Ormaba PPMI : Serangkaian Pembelajaran
Kamis, 5 Oktober 2017
Agenda hari ini adalah ormaba oleh PPMI Mesir. Semacam ospek kampus namun khusus mahasiswa baru dari Indonesia. Jadilah 1500 sekian manusia yang belum genap 1 bulan menginjakkan kaki di bumi kinanah ini disatukan dalam sebuah Gedung Olahraga, tidak jauh dari asrama. Darisana berjibun inspirasi saya dapat. Memang sedari awal saya bersungut datang ialah untuk belajar. Bagaimana mengemas sebuah acara, model kegiatan, koordinasi antar panitia, kepribadian anggotanya, dan masih banyak lagi. Tanpa diterangkan oleh siapapun, dengan melihat dan merenung, saya banyak belajar.
Sosok Pangeran Arsyad selaku presiden PPMI Mesir sukses membakar saya. Badannya tegap tinggi, rautnya serius berwibawa namun tetap menyuguhkan senyum. Orasinya amat menggelegar seperti seorang ketua BEM memimpin aksi unjuk rasa. Siapapun yang mendengarnya, barangkali enggan meninggalkan pandangannya walau satu kedipan. Membakar semangat perantau yang menghampar luas pada kami kesempatan yang orang lain tiada mendapatkan. Ternyata ia alumni Gontor. Terus terang, bagaimana ia bersikap dan beretorika membuat saya bergetar. Lalu, seketika muncul tanya pada diri sendiri.
Mungkinkah saya kelak menjadi penerusnya? Sama sekali bukan perntanyaan angkuh maupun berlebihan. Sebatas menguji mental dan keberanian, adakah saya berani membuka kemungkinan sebagaimana demikian?
Secara umum cukup menarik. Kegiatan dimulai dengan sesuatu yang berfaedah, yakni public discussion tentang Manhaj Azhary yang diisi oleh 2 orang syekh mesir langsung. Syekh Hisyam Kamil dan Syekh Mustafa al A’la dari Alexandria. 90 Menit diskusi berjalan full berbahasa arab. Saya agak payah mengikutinya, namun perlahan coba saya biasakan dan memahami. Selepas itu pengenalan Senat Mahasiswa ala Universitas Al-Azhar. Kali ini mahasiswa Indonesia yang berbicara, namun sengaja saya tidak mengikuti sebab disinilah kegelisahan bermula. Waktu dzuhur sudah 15 menit berlalu sejak publik discussion dicukupkan. Saya kira acara akan dijeda untuk istirahat sholat dzuhur, ternyata pembawa acara mempersilahkan Ketua Senat berbicara. Sempat saya bertanya ke panitia kenapa tidak diberhentikan dahulu. Katanya, setelah pengenalan Senat selesai. Jadilah saya mretel lebih awal untuk mencari tempat sholat bersama teman-teman.
Terkadang, saya tidak habis fikir, seperti inikah jalan berfikir kegiatan yang panitianya bahkan pesertanya juga ialah mahasiswa (dan calon mahasiswa) yang belajar islam di kiblatnya ilmu islam?
Ketika kami selesai sholat dan jalan-jalan sebentar sebagian besar yang lain baru akan sholat. Sudah pukul 12.45 saat itu. Ah, alangkah indahnya ketika berbagai kesibukan maupun aktifitas ialah sesuatu yang kita gunakan untuk menunggu datangnya waktu sholat. Sehingga belajar, olahraga, belanja, dlsb ialah kegiatan yang berputar dalam jeda antar waktu sholat. Bukan sholat yang kita jejalkan dalam aktifitas kita sehingga kerap di nomer sekiankan. Begitu kira-kira saya teringat apa yang disampaikan guru saya dahulu, Ustadz Zaini Munir.
