Sekali lagi, Nekat!
Ahad, 1 Oktober 2017
Kemaren sore, selepas bimbel persiapan tes tahdid mustawa (placement level), saya mengikuti nobar dan bedah film G30S PKI yang diselenggarakan oleh PWK PII Mesir dan PPMI Mesir. Awalnya hendak bersama Dinulloh (kader PII Jatim) saja. Namun mendadak ia membatalkan. Jadilah saya melesat bersama Azka, Azki, Tegar, dan Mouhan menuju aula Daha KMJ, tidak jauh dari sekre PCIM yang bertempat di Bawwabat 2 kota ‘Asir.
Filmnya cukup menarik. Dimulai dengan tragedi Kanigoro Affair, penyerangan pelatihan PII oleh kader PKI yang biadab. Lalu detik-detik pembantaian jendral-jendral di Lubang Buaya. Sampai pengangkatan Soeharto. Sutradara film tersebut, Arifin C. Nur, ialah sutradara terbaik dimasanya katanya. Pun menghabiskan dana 800 juta dalam penggarapanya, angka yang fantastis di masa itu. Lagipula saya tidak terlalu tertarik perihal film. Diskusilah sasaran empuk saya.
Sedikit sayang, diskusi baru mulai pukul 21.30 CLT. Tepat ketika empat teman saya memutuskan pulang asrama duluan. Sempat saya ingin turut serta sebab ada jam tutup gerbang asrama. Kalau bukan sebab tawaran Kang Rona Rohmana (Ketua PWK PII Mesir) untuk menginap di Mabes PII, tentu tidak bisa saya berdiskusi. Jadilah saya tetap berada di lokasi, bersama peserta lain yang tidak berguguran. Mungkin saya satu-satunya maba yang masih bau kencur dalam diskusi kali ini.
Berjalannya diskusi amat memikat sekalipun sedikit larut dan beberapa peserta berguguran. Pembicara yang hadir diantaranya : Harun Syaifullah Syafa (KBRI), Yahya Ibrahim, M Muhakkam Zein (Tokoh NU), dan Ahsan Nur Ahmad (Kader PII). Keempat pembicara mengurai dengan disiplinnya masing-masing. Bapak harun dengan kacamata politik dan bacaan sejarahnya. Ia menyatakan bahwa komunisme secara ideologi tidak akan pernah mati. Ideologi selamanya hidup walau terkadang redup. Ia memberi contoh Ikhwanul Muslimin, yang kali ini para pembesarnya dibalik jeruji, namun, sampai suatu saat kelak, fahamnya tidak akan mati. Pembicaraan tiga pemateri lainya sudah saya tulis dalam google keep. Yang jelas, diskusi ini membuka wawasan saya yang cukup lama kering dan dahaga diskusi.
Ah iya, kebetulan sempat saya bertanya. Sebagai penanya pertama sekaligus peserta paling muda. Bagi saya itu suatu keharusan dalam sebuah diskusi, tidak peduli umur dan strata. Itupun setelah sempat menimbang ragu iya tidak. Bagi saya, tidak peduli nanti bagaimana. Yang penting lakukan dulu. Just do it. Hitung-hitung perlahan merakit panggung. Hehe
Saya bertanya perihal rekonsiliasi dan kemungkinannya diterapkan di Indonesia, dengan pernyataan maaf Gusdur ketika menjabat dahulu sebagai pembanding. Satu lagi, terkait kemungkinan komunisme bangkit di Indonesia, secara dia (baca:komunisme) merupakan ideologi, yang oleh Taufik Ismail dikatakan, bangkrut dan sudah tidak lagi laku di dunia. Juga pertimbangan pernyataan Buya Syafi’i bahwa itu hanyalah isu usang atau kaset lama yang kembali diputar, sebagaimana tulisannya dalam resonansi Republika.
Betapa bahagia hati saya melihat keempat pembicara tertarik untuk turut menjawab. Tidak seperti penanya lain setelah saya, yang hanya satu dua pemateri menjawabnya. Dan semua jawaban amat memuaskan sekaligus menyibak tirai yang sebelumnya tertutup oleh kedangkalan bacaan saya. Persoalan rekonsiliasi tidak sesempit permintaan maaf. Bahkan ketika sudah ada maaf Gusdur pun, disepah mentah-mentah saat itu oleh Pram. Secara umat islam, memaafkan tentu lebih mulia, namun tidak untuk dilupakan. Sementara bilamana pernyataan maaf secara resmi dan terbuka disampaikan pemerintah, tidak hanya puas, simpatisan PKI dipastikan akan menuntut ini-itu sebagai ganti. Sebab konsekuensi dari permintaan maaf akan rumit dan menimbulkan efek domino yang memanjang. Sementara pertanyaan kedua, sudah terjawab sebagaimana diatas oleh Bapak Harun Syaifullah.
Diakhir acara, salah seorang petinggi PPMI menyalami sambil berceletuk, “Wah calon kader bangsa mulai berkemekaran nih. “ Hoho. Semoga tidak lekas besar kepala dan kian rendah hati serta selalu merasa kurang.
Malam itu juga, saya diajak ikut evaluasi panitia. Pukul 23.45 CLT. Seperti sudah menjadi bagian dari mereka sebab hangat sambutan mereka. Lalu turut serta bermalam di mabes PWK PII yang cukup berjarak dari tempat diskusi, walau sejujurnya wajib diasrama. Hehe. Bismillah. Link dan jaringan sedini mungkin akan memudahkan banyak hal dikemudian hari. Ini yang coba saya pegang tanpa mengurangi porsi nggetih belajar. Dan Alhamdulillah, belum genap satu minggu sudah dipertemukan dengan mereka. Kang Rona, Mas Abiyyu, Mas Faris, Mas Jirjis, dan banyak lagi lainya. Kalu tidak Nekat, tidak dapat!
Kemaren sore, selepas bimbel persiapan tes tahdid mustawa (placement level), saya mengikuti nobar dan bedah film G30S PKI yang diselenggarakan oleh PWK PII Mesir dan PPMI Mesir. Awalnya hendak bersama Dinulloh (kader PII Jatim) saja. Namun mendadak ia membatalkan. Jadilah saya melesat bersama Azka, Azki, Tegar, dan Mouhan menuju aula Daha KMJ, tidak jauh dari sekre PCIM yang bertempat di Bawwabat 2 kota ‘Asir.
Filmnya cukup menarik. Dimulai dengan tragedi Kanigoro Affair, penyerangan pelatihan PII oleh kader PKI yang biadab. Lalu detik-detik pembantaian jendral-jendral di Lubang Buaya. Sampai pengangkatan Soeharto. Sutradara film tersebut, Arifin C. Nur, ialah sutradara terbaik dimasanya katanya. Pun menghabiskan dana 800 juta dalam penggarapanya, angka yang fantastis di masa itu. Lagipula saya tidak terlalu tertarik perihal film. Diskusilah sasaran empuk saya.
Sedikit sayang, diskusi baru mulai pukul 21.30 CLT. Tepat ketika empat teman saya memutuskan pulang asrama duluan. Sempat saya ingin turut serta sebab ada jam tutup gerbang asrama. Kalau bukan sebab tawaran Kang Rona Rohmana (Ketua PWK PII Mesir) untuk menginap di Mabes PII, tentu tidak bisa saya berdiskusi. Jadilah saya tetap berada di lokasi, bersama peserta lain yang tidak berguguran. Mungkin saya satu-satunya maba yang masih bau kencur dalam diskusi kali ini.
Berjalannya diskusi amat memikat sekalipun sedikit larut dan beberapa peserta berguguran. Pembicara yang hadir diantaranya : Harun Syaifullah Syafa (KBRI), Yahya Ibrahim, M Muhakkam Zein (Tokoh NU), dan Ahsan Nur Ahmad (Kader PII). Keempat pembicara mengurai dengan disiplinnya masing-masing. Bapak harun dengan kacamata politik dan bacaan sejarahnya. Ia menyatakan bahwa komunisme secara ideologi tidak akan pernah mati. Ideologi selamanya hidup walau terkadang redup. Ia memberi contoh Ikhwanul Muslimin, yang kali ini para pembesarnya dibalik jeruji, namun, sampai suatu saat kelak, fahamnya tidak akan mati. Pembicaraan tiga pemateri lainya sudah saya tulis dalam google keep. Yang jelas, diskusi ini membuka wawasan saya yang cukup lama kering dan dahaga diskusi.
Ah iya, kebetulan sempat saya bertanya. Sebagai penanya pertama sekaligus peserta paling muda. Bagi saya itu suatu keharusan dalam sebuah diskusi, tidak peduli umur dan strata. Itupun setelah sempat menimbang ragu iya tidak. Bagi saya, tidak peduli nanti bagaimana. Yang penting lakukan dulu. Just do it. Hitung-hitung perlahan merakit panggung. Hehe
Saya bertanya perihal rekonsiliasi dan kemungkinannya diterapkan di Indonesia, dengan pernyataan maaf Gusdur ketika menjabat dahulu sebagai pembanding. Satu lagi, terkait kemungkinan komunisme bangkit di Indonesia, secara dia (baca:komunisme) merupakan ideologi, yang oleh Taufik Ismail dikatakan, bangkrut dan sudah tidak lagi laku di dunia. Juga pertimbangan pernyataan Buya Syafi’i bahwa itu hanyalah isu usang atau kaset lama yang kembali diputar, sebagaimana tulisannya dalam resonansi Republika.
Betapa bahagia hati saya melihat keempat pembicara tertarik untuk turut menjawab. Tidak seperti penanya lain setelah saya, yang hanya satu dua pemateri menjawabnya. Dan semua jawaban amat memuaskan sekaligus menyibak tirai yang sebelumnya tertutup oleh kedangkalan bacaan saya. Persoalan rekonsiliasi tidak sesempit permintaan maaf. Bahkan ketika sudah ada maaf Gusdur pun, disepah mentah-mentah saat itu oleh Pram. Secara umat islam, memaafkan tentu lebih mulia, namun tidak untuk dilupakan. Sementara bilamana pernyataan maaf secara resmi dan terbuka disampaikan pemerintah, tidak hanya puas, simpatisan PKI dipastikan akan menuntut ini-itu sebagai ganti. Sebab konsekuensi dari permintaan maaf akan rumit dan menimbulkan efek domino yang memanjang. Sementara pertanyaan kedua, sudah terjawab sebagaimana diatas oleh Bapak Harun Syaifullah.
Diakhir acara, salah seorang petinggi PPMI menyalami sambil berceletuk, “Wah calon kader bangsa mulai berkemekaran nih. “ Hoho. Semoga tidak lekas besar kepala dan kian rendah hati serta selalu merasa kurang.
Malam itu juga, saya diajak ikut evaluasi panitia. Pukul 23.45 CLT. Seperti sudah menjadi bagian dari mereka sebab hangat sambutan mereka. Lalu turut serta bermalam di mabes PWK PII yang cukup berjarak dari tempat diskusi, walau sejujurnya wajib diasrama. Hehe. Bismillah. Link dan jaringan sedini mungkin akan memudahkan banyak hal dikemudian hari. Ini yang coba saya pegang tanpa mengurangi porsi nggetih belajar. Dan Alhamdulillah, belum genap satu minggu sudah dipertemukan dengan mereka. Kang Rona, Mas Abiyyu, Mas Faris, Mas Jirjis, dan banyak lagi lainya. Kalu tidak Nekat, tidak dapat!
Komentar
Posting Komentar