Ringkasan Seminar Peta Keilmuan Islam #1
Khulasoh Seminar Peta Keilmuan Islam #1 Aqidah Filsafat
Sabtu, 9 Desember 2017
Pembicara : Ust Amri Fatmi Lc., MA
Oleh : Hidanul Achwan
Justru dikarenakan susah dan beratnya, belajar Aqidah-Filsafat, menjadi sebuah tantangan tersendiri.
Sudah banyak yang terjun di Fiqh, Tafsir, Syariat, Lughoh. Sementara yang biasa dicari dan dibutuhkan ialah yang asing. Indonesia butuh pakar Aqidah dan Filsafat. Agar yang dijadikan rujukan bukan jebolan Mc Gill atau barat lainnya, melainkan lulusan Timur Tengah, dan Al Azhar khususnya.
Selama ini kita mendengar susahnya Belajar di Aqidah Filsafat sering dari orang yang tidak berkecimpung didalamnya. Jangan sampai menjadi seperti serigala yang mengatakan anggur pahit, sebab belum dan tidak dapat menggapainya untuk dimakan.
Bagi beliau Aqidah dan Filsafat merupakan sesuatu yang nikmat dan lezat untuk dipelajari, selain merupakan hal yang sangat menantang.
Mengapa Aqidah berkaitan dengan Filsafat?
Sebab keduanya tidak dapat dipisahkan. Aqidah berbicara tentang pemaparan sebuah pemahaman. Sementara Filsafat mempertahankan pemahaman dari serangan paham yang lain. Selain itu, filsafat membentuk bagaimana cara berfikir. Mantik dan Ilmu Kalam yg dibahas didalamnya juga nemperkuat logika untuk menyerang atau mempertahankan aqidah.
Filsafat berjaya di Barat sebab memang lahir dan berkembang disana. Namun Filsafat Barat tidak mengenal Tuhan. Maka muncullah Al Ghazali di akhir abad ke 5 menerjemahkan Karya Filsafat Barat untuk dapat dipelajari umat islam. Dan beruntungnya di Azhar, kita dipahamkan dahulu dengan filsafat islam yang tidak menolak Tuhan, sebelum mendalami filsafat Barat.
Bahkan, andai berkesempatan, kita datang ke Barat tidak sekedar untuk belajar. Melainkan mendakwahkan filsafat yang bernafaskan islam sehingga memberikan pandangan yang utuh tentang islam di Barat seperti yg dilakukan Muh Albahi (Jerman), Abdul Halim Mahmud (Prancis), dan Mahmud Hamdi (Munich, Jerman).
Beda Aqidah Mesir-Saudi?
Sebenarnya diantara Mesir dan Saudi tidak banyak perbedaan dalam Aqidah. Justru Lebih banyak persamaannya. Hanya saja yang ramai dibicarakan ialah perbedaanya. Oleh sebab itu perlu dibahas. Kalau sama, persoalan sudah selesai tidak perlu dibahas lagi. Adapun sebab utamanya ialah perbedaan manhaj dan rujukan.
Madinah secara umum merujuk kepada Ibnul Qayyim dan ulama hadis Imam Ahmad bin Hanbal. Oleh karenanya cenderung menerima hadis secara literal atau tanpa banyak menggunakan logika. Sementara Al Azhar memberikan porsi pada akal dalam memahami nash hadis. Logika atau akal digunakan sebagai difa' (mempertahankan) daripada serangan paham lain. Inilah yang dilakukan oleh Imam Abu Hasan Al Asy'ari. Berbeda dengan Imam Ahmad yang menjauhi perkara syubhat atau perdebatan.
Walau demikian, adanya perbedaan ialah secara sifat saja. Secara umum sama. Bahkan, Imam Abu Hasan Al Asy'ari secara terang-terangan menyatakan dirinya seorang ahlul hadis. Beliau pengikut Imam Ahmad dalam Hadis dan mengakui kapasitasnya. Hanya saja, beliau menggunakan logika untuk pertahanan dan berdebat menentang paham lain yang salah bahkan menyalahkan-nyalahkan. Kalau tidak ada Imam Abu Hasan, pastilah Mu'tazilah masih ada hingga saat ini.
Beberapa ulama memandang karya Abu Hasan yang berupa AL-Ibanah dan Al-Luma' terdapat kontradiksi. Padahal keduanya sama sekali tidak bertentangan. Al Ibanah berisi pemaparan (tanpa persoalan) sementara pada Al Luma' terdapat persoalan yg diperdebatkan. Dalam Konferensi Ulama Al Azhar tahun 2010, diputuskan bahwa tidak ada yang pasti mana yang lebih awal muncul antara Al Ibanah atau Al Luma'. Intinya, keduanya dikarang dalam manhaj yang berbeda oleh pengarang yang sama.
Bagaimana menyikapi Perbedaan?
