Surat dari Fatur
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu.
Teruntuk sahabatku yang sedang menuntut ilmu di negeri yang jauh sana, semoga engkau senantiasa berada dalam lindunganNya.
Sehat kan dan? Alhamdulillah kok aku neng kene sehat. Pisan pisan aku le ngabari seko email yo muehehe. Jane sih selain menanyakan kabar, aku meh takon sesuatu, dan ini sebenarnya sudah menjadi pertanyaan yang biasa dan aku yakin koe pastine ndue jawaban sek lebih jelas.
Jadi begini dan, awalnya kan ada temen kuliahku yang tanya tentang hukum pengucapan "selamat natal" dan kebetulan sekarang kan lagi musim natal nih, dan menanggapi banyaknya perbedaan soal pengucapan "selamat natal" aku sendiri juga sudah memutuskan bahwa pengucapan "selamat natal" sebaiknya tidak usah. Dalam memutuskan ini sih sebenarnya aku make logika aja dan(nanti tak kirimin foto hasil pendapatku hehe), dan dalilnya masih kurang juga sih jane ehe, tapi lewat pendapatku nanti kamu paham kok maksudku. Nah kamu kan pernah bilang dan kalo soal perbedaan pendapat diantara ulama itu dalam islam memang sudah hal yang wajar, tapi kok semakin kesini malah merambah ke dalam hal pengucapan "selamat natal" yo? Bahkan seorang dahnil pun mengucapkan "selamat natal" juga, meskipun begitu dia punya alasan dan dasar yang kuat juga pastinya. Tapi mbuh kenapa, aku masih menolak cara dahnil berpikir, dan pendapatku masih kuat bahwa pengucapan "selamat natal" itu yo sebaiknya nggak usah( aku menghindari kata2 haram karena aku memutuskannya nggak pake dalil hehe). Nah maka dari itu, aku minta tolong dari kamu sebuah penjelasan tentang cara berpikirmu menanggapi hal ini.
Sori terlalu bertele2, sisan sinau nulis hehehe.
Suwun ya dan, ditunggu balesannya secepatnya dan semoga kuliahmu disana dilancarkan dan selalu berada dalam lindunganNya. Oiya salam juga buat azka dan aski yo hehe
Suwun ya dan, ditunggu balesannya secepatnya dan semoga kuliahmu disana dilancarkan dan selalu berada dalam lindunganNya. Oiya salam juga buat azka dan aski yo hehe
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu
_________________________
Kepada
Zaky Faturrahman R
Wa'alaikumussalam Warahmatullah
Alhamdulillah sehat dan lumayan perlahan bahagia. Hehe. Seneng aku nek ditulis neng email ngene, haha. Meskipun masih sama saja, sehebat apapun tulisan, tidak lebih dari sekedar obat pertemuan. Setidaknya, kita dapat berbagi dan melatih diri--menuangkan apa yang tidak dapat disampaikan.
W'alaikumussalam juga dari Azka, Azki. Belum lama kami (ikmammm) berkumpul. Sembari menguatkan silaturahim, juga menghadiri tasyakuran Kak Mushab Umair (yg memiliki ketawa khas) atas janin yang sudah memasuki bulan ketujuh. Hehe.
Sebelumnya, kapasitas saya yang masih minim tidak memungkinkan bagi saya memberikan jawaban kecuali apa yang telah dijelaskan oleh para 'alim ulama sebelumnya. Apalagi sekedar menggunakan logika, mereka yang salah bisa benar selama logika dapat menerimanya. Hehe
Sebetulnya persoalan yang kamu sampaikan bukan perkara yang baru, melainkan selalu muncul bersamaan dengan momen dan latar belakang pribadi masing-masing. Para ulama baik salaf (dahulu) maupun khalaf (belakangan) pun tidak absen dalam membicarakannya. Pada intinya dlm perkara ini terdapat khilaf diantara para ulama perihal ucapan selamat Natal. Sementara untuk menghadiri perayaan Natal, ulama bersepakat bahwa demikian haram hukumnya.
Pendapat Pertama ialah yang melarang. Mayoritas para ulama saudi seperti ibnu Taimiyah, Syaikh Utsaimin, Ibnul Qoyyim, dan beberapa lainnya. Hal ini dikarenakan mengucapkan sama halnya dengan diri kita mengakui (membenarkan) sesuatu yang diluar Aqidah kita. Ajaran dalam islam menyebutkan bahwa Isa Al Masih ialah utusan Allah--bukan Tuhan. Berseberangan dengan faham kristen yang menganggap bahwa Isa (Yesus) ialah rasul sekaligus Tuhan.
Pendapat kedua yang membolehkan. Mayoritas ulama Azhar Mesir seperti, Yusuf Qordhowi, Quraish Shihab, Ali Jum'ah dan lain-lain. Terus terang, baru disini saya memahami terdapat perbedaan yang cukup berjarak antara faham saudi dan Mesir. Dan sebagian besar ajaran yang saya terima di Muallimin cenderung dekat kepada faham saudi--bertolak belakang dengan faham disini. Kan asik. Hehe.
Kembali ke persoalan, mereka yang membolehkan melandaskan dengan dalil Al Mumtahanah ayat 8 dan An Nisa 86. Diantara pendapat yang populer dan dijadikan pegangan banyak orang ialah Dr Yusuf Qordhowi. Kurang lebih diantara mengapa beliau membolehkan ialah faktor geografis. Situasi dan kondisi yang berbeda di setiap belahan dunia menjadikan fatwa yang dikeluarkan pun berbeda. Beliau menganggap ucapan selamat Natal sebagai bentuk perbuatan baik dan ramah kepada sesama non muslim, dengan catatan mereka yang tidak memusuhi umat islam. Selain itu harus disertai keyakinan sama sekali tidak untuk membenarkan atau mengakui. Dan satu hal lagi, beliau mengeluarkan fatwa setelah ada pertanyaan dari seseorang yang menempuh studi di negara Eropa.
Lalu bagaimana mau mengambil jalan tengah?
Dalam kaidah ushul fiqh, dijelaskan bahwa fatwa dapat berubah sesuai kondisi, tradisi, dan kebiasaan. Fatwa berdemo tentu haram bagi saudi tapi boleh bagi negara penganut demokrasi. Begitupun dalam hal ini, latar belakang sosiologis perlu diperhatikan. Di Mesir, sebagaimana kata Quraish Shihab, sudah biasa muslim mengucapkan selamat natal. Hubungan Kristen-Islam sangat damai, tenang, dan tidak ada kristenisasi sebagaimana marak di Indonesia.
Sementara di Indonesia, perseteruan horizontal umat islam dan kristiani tidak bisa dianggap remeh. Selain kristenisasi, beberapa konflik antar agama sering terlahir dari dua agam tersebut. Sehingga, apabila kita selaku umat islam di indonesia melakukannya, walau sekilas sederhana, akan lebih mudah terjebak jerat pemahaman aqidah yang mulanya kecil, merambat semakin besar.
Kemudian, barusaja tadi pagi, saya membaca tulisan seseorang yang menggunakan logika cukup menarik. Nanti saya sertakan tulisan di WA. Pada intinya ada dua poin, pertama, kalau kita tidak mengucapkan selamat natal, tokh tidak ada sejarahnya konflik antar agama bermula atas dasar tersebut. Lagipula kita tetap bersikap ramah dan sopan bukan? Dan yang kedua, mendekonstruksi makna natal itu sendiri telah merusak makna natal dan bersikap intoleran. Biarkan faham natal mereka sesuai dengan yang mereka pahami. Tidak perlu menggunakan istilah islam dalam memaknai natal mereka. Makna toleransi ialah membiarkan mereka melakukan praktek agama sebagaimana aqidah mereka dan tidak membiarkan orang lain mengganggunya.
Saya rasa, sudah dapat menangkapkan? Jelas. Bintang akutansi masak ndak bisa. Haha
Duh kok dowo ya haha. 'Ala kulli hal, saya masih fakir ilmu dan perlu belajar lebih dalam lagi. Nanti tak kirim beberapa artikel penguat sumber yang terlalu sayang diabaikan--mengelak membaca padahal mahasiswa.
WaAllahua'lam bisshowaf.
Btw aku nulis jam diawal bergantinya hari lo. Hehe. Terimakasih suratnya, sebagai pembelajaran juga buat saya.
Wassalamu'alaikum Warahmatullah,
Partner lomba (perdana) Futsal Mts mu,
Hidanul Achwan.
Komentar
Posting Komentar