Bunga Rampai Catatan Harian (9)
Jum’at, 1 Desember 2017
Sebuah kejadian menyadarkan saya akan kekurangan yang ada pada saya dalam menuntut ilmu. Siang tadi saya ditegur langsung oleh Syekh Syarofuddin. Didepan mata saya ia berterus terang meminta saya berhenti dan uang akan kembali. Tentu amat mengagetkan dan sama sekali tidak saya sangka. Walau demikian, sejujurnya bukan diluar kemungkinan.
Kalau mau dirunut hari-hari sebelumnya rasanya cukup logis. Saya sudah tidak boleh izin lagi sebenarnya sejak pertemuan pertama sudah izin ada rapat. Namun 2 pertemuan belakangan saya izin. Fatalnya, selasa kemaren saya lupa ada jadwal sehingga tanpa keterangan. Dan barangkali penyebab utamanya ialah kritik saya diakhir pertemuan sebelum hari selasa. Dengan cukup berani saya menyampaikan gelisah saya perihal sholat yang tidak diawalkan dan waktu yang sering tidak sesuai jadwal sehingga menabrak jadwal pribadi saya yang lain. Saya rasa saya memiliki hak sebab membayar. Faktor lain yang memberanikan saya ialah naluri berontak yang masih ada tersimpan. Sayang sekali keduanya ialah sumber malapetaka.
Dalam perbincangan empat mata saya dibabat habis. Walau tidak dengan kata-kata pedas, justru kehalusannya yang menyentuh nurani saya. Dikatakan bahwa seorang tolib harus bersabar dan mengerti adab dalam menuntut ilmu, dan itu tidak nampak pada saya. Saya mengkritik tanpa berkaca bagaimana kehadiran saya sebelumnya. Lalu beliau berterus terang sakit hati perihal uang yang disinggung. Kalau mau, beliau sudah ditawari mengajar di Al Azhar namun memilih berkhidmat pada masisir. Adapun uang untuk biaya asrama gratis yang beliau asuh. Betapa bodohnya saya. Dalam hati saya meringis ingin menangis tak kuasa ketika sekali lagi, saya diminta berhenti belajar dengan beliau lalu uang akan dikembalikan. Beliau bukan tidak senang pada saya, melainkan sikap saya.
Saya hanya tertunduk tidak berani menatap mata beliau. Dengan segenap keberanian, saya pasrah lalu meminta maaf dan pamit, jika memang demikian kehendak beliau. Dan sungguh, kelapangan hati Syaikh Al-Azhar memang benar adanya. Belum sempat kata pamit sampai pada tempo, dibolehkan saya belajar lagi kalau hendak memperbaiki. Kelegaan hati saya seperti seorang yang selamat dari laju kencang mobil yang hendak menabrak di jalanan. Akan menjadi pelajaran bagi saya, untuk lebih bersabar dan beradab dalam menuntut ilmu.
Selasa, 5 Desember 2017
Ternyata persoalan hati sedemikian rumit dan berpengaruhnya dalam hidup saya. Hati saya bersyukur atas sesuatu yang kembali, walau siapapun tau, tanpa menjamin sesuatu yang pasti. Saya bahagia saja, atas kehadiran seseorang dalam bagian hidup saya. Sebab yang demikian telah mendorong semangat dan gairah menulis saya. Walaupun sejujurnya saya khawatir, bilamana suatu ketika tidak ada lagi yang dapat membangkitkan saya kecuali diri saya sendiri.
Pagi ini sebuah kejadian memilukan tersebar dalam BC WA. Tentang kasus penangkapan 5 masisir oleh sekelompok mabahits. Pagi buta sebelum shubuh rumah mereka digedor untuk digalandang menuju kantor polisi. Seharian mendekam tanpa makan hingga sore. Setelah di interogasi, 2 orang selamat sebab memiliki visa dan izin tinggal. 3 sisanya menunggu proses sambil ditahan dalam sel 2x1 untuk 4 orang tahanan. Tanpa makan, minum, maupun selimut dalam kondisi dingin yang mencekam. Barulah dihari ke-6 dua orang dibebaskan namun dengan status dipulangkan atau deportase. Sesuatu yang menyedihkan walau terus terang lebih membahagiakan mereka dibanding frustasi dan didholimi dalam sel. Satu orang lagi masih ditahan tanpa ada kejelasan. Dan semua itu ditulis oleh korban dengan penuh emosional.
