Bunga Rampai Catatan Harian (7)

Jum’at, 3 November 2017

Semalam ketika saya mendengarceramah Dr. Said Ramadhan Buthi di Youtube, tiba-tiba saya merasa selama ini masih sia sia apa yang saya lakukan. Beliau bercerita bahwa belajar sejarah kepada ayahnya langsung. Dididik dengan penuh kematangan dan keseriusan. Dikatakannya bahwa ayah beliau seoorang wali Allah yang diberi keutamaan. Jadilah anaknya seorang mujtahid muashir yang masyhur dan kedalaman ilmunya disegani para ulama. Dalam sebuah kesempatan, Mas Izzam mengutip perkataan Syekh Ali Jum’ah yang mengatakan bahwa untuk masa ini, kalaupun boleh dan ada ulama yang mendirikan suatu madzhab baru, merekalah Dr. Yusuf Qordhowi, Said Ramadhan Al Buthii, dan terakhir beliau terdiam tidak melanjutkan (mungkin mengisyaratkan dirinya sendiri).

Dan apakah yang membuat perjalanan saya merasa sia-sia?

Sebab mimpi saya setinggi langit sementara usaha saya tak kunjung lepas dari dasar laut. Hidup masih mencari alur, tirakat banyak kendor, bahasa arab maupun kaidah sangat lemah, termasuk bacaan dan hafalan Al Qur’an tak kunjung membaik.

Lalu, sepulang dari masjid pagi tadi, dalam sebuah perjalanan sendiri menuju asrama saya seolah berdialog dengan diri sendiri. Seolah-olah muncul hasrat untuk kuliah di Universitas Islam Madinah. Di Mesir saya merasa godaan teramat sangat besar. Satu bulan disini belum memberi dampak yang banyak, sementara teman-teman di Indonesia kian berkembang.

Apakah saya kurang bersyukur?


Sabtu, 4 November 2017

Salah seorang teman, Luthfi Fikriandi, menulis di grup WA angkatan Resident 2017 mengingatkan kejadian tepat satu tahun silam. Ketika ribuan umat islam turun ke jalan menyampaikan aspirasi terkait kasus penistaan agama. Orang menyebutnya Aksi Bela Islam 2 atau 411. Saya jadi ingat tepat hari itu Ustadz Zaini Munir masuk kelas dan bercerita membakar ghirah kami setelah mengetahui salah seorang dari kami ada yang berangkat ke Jakarta. Tiba-tiba saja saya rindu suasana kelas dan kebersamaan penghuninya. Waktu berjalan sedemikian cepat tanpa memberi kesempatan otak untuk mencerna banyak hal yang telah terjadi.

Hari ini waktu dan tenaga saya banyak terforsir untuk futsal. Dari pagi sampai sore saya berada di Nadi Gamalia daerah Darrasah untuk mengikuti Cempe Champions League. Saya diajak Mas Syauqi bergabung di tim PSG. Sayang, kami hanya bertengger di runner up grup sehingga tidak lolos semifinal. Malam hari rapat kabinet pengurus angkatan sampai pukul 22.15 CLT.

Belakangan, sedikit sekali saya membaca buku. Saya sedang berkutat dengan “Risalah untuk Kaum Muslimin” karya Syed Naquib Al-Attas. Saya target senin selesai sehingga lekas dapat melahap buku lain.


Ahad, 5 November 20117

Sebisa mungkin belakangan ini saya menjaga pandangan. Menghindari kontak mata dengan perempuan asing yang tidak saya kenal. Berusaha menaklukan hawa nafsu agar tiada liar memandang saya punya mata. Tidak mudah memang, lolos dari jeratan yang menjelma paras cantik wanita Mesir. Belum lagi ketika di Bis Umum, bisikan-bisikan setan kian lantang terdengar. Kalau bukan sebab kedamaian hati dan keinginan yang mendalam untuk dekat dengan Al-Qur’an, rasanya mudah sekali untuk sekali-kali mencuri pandang.

Dalam perjalanan siang tadi saya berusaha untuk mejaga pandangan sampai tiba di Muqottom, tempat talaqqi tahsin dan tahfidz. Ada harapan agar mudah dalam menghafal dan lancar dalam membaca. Namun, bacaan saya justru menjelma ibarat minyak tanah yang menjadi sumber api kemarahan Syekh Wail. Saya dikatai habis-habisan. Bacaan saya amat kacau sampai 7 kali salah dalam hukum bacaan yang sama, yakni idgham bilaghunnah (percayalah, sudah saya usahakan agar benar). Dikatakan bahwa bacaan saya “sayi’ jiddan-jiddan,”. Sampai seorang yang sedang setor didepan saya menghentikan bacaanya mendengar amarah syekh pada saya.

Amat sangat menyesakkan. Saya harus menanggung malu tersebut. Kepada diri sendiri, Syekh, orang didepan saya, dan tentu teman-teman yang mendengarkan (diantara mereka saya paling buruk). Ternyata ikhtiar menjaga pandangan saya tiada berdampak besar pada bacaan saya. Atau barangkali salah saya dalam memasang niat? Atau mungkin Allah ingin menguji kesabaran saya.

Sungguh, malu dan gengsi yang tiada terkira masih hinggap di hati. Mustahil untuk dipercaya. Untuk membaca Al-Qur’an saja saya sedemikian cacatnya. Apa yang saya dapat di Mu’allimin? Padahal empat teman saya lainnya setoran hafalan dan otomatis lancar bacaannya. Dan saya? Harus berulang kali ditegur perihal makhroj dan hukum bacaan. Terus terang saya amat malu dengan teman-teman. Satupun tidak ada dari mereka yang kena semprot Syekh. Bahkan cenderung di senangi oleh Syekh. Rasanya gengsi saya juga meronta membisik halus. Saya ketua marhalah Forza, masak baca Al-Qur’an tidak bisa. Sampai hilang saya punya mood hari itu.

Namun harus lekas disadari bawha dalam belajar dibutuhkan kesabaran yang tinggi sebagaimana ulama dahulu memberi teladan. Imam Syafi’i juga mengatakan untuk mendapat ilmu diantaranya ialah ‘Thuulu Zaman’ (waktu yang lama), tidak instan begitu saja. Harus menghinakan diri didepan ilmu supaya lebih mudah dalam berguru dan meneguk ilmu.

Barangkali Allah ingin saya memahami ini. Semoga.

Komentar

VIEWERS

Postingan Populer