Jawabannya ialah mempelajari semuanya. Dengan mengetahui keduanya akan memunculkan sikap yang bijak. Sebab seringkali kita membenci sesuatu yang tidak kita ketahui. Ibnu Khaldun mengatakan, الأنسان عدو مايجهله "د"
Kalau diibaratkan, tidak dapat kita paksa semua orang untuk menjaga rumah. Sebaliknya, tidak elok pula memaksa semua orang untuk keluar berperang. Semua ada bagiannya masing-masing. Tidak perlu terlarut dalam perdebatan saling menyalahkan. Imam Ahmad berkontribusi penting dalam menjaga kautentikan hadis. Sementara Abu Hasan berperan dalam menjaga faham islam dari berbagai serangan.
Liberalisme adalah Neo Mu'tazilah, Kelompok takfiri ialah Neo Khawarij?
Menyematkan suatu nama kelompok yang memiliki sejarah dan sistematika berpikir dengan kelompok lain yang latar belakangnya berbeda tidaklah bijak. Tidak bisa kita mengatakan Liberalisme adalah Neo Mu'tazilah secara mutlak. Keduanya memiliki genealogi sejarah yang berbeda sekalipun ada kesamaan. Ulama Mu'tazilah banyak melahirkan karya monumental yang menjadi rujukan seperti Zamakhsyari maupun Qadi Abdul Jabir. Dan adakah yg diciptakan oleh Kaum Liberal dapat menyetarainya? Tentu tidak. Begitupun Khawarij yg muncul dalam latar belakang peristiwa tahkim tentu berbeda dengan asal usul kelompok takfiri dewasa ini. Kecuali apabila kita mengatakan ada beberapa kesamaan dalam beberapa hal. Bukan sama sekaligus secara istilah.
Nasihat-Nasihat :
1. Mulailah mempelajari semua cabang ilmu dari madkhol atau muqaddimah. Itu akan memudahkan kita memahami. Beli buku yang tipis-tipis dahulu, jangan langsung membaca kitab tebal yang berat.
2. Dalam membaca muqoror harus memiliki semangat yang lebih dari sekedar menyelesaikan. Namun berusaha memahami. Bila tidak dapat, minta dipahamkan oleh orang lain yg sudah faham. Tidak berhenti disitu, harus ada semangat pula utk dapat menyampaikan. Kita memahami untuk menyampaikan.
3. Tidak perlu stress dalam menghadapi ujian Al Azhar. Banyak masisir gagal dalam ujian sebab stress tidak dapat menjawab soal. Bagaimana caranya? Kuasai semua materi. Pahami semua bagian muqoron tanpa peduli ada yg di mahdzuf. Itu akan menenangkan. Sehingga kita berani menantang diri sendiri, soal mana yang akan dikeluarkan dan bisa kita jawab?
Kairo, 9 Desember 2017
Sabtu, 9 Desember 2017
Pembicara : Ust Amri Fatmi Lc., MA
Oleh : Hidanul Achwan
Justru dikarenakan susah dan beratnya, belajar Aqidah-Filsafat, menjadi sebuah tantangan tersendiri.
Sudah banyak yang terjun di Fiqh, Tafsir, Syariat, Lughoh. Sementara yang biasa dicari dan dibutuhkan ialah yang asing. Indonesia butuh pakar Aqidah dan Filsafat. Agar yang dijadikan rujukan bukan jebolan Mc Gill atau barat lainnya, melainkan lulusan Timur Tengah, dan Al Azhar khususnya.
Selama ini kita mendengar susahnya Belajar di Aqidah Filsafat sering dari orang yang tidak berkecimpung didalamnya. Jangan sampai menjadi seperti serigala yang mengatakan anggur pahit, sebab belum dan tidak dapat menggapainya untuk dimakan.
Bagi beliau Aqidah dan Filsafat merupakan sesuatu yang nikmat dan lezat untuk dipelajari, selain merupakan hal yang sangat menantang.
Mengapa Aqidah berkaitan dengan Filsafat?
Sebab keduanya tidak dapat dipisahkan. Aqidah berbicara tentang pemaparan sebuah pemahaman. Sementara Filsafat mempertahankan pemahaman dari serangan paham yang lain. Selain itu, filsafat membentuk bagaimana cara berfikir. Mantik dan Ilmu Kalam yg dibahas didalamnya juga nemperkuat logika untuk menyerang atau mempertahankan aqidah.
Filsafat berjaya di Barat sebab memang lahir dan berkembang disana. Namun Filsafat Barat tidak mengenal Tuhan. Maka muncullah Al Ghazali di akhir abad ke 5 menerjemahkan Karya Filsafat Barat untuk dapat dipelajari umat islam. Dan beruntungnya di Azhar, kita dipahamkan dahulu dengan filsafat islam yang tidak menolak Tuhan, sebelum mendalami filsafat Barat.
Bahkan, andai berkesempatan, kita datang ke Barat tidak sekedar untuk belajar. Melainkan mendakwahkan filsafat yang bernafaskan islam sehingga memberikan pandangan yang utuh tentang islam di Barat seperti yg dilakukan Muh Albahi (Jerman), Abdul Halim Mahmud (Prancis), dan Mahmud Hamdi (Munich, Jerman).
Beda Aqidah Mesir-Saudi?