Bagi saya bukan sesuatu yang asing. Sedikit banyak novel Ayat-Ayat Cinta mereplikakan kepolisian Mesir yang amat menyedihkan, kendatipun cukup diwajari mengingat darurat keamanan Mesir. Saya hanya tidak sampai pikiran, bilamana perjalanan saya yang masih panjang, suatu ketika harus mengalami hal demikian. Betapa orang tua saya akan cemas bahkan sampai sakit. Allah.
Walau demikian, sesuatu seperti membisiki saya. Beberapa orang besar dan hebat, mengalami titik balik atau menelurkan refleksi mendalam atau bahkan buku-buku fenomal dibalik jeruji sel tahanan. Saya tidak tahu. Semoga Allah membimbing hati saya.
Jum’at, 8 Desember 2017
Kabar pemindahan ibukota Israel dari Tel Aviv ke Yerussalem secara sepihak menggemparkan semua pihak. Di Kairo siang tadi demonstrasi warga Mesir tentang Palestina terjadi di daerah Darrasah. Sayang saya tidak menjumpainya. Hanya napak tilas jalanan yang ditutup sementara saya lihat dalam perjalanan menuju dars Kawakib. Di Kelas, Syekh Syafrodin juga menyesalkan kabar internasional tersebut. Dikatakannya bahwa presiden Mesir sekarang, Al-Sisi, cenderung lembek terhadap Israel. Beliau juga bercerita bahwasannya dahulu orang Indonesia atau mahasiswa Azhar mustahil kena sweeping mabahits. Kerneh (kartu mahasiswa) yang ditunjukkan mencukupkan dari penggeledahan.
O iya, baru kali ini saya merasa benar-benar menikmati belajar. Selain cukup banyak faham, diantara murid yang lain, kali ini saya cukup mendominasi—tidak terpuruk seperti pertemuan sebelumnya-sebelumnya.
Pukul 4 sore dars selesai. Segera saya menuju Masjid Al-Azhar untuk mengejar Talaqqi Jurumiah Syekh Fauzi Konate. Sayang sekali hari ini libur. Mungkin sebab demonstrasi. Akhirnya saya memilih jalan-jalan ke Maktabah. Idealisme saya mengatakan harus beli kitab. Sempat bimbingan jor-joran membeli. Takut salah kualitas atau tahqiq yang tidak baik. Namun saya tetap kuatkan untuk beli. 4 kitab saya beli sekaligus dengan 85 LE setelah proses tawar menawar di Darul Lu’luah. 4 kitab tersebut ialah Syarh Qothrunnada, Syarh Syudzuruz Zahab, ‘Umdatul Ahkam, dan Matan Alfiyah Ibnu Malik. Setidaknya kalau salah, saya sudah memulai langkah.
Malam ini, dalam hati yang paling dalam saya meringis meratapi nasib saya. Rasanya kebanggan sampai di Mesir dengan usia relatif muda (tanpa perlu mondok lagi setelah lulus Muallimin) tinggalah kebanggan kosong. Nyatanya sebaliknya. Pikir saya usia muda ialah suatu peluang untuk mempelajari lebih banyak hal dibanding orang lain (teman seangkatan di Mesir) ketika usianya sama dahulu. Realitanya sudah berbeda start. Mesir lebih cocok untuk orang yang sudah cukup matang sehingga dapat diasah atau dipertajam. Bukan untuk memulai atau mempelajari dasar-dasar—sesuatu yang seharusnya dikuasai sebelumnya. Saya harus benar-benar berlari mengejar ketertinggalan.
Secara tiba-tib, muncul keinginan yang amat kuat untuk, suatu saat kelak, menghafal matan Alfiyyah Ibnu Malik yang berjumlah 1002 baris atau setebal 50 an halaman. Bismillah, jangan sampai lepas asa!
Sebuah kejadian menyadarkan saya akan kekurangan yang ada pada saya dalam menuntut ilmu. Siang tadi saya ditegur langsung oleh Syekh Syarofuddin. Didepan mata saya ia berterus terang meminta saya berhenti dan uang akan kembali. Tentu amat mengagetkan dan sama sekali tidak saya sangka. Walau demikian, sejujurnya bukan diluar kemungkinan.
Kalau mau dirunut hari-hari sebelumnya rasanya cukup logis. Saya sudah tidak boleh izin lagi sebenarnya sejak pertemuan pertama sudah izin ada rapat. Namun 2 pertemuan belakangan saya izin. Fatalnya, selasa kemaren saya lupa ada jadwal sehingga tanpa keterangan. Dan barangkali penyebab utamanya ialah kritik saya diakhir pertemuan sebelum hari selasa. Dengan cukup berani saya menyampaikan gelisah saya perihal sholat yang tidak diawalkan dan waktu yang sering tidak sesuai jadwal sehingga menabrak jadwal pribadi saya yang lain. Saya rasa saya memiliki hak sebab membayar. Faktor lain yang memberanikan saya ialah naluri berontak yang masih ada tersimpan. Sayang sekali keduanya ialah sumber malapetaka.
Dalam perbincangan empat mata saya dibabat habis. Walau tidak dengan kata-kata pedas, justru kehalusannya yang menyentuh nurani saya. Dikatakan bahwa seorang tolib harus bersabar dan mengerti adab dalam menuntut ilmu, dan itu tidak nampak pada saya. Saya mengkritik tanpa berkaca bagaimana kehadiran saya sebelumnya. Lalu beliau berterus terang sakit hati perihal uang yang disinggung. Kalau mau, beliau sudah ditawari mengajar di Al Azhar namun memilih berkhidmat pada masisir. Adapun uang untuk biaya asrama gratis yang beliau asuh. Betapa bodohnya saya. Dalam hati saya meringis ingin menangis tak kuasa ketika sekali lagi, saya diminta berhenti belajar dengan beliau lalu uang akan dikembalikan. Beliau bukan tidak senang pada saya, melainkan sikap saya.
Saya hanya tertunduk tidak berani menatap mata beliau. Dengan segenap keberanian, saya pasrah lalu meminta maaf dan pamit, jika memang demikian kehendak beliau. Dan sungguh, kelapangan hati Syaikh Al-Azhar memang benar adanya. Belum sempat kata pamit sampai pada tempo, dibolehkan saya belajar lagi kalau hendak memperbaiki. Kelegaan hati saya seperti seorang yang selamat dari laju kencang mobil yang hendak menabrak di jalanan. Akan menjadi pelajaran bagi saya, untuk lebih bersabar dan beradab dalam menuntut ilmu.
Selasa, 5 Desember 2017
Ternyata persoalan hati sedemikian rumit dan berpengaruhnya dalam hidup saya. Hati saya bersyukur atas sesuatu yang kembali, walau siapapun tau, tanpa menjamin sesuatu yang pasti. Saya bahagia saja, atas kehadiran seseorang dalam bagian hidup saya. Sebab yang demikian telah mendorong semangat dan gairah menulis saya. Walaupun sejujurnya saya khawatir, bilamana suatu ketika tidak ada lagi yang dapat membangkitkan saya kecuali diri saya sendiri.
Pagi ini sebuah kejadian memilukan tersebar dalam BC WA. Tentang kasus penangkapan 5 masisir oleh sekelompok mabahits. Pagi buta sebelum shubuh rumah mereka digedor untuk digalandang menuju kantor polisi. Seharian mendekam tanpa makan hingga sore. Setelah di interogasi, 2 orang selamat sebab memiliki visa dan izin tinggal. 3 sisanya menunggu proses sambil ditahan dalam sel 2x1 untuk 4 orang tahanan. Tanpa makan, minum, maupun selimut dalam kondisi dingin yang mencekam. Barulah dihari ke-6 dua orang dibebaskan namun dengan status dipulangkan atau deportase. Sesuatu yang menyedihkan walau terus terang lebih membahagiakan mereka dibanding frustasi dan didholimi dalam sel. Satu orang lagi masih ditahan tanpa ada kejelasan. Dan semua itu ditulis oleh korban dengan penuh emosional.
Bagi saya bukan sesuatu yang asing. Sedikit banyak novel Ayat-Ayat Cinta mereplikakan kepolisian Mesir yang amat menyedihkan, kendatipun cukup diwajari mengingat darurat keamanan Mesir. Saya hanya tidak sampai pikiran, bilamana perjalanan saya yang masih panjang, suatu ketika harus mengalami hal demikian. Betapa orang tua saya akan cemas bahkan sampai sakit. Allah.
Walau demikian, sesuatu seperti membisiki saya. Beberapa orang besar dan hebat, mengalami titik balik atau menelurkan refleksi mendalam atau bahkan buku-buku fenomal dibalik jeruji sel tahanan. Saya tidak tahu. Semoga Allah membimbing hati saya.
Jum’at, 8 Desember 2017
Kabar pemindahan ibukota Israel dari Tel Aviv ke Yerussalem secara sepihak menggemparkan semua pihak. Di Kairo siang tadi demonstrasi warga Mesir tentang Palestina terjadi di daerah Darrasah. Sayang saya tidak menjumpainya. Hanya napak tilas jalanan yang ditutup sementara saya lihat dalam perjalanan menuju dars Kawakib. Di Kelas, Syekh Syafrodin juga menyesalkan kabar internasional tersebut. Dikatakannya bahwa presiden Mesir sekarang, Al-Sisi, cenderung lembek terhadap Israel. Beliau juga bercerita bahwasannya dahulu orang Indonesia atau mahasiswa Azhar mustahil kena sweeping mabahits. Kerneh (kartu mahasiswa) yang ditunjukkan mencukupkan dari penggeledahan.
O iya, baru kali ini saya merasa benar-benar menikmati belajar. Selain cukup banyak faham, diantara murid yang lain, kali ini saya cukup mendominasi—tidak terpuruk seperti pertemuan sebelumnya-sebelumnya.
Pukul 4 sore dars selesai. Segera saya menuju Masjid Al-Azhar untuk mengejar Talaqqi Jurumiah Syekh Fauzi Konate. Sayang sekali hari ini libur. Mungkin sebab demonstrasi. Akhirnya saya memilih jalan-jalan ke Maktabah. Idealisme saya mengatakan harus beli kitab. Sempat bimbingan jor-joran membeli. Takut salah kualitas atau tahqiq yang tidak baik. Namun saya tetap kuatkan untuk beli. 4 kitab saya beli sekaligus dengan 85 LE setelah proses tawar menawar di Darul Lu’luah. 4 kitab tersebut ialah Syarh Qothrunnada, Syarh Syudzuruz Zahab, ‘Umdatul Ahkam, dan Matan Alfiyah Ibnu Malik. Setidaknya kalau salah, saya sudah memulai langkah.
Malam ini, dalam hati yang paling dalam saya meringis meratapi nasib saya. Rasanya kebanggan sampai di Mesir dengan usia relatif muda (tanpa perlu mondok lagi setelah lulus Muallimin) tinggalah kebanggan kosong. Nyatanya sebaliknya. Pikir saya usia muda ialah suatu peluang untuk mempelajari lebih banyak hal dibanding orang lain (teman seangkatan di Mesir) ketika usianya sama dahulu. Realitanya sudah berbeda start. Mesir lebih cocok untuk orang yang sudah cukup matang sehingga dapat diasah atau dipertajam. Bukan untuk memulai atau mempelajari dasar-dasar—sesuatu yang seharusnya dikuasai sebelumnya. Saya harus benar-benar berlari mengejar ketertinggalan.
Secara tiba-tib, muncul keinginan yang amat kuat untuk, suatu saat kelak, menghafal matan Alfiyyah Ibnu Malik yang berjumlah 1002 baris atau setebal 50 an halaman. Bismillah, jangan sampai lepas asa!
Komentar
Posting Komentar