Lalu lanjut istirahat makan siang sambil penampilan hiburan. Sekitar pukul 13.30 kegiatan dilanjutkan dengan sharing singkat dengan mahasiswa berprestasi kemudian lanjut pemilihan nama marhalah (angkatan) 2017. Beberapa turut beraspirasi, saya kurang tertarik bersuara, dan memilih hanyut dalam buku panduan ormaba yang didalamnya banyak tulisan orang-orang hebat cetakan Azhar. Sampai terpilihlah nama “Zaahera” sebagai nama marhalah kami. Artinya cemerlang, gemilang. Ketika itu, banyak teman-teman sudah tidak tertarik dan mengajak pulang lebih dahulu. Namun saya masih ingin disini, menyaksikan prosesi pemilihan ketua marhalah.
Sampai tiba waktunya, beberapa teman yang masih bersama saya menyarankan saya mencalonkan diri. Hehe. Saya ragu dan menimbang-nimbang. Akhirnya saya memutuskan jawaban tidak, sebab ditaun pertama masih ingin fokus untuk hafalan. Namun saya cukup menikmati orasi para calon ketua yang cukup menarik, bahkan ada yang sampai berapi-api. Sekitar 9 orang maju mencalonkan diri. 6 banin 3 banat. Setiap peserta memiliki satu suara untuk banin dan banat. Saya kira akan disediakan kertas lalu memilih dan mengumpulkannya. Ternyata hanya dengan model angkat tangan dan panitia yang disebar menghitung serta mengkalkulasikan. Sangat riskan kecurangan dan ketidakakuratan.
Untung saja interval antar suara cukup kentara sehingga sudah dapat diprediksi. Terpilih sebagai ketua umum ialah Ahmad Mu’allim dari pondok di Madura, ketua 1 Ridho Humeidi dari Gontor. Sementara ketua wihdah atau banat ialah Maulida Justica. Saya tidak ingat betul dari almamater apa dia.
Satu hal datang sebagai sebuah kenyataan sekaligus kesadaran, bahwa kekuatan alumni gontor sangat mendominasi. Selain banyaknya jebolan pondok tersebut yang ada disini, secara kekompakan dan kekeluargaan mereka patut diperhitungkan. Menjalin kedekatan dan kehangatan dengan mereka akan memudahkan banyak hal, selain tentu menambah ikatan persaudaraan.
Agenda hari ini adalah ormaba oleh PPMI Mesir. Semacam ospek kampus namun khusus mahasiswa baru dari Indonesia. Jadilah 1500 sekian manusia yang belum genap 1 bulan menginjakkan kaki di bumi kinanah ini disatukan dalam sebuah Gedung Olahraga, tidak jauh dari asrama. Darisana berjibun inspirasi saya dapat. Memang sedari awal saya bersungut datang ialah untuk belajar. Bagaimana mengemas sebuah acara, model kegiatan, koordinasi antar panitia, kepribadian anggotanya, dan masih banyak lagi. Tanpa diterangkan oleh siapapun, dengan melihat dan merenung, saya banyak belajar.
Sosok Pangeran Arsyad selaku presiden PPMI Mesir sukses membakar saya. Badannya tegap tinggi, rautnya serius berwibawa namun tetap menyuguhkan senyum. Orasinya amat menggelegar seperti seorang ketua BEM memimpin aksi unjuk rasa. Siapapun yang mendengarnya, barangkali enggan meninggalkan pandangannya walau satu kedipan. Membakar semangat perantau yang menghampar luas pada kami kesempatan yang orang lain tiada mendapatkan. Ternyata ia alumni Gontor. Terus terang, bagaimana ia bersikap dan beretorika membuat saya bergetar. Lalu, seketika muncul tanya pada diri sendiri.
Mungkinkah saya kelak menjadi penerusnya? Sama sekali bukan perntanyaan angkuh maupun berlebihan. Sebatas menguji mental dan keberanian, adakah saya berani membuka kemungkinan sebagaimana demikian?