Sebenarnya diantara Mesir dan Saudi tidak banyak perbedaan dalam Aqidah. Justru Lebih banyak persamaannya. Hanya saja yang ramai dibicarakan ialah perbedaanya. Oleh sebab itu perlu dibahas. Kalau sama, persoalan sudah selesai tidak perlu dibahas lagi. Adapun sebab utamanya ialah perbedaan manhaj dan rujukan.
Madinah secara umum merujuk kepada Ibnul Qayyim dan ulama hadis Imam Ahmad bin Hanbal. Oleh karenanya cenderung menerima hadis secara literal atau tanpa banyak menggunakan logika. Sementara Al Azhar memberikan porsi pada akal dalam memahami nash hadis. Logika atau akal digunakan sebagai difa' (mempertahankan) daripada serangan paham lain. Inilah yang dilakukan oleh Imam Abu Hasan Al Asy'ari. Berbeda dengan Imam Ahmad yang menjauhi perkara syubhat atau perdebatan.
Walau demikian, adanya perbedaan ialah secara sifat saja. Secara umum sama. Bahkan, Imam Abu Hasan Al Asy'ari secara terang-terangan menyatakan dirinya seorang ahlul hadis. Beliau pengikut Imam Ahmad dalam Hadis dan mengakui kapasitasnya. Hanya saja, beliau menggunakan logika untuk pertahanan dan berdebat menentang paham lain yang salah bahkan menyalahkan-nyalahkan. Kalau tidak ada Imam Abu Hasan, pastilah Mu'tazilah masih ada hingga saat ini.
Beberapa ulama memandang karya Abu Hasan yang berupa AL-Ibanah dan Al-Luma' terdapat kontradiksi. Padahal keduanya sama sekali tidak bertentangan. Al Ibanah berisi pemaparan (tanpa persoalan) sementara pada Al Luma' terdapat persoalan yg diperdebatkan. Dalam Konferensi Ulama Al Azhar tahun 2010, diputuskan bahwa tidak ada yang pasti mana yang lebih awal muncul antara Al Ibanah atau Al Luma'. Intinya, keduanya dikarang dalam manhaj yang berbeda oleh pengarang yang sama.
Bagaimana menyikapi Perbedaan?
Jawabannya ialah mempelajari semuanya. Dengan mengetahui keduanya akan memunculkan sikap yang bijak. Sebab seringkali kita membenci sesuatu yang tidak kita ketahui. Ibnu Khaldun mengatakan, الأنسان عدو مايجهله "د"
Kalau diibaratkan, tidak dapat kita paksa semua orang untuk menjaga rumah. Sebaliknya, tidak elok pula memaksa semua orang untuk keluar berperang. Semua ada bagiannya masing-masing. Tidak perlu terlarut dalam perdebatan saling menyalahkan. Imam Ahmad berkontribusi penting dalam menjaga kautentikan hadis. Sementara Abu Hasan berperan dalam menjaga faham islam dari berbagai serangan.
Liberalisme adalah Neo Mu'tazilah, Kelompok takfiri ialah Neo Khawarij?
Menyematkan suatu nama kelompok yang memiliki sejarah dan sistematika berpikir dengan kelompok lain yang latar belakangnya berbeda tidaklah bijak. Tidak bisa kita mengatakan Liberalisme adalah Neo Mu'tazilah secara mutlak. Keduanya memiliki genealogi sejarah yang berbeda sekalipun ada kesamaan. Ulama Mu'tazilah banyak melahirkan karya monumental yang menjadi rujukan seperti Zamakhsyari maupun Qadi Abdul Jabir. Dan adakah yg diciptakan oleh Kaum Liberal dapat menyetarainya? Tentu tidak. Begitupun Khawarij yg muncul dalam latar belakang peristiwa tahkim tentu berbeda dengan asal usul kelompok takfiri dewasa ini. Kecuali apabila kita mengatakan ada beberapa kesamaan dalam beberapa hal. Bukan sama sekaligus secara istilah.
Nasihat-Nasihat :
1. Mulailah mempelajari semua cabang ilmu dari madkhol atau muqaddimah. Itu akan memudahkan kita memahami. Beli buku yang tipis-tipis dahulu, jangan langsung membaca kitab tebal yang berat.
2. Dalam membaca muqoror harus memiliki semangat yang lebih dari sekedar menyelesaikan. Namun berusaha memahami. Bila tidak dapat, minta dipahamkan oleh orang lain yg sudah faham. Tidak berhenti disitu, harus ada semangat pula utk dapat menyampaikan. Kita memahami untuk menyampaikan.
3. Tidak perlu stress dalam menghadapi ujian Al Azhar. Banyak masisir gagal dalam ujian sebab stress tidak dapat menjawab soal. Bagaimana caranya? Kuasai semua materi. Pahami semua bagian muqoron tanpa peduli ada yg di mahdzuf. Itu akan menenangkan. Sehingga kita berani menantang diri sendiri, soal mana yang akan dikeluarkan dan bisa kita jawab?
Kairo, 9 Desember 2017
Komentar
Posting Komentar