya menemukan apa yang selama ini saya cari; obat gelisah berkepanjangan; kedamaian hati; Al-Qur’an. Ditambah dengan proses Karantina Ramadhan selama ramadhan kali ini, ketika hp dikumpulkan untuk tidak dijadikan tempat bergantung sementara, dan dihadirkan Al-Qur’an sebagai sebaik penggantinya, yang sewaktu-waktu menjadi teman kehidupan.
Ada beberapa hal menarik, semoga suatu waktu nanti dapat saya kembangkan dalam tulisan khusus.
1. Boleh saja dengki dengan kelebihan orang lain. Iri dengan hafalan dan bacaan teman-teman yang jauh diatas kita. Namun tidak untuk pesimis, sebab startnya memang sudah berbeda.
2. Saya merasa masih harus terus memburu jawaban dari pertanyaan,
“Hal apa yang akan saya lakukan, yang tidak akan dilakukan oleh orang biasa kebanyakan?”
3. Mencoba bersabar dengan pantang menyerah.
Teringat status BBM salah satu teman saya dahulu,
“Bakat saya hanya satu: pantang menyerah!”
4. Perkataan Wildan,
“Pasti Bapak Ibunya Hafal Qur’an, atau setidaknya lingkungan dan saudara-saudaranya juga penghafal qur’an,” ketika menanggapi seseorang lulusan pondok modern non tahfidh, tapi hafalannya banyak dan sangat kuat.
Ya, faktor keluarga. Maka, kalau saja nanti anak saya ingin saya jadikan hafidh sejak belia, solusinya adalah?
Mau tidak mau, bapak dan ibunya juga harus begitu. Kira-kira demikian barangkali. Hehe.
Komentar
Posting Komentar