Secara umum cukup menarik. Kegiatan dimulai dengan sesuatu yang berfaedah, yakni public discussion tentang Manhaj Azhary yang diisi oleh 2 orang syekh mesir langsung. Syekh Hisyam Kamil dan Syekh Mustafa al A’la dari Alexandria. 90 Menit diskusi berjalan full berbahasa arab. Saya agak payah mengikutinya, namun perlahan coba saya biasakan dan memahami. Selepas itu pengenalan Senat Mahasiswa ala Universitas Al-Azhar. Kali ini mahasiswa Indonesia yang berbicara, namun sengaja saya tidak mengikuti sebab disinilah kegelisahan bermula. Waktu dzuhur sudah 15 menit berlalu sejak publik discussion dicukupkan. Saya kira acara akan dijeda untuk istirahat sholat dzuhur, ternyata pembawa acara mempersilahkan Ketua Senat berbicara. Sempat saya bertanya ke panitia kenapa tidak diberhentikan dahulu. Katanya, setelah pengenalan Senat selesai. Jadilah saya mretel lebih awal untuk mencari tempat sholat bersama teman-teman.
Terkadang, saya tidak habis fikir, seperti inikah jalan berfikir kegiatan yang panitianya bahkan pesertanya juga ialah mahasiswa (dan calon mahasiswa) yang belajar islam di kiblatnya ilmu islam?
Ketika kami selesai sholat dan jalan-jalan sebentar sebagian besar yang lain baru akan sholat. Sudah pukul 12.45 saat itu. Ah, alangkah indahnya ketika berbagai kesibukan maupun aktifitas ialah sesuatu yang kita gunakan untuk menunggu datangnya waktu sholat. Sehingga belajar, olahraga, belanja, dlsb ialah kegiatan yang berputar dalam jeda antar waktu sholat. Bukan sholat yang kita jejalkan dalam aktifitas kita sehingga kerap di nomer sekiankan. Begitu kira-kira saya teringat apa yang disampaikan guru saya dahulu, Ustadz Zaini Munir.
Lalu lanjut istirahat makan siang sambil penampilan hiburan. Sekitar pukul 13.30 kegiatan dilanjutkan dengan sharing singkat dengan mahasiswa berprestasi kemudian lanjut pemilihan nama marhalah (angkatan) 2017. Beberapa turut beraspirasi, saya kurang tertarik bersuara, dan memilih hanyut dalam buku panduan ormaba yang didalamnya banyak tulisan orang-orang hebat cetakan Azhar. Sampai terpilihlah nama “Zaahera” sebagai nama marhalah kami. Artinya cemerlang, gemilang. Ketika itu, banyak teman-teman sudah tidak tertarik dan mengajak pulang lebih dahulu. Namun saya masih ingin disini, menyaksikan prosesi pemilihan ketua marhalah.
Sampai tiba waktunya, beberapa teman yang masih bersama saya menyarankan saya mencalonkan diri. Hehe. Saya ragu dan menimbang-nimbang. Akhirnya saya memutuskan jawaban tidak, sebab ditaun pertama masih ingin fokus untuk hafalan. Namun saya cukup menikmati orasi para calon ketua yang cukup menarik, bahkan ada yang sampai berapi-api. Sekitar 9 orang maju mencalonkan diri. 6 banin 3 banat. Setiap peserta memiliki satu suara untuk banin dan banat. Saya kira akan disediakan kertas lalu memilih dan mengumpulkannya. Ternyata hanya dengan model angkat tangan dan panitia yang disebar menghitung serta mengkalkulasikan. Sangat riskan kecurangan dan ketidakakuratan.
Untung saja interval antar suara cukup kentara sehingga sudah dapat diprediksi. Terpilih sebagai ketua umum ialah Ahmad Mu’allim dari pondok di Madura, ketua 1 Ridho Humeidi dari Gontor. Sementara ketua wihdah atau banat ialah Maulida Justica. Saya tidak ingat betul dari almamater apa dia.
Satu hal datang sebagai sebuah kenyataan sekaligus kesadaran, bahwa kekuatan alumni gontor sangat mendominasi. Selain banyaknya jebolan pondok tersebut yang ada disini, secara kekompakan dan kekeluargaan mereka patut diperhitungkan. Menjalin kedekatan dan kehangatan dengan mereka akan memudahkan banyak hal, selain tentu menambah ikatan persaudaraan.
Komentar
Posting Komentar