Lagi-lagi Gelisah
Senin, 2 Oktober 2017
Tadi malam terenungkan dalam pikiran saya menyoalkan kebersihan Kota Cairo. Dalam perjalanan menuju masjid Sohabah dari sekre PCIM saya utarakan gelisah yang menyeruak pada teman-teman. Betapa banyak sampah berserakan di sudut-sudut kota Cairo ialah suatu yang amat sayang. Di jalan raya, gang, halaman rumah, dan beberapat tempat lain sangat menjijikkan. Bertebaran sampah. Rasanya tidak berlebihan saya sebut kemproh, walau beberapa tempat bersih dan tertata. Sementara bumi kinanah ini ialah kiblatnya ilmu islam, tempat hikmah dan khazanah dapat digali.
Banyak orang asing datang untuk menuntut ilmu sebagaimana banyaknya ulama islam yang, alangkah indahnya, bilamana dapat menyuarakan kebersihan menyejukkan siapa saja yang memiliki nurani. Saya jadi teringat perkataan Muhammad Abduh yang masyhur, “Saya menemukan islam di Barat tapi tidak menemukan kaum muslim disana. Dan saya menemukan kaum Muslim di Timur, tapi tidak menemukan islam disana.”
Sama sekali tidak kaget sebetulnya. Dahulu sempat menyaksikan di Youtube tentang channel yang memotret sudut-sudut negara Mesir, khususnya ibukota Cairo yang memang tidak jauh berbeda dengan Jakarta atau Indonesia. Bahkan, bagi saya, sedikit lebih mending Indonesia. Dimana setidaknya setiap aparatur desa turut bersuara menggalakkan lingkungan yang bersih dan nyaman.
Dan apa yang mata saya melihat ialah tingkat kepedulian yang rendah diantara warga Mesir dengan lingkungannya. Seolah-olah pada mereka sudah terfahamkan sikap individualisme yang mengutamakan diri sendiri tanpa memedulikan yang lain. Sebuah penyakit yang mencederai tatanan umum masyarakat. Padahal, Islam amat menganjurkan kebersihan sebagai ajaran yang amat tinggi nilainya. Bahkan, dikatakan bahwa kebersihan separuh dari iman. Namun, kenapa justru seakan dikhianati bahkan oleh negara yang mayoritas umat islam dan tempat menuntut ilmu islam?
Dalam sebuah kesempatan, Kak Fardan, Ketua PCIM Mesir yang taun ini habis masa jabatannya, sempat menuturkan bahwa orang yang belum lama tinggal di Mesir memandang sesuatu dengan ‘bashar’. Sementara orang yang sudah lama di Mesir—khususnya Azhari—melihat sesuatu dengan ‘bashir’. Perbedaanya ialah orang baru seperti saya masih memandang Mesir dengan penglihatan indrawi atau bashar. Sebatas apa yang nampak di mata. Dan orang yang sudah lama, seperti beliau misalnya, menyaksikan dengan batin atas sesuatu yang tidak nampak. Saking luar biasanya mesir sebab Azhar, katanya, seolah-olah setiap jengkal tanahnya mengandung bukti sejarah peradaban umat islam.
Sepenuhnya saya sadari belum sampai tahap tersebut. Dan saya setuju pernyataan beliau, namun tidak sepenuhnya membenarkan. Lebih-lebih bila dipakai hanya sebagai apologis terhadap sebuah realitas. Yakin saya, kebersihan dan sampah di Kota Cairo ini bisa betul diatasi dan diselesaikan dengan sinergitas semua pihak. ‘Alim ulama, pemerintah, dan masyarakat. Bilamana ketiga elemen tersebut tiada pecah kongsi terhadap urgensi kebersihan, rasanya tidak mustahil hal tersebut dapat diatasi, walau perlahan. Adalah sebuah keniscayaan, hati nurani setiap manusia akan menyangsikan kondisi lingkungan yang kotor nan jauh dari bersih, kecuali bagi yang padanya tidak lagi terbuka nurani.
Kenapa tidak ada perubahan?
Barangkali itu kegelisahan utama saya. Baik sebetulnya sudah atau sedang diusahakan maupun belum saya tidak peduli. Yang saya lihat saat ini, kondisi sangat memprihatinkan dan perlu pada sebuah perubahan. Mungkin saya hanyalah seorang pendatang baru yang masih bau kencur atau tidak lebih dari seorang bayi yang baru lahir kemaren sore. Namun kegelisahan ini nyata adanya dan mendorong untuk dilampiaskan.
Sekali lagi, kenapa tidak ada perubahan?
Apakah mereka sudah menyerah dengan kenyataan yang sedemikian susahnya? Ataukah saya adalah orang ke sekian ratus juta yang berfikir tentang perubahan sebagaimana demikian, lalu akan menyusul mereka menyerah dengan realitas? Kemudian, dua tiga tahun lagi, akan ada orang baru lagi yang berfikir seperti halnya saya dan akhirnya menyerah juga? Apakah semuanya hanya akan berputar dalam lingkaran setan yang membelenggu tersebut?
Ah, rasanya suatu saat kelak, saya ingin menulis surat terbuka kepada pemerintah Mesir dan dimuat dalam media cetak nasional. Setidaknya sebuah wujud pernyataan tidak menyerah saya. Semoga!
(Nasr City, Cairo)
Tadi malam terenungkan dalam pikiran saya menyoalkan kebersihan Kota Cairo. Dalam perjalanan menuju masjid Sohabah dari sekre PCIM saya utarakan gelisah yang menyeruak pada teman-teman. Betapa banyak sampah berserakan di sudut-sudut kota Cairo ialah suatu yang amat sayang. Di jalan raya, gang, halaman rumah, dan beberapat tempat lain sangat menjijikkan. Bertebaran sampah. Rasanya tidak berlebihan saya sebut kemproh, walau beberapa tempat bersih dan tertata. Sementara bumi kinanah ini ialah kiblatnya ilmu islam, tempat hikmah dan khazanah dapat digali.
Banyak orang asing datang untuk menuntut ilmu sebagaimana banyaknya ulama islam yang, alangkah indahnya, bilamana dapat menyuarakan kebersihan menyejukkan siapa saja yang memiliki nurani. Saya jadi teringat perkataan Muhammad Abduh yang masyhur, “Saya menemukan islam di Barat tapi tidak menemukan kaum muslim disana. Dan saya menemukan kaum Muslim di Timur, tapi tidak menemukan islam disana.”
Sama sekali tidak kaget sebetulnya. Dahulu sempat menyaksikan di Youtube tentang channel yang memotret sudut-sudut negara Mesir, khususnya ibukota Cairo yang memang tidak jauh berbeda dengan Jakarta atau Indonesia. Bahkan, bagi saya, sedikit lebih mending Indonesia. Dimana setidaknya setiap aparatur desa turut bersuara menggalakkan lingkungan yang bersih dan nyaman.
Dan apa yang mata saya melihat ialah tingkat kepedulian yang rendah diantara warga Mesir dengan lingkungannya. Seolah-olah pada mereka sudah terfahamkan sikap individualisme yang mengutamakan diri sendiri tanpa memedulikan yang lain. Sebuah penyakit yang mencederai tatanan umum masyarakat. Padahal, Islam amat menganjurkan kebersihan sebagai ajaran yang amat tinggi nilainya. Bahkan, dikatakan bahwa kebersihan separuh dari iman. Namun, kenapa justru seakan dikhianati bahkan oleh negara yang mayoritas umat islam dan tempat menuntut ilmu islam?
Dalam sebuah kesempatan, Kak Fardan, Ketua PCIM Mesir yang taun ini habis masa jabatannya, sempat menuturkan bahwa orang yang belum lama tinggal di Mesir memandang sesuatu dengan ‘bashar’. Sementara orang yang sudah lama di Mesir—khususnya Azhari—melihat sesuatu dengan ‘bashir’. Perbedaanya ialah orang baru seperti saya masih memandang Mesir dengan penglihatan indrawi atau bashar. Sebatas apa yang nampak di mata. Dan orang yang sudah lama, seperti beliau misalnya, menyaksikan dengan batin atas sesuatu yang tidak nampak. Saking luar biasanya mesir sebab Azhar, katanya, seolah-olah setiap jengkal tanahnya mengandung bukti sejarah peradaban umat islam.
Sepenuhnya saya sadari belum sampai tahap tersebut. Dan saya setuju pernyataan beliau, namun tidak sepenuhnya membenarkan. Lebih-lebih bila dipakai hanya sebagai apologis terhadap sebuah realitas. Yakin saya, kebersihan dan sampah di Kota Cairo ini bisa betul diatasi dan diselesaikan dengan sinergitas semua pihak. ‘Alim ulama, pemerintah, dan masyarakat. Bilamana ketiga elemen tersebut tiada pecah kongsi terhadap urgensi kebersihan, rasanya tidak mustahil hal tersebut dapat diatasi, walau perlahan. Adalah sebuah keniscayaan, hati nurani setiap manusia akan menyangsikan kondisi lingkungan yang kotor nan jauh dari bersih, kecuali bagi yang padanya tidak lagi terbuka nurani.
Kenapa tidak ada perubahan?
Barangkali itu kegelisahan utama saya. Baik sebetulnya sudah atau sedang diusahakan maupun belum saya tidak peduli. Yang saya lihat saat ini, kondisi sangat memprihatinkan dan perlu pada sebuah perubahan. Mungkin saya hanyalah seorang pendatang baru yang masih bau kencur atau tidak lebih dari seorang bayi yang baru lahir kemaren sore. Namun kegelisahan ini nyata adanya dan mendorong untuk dilampiaskan.
Sekali lagi, kenapa tidak ada perubahan?
Apakah mereka sudah menyerah dengan kenyataan yang sedemikian susahnya? Ataukah saya adalah orang ke sekian ratus juta yang berfikir tentang perubahan sebagaimana demikian, lalu akan menyusul mereka menyerah dengan realitas? Kemudian, dua tiga tahun lagi, akan ada orang baru lagi yang berfikir seperti halnya saya dan akhirnya menyerah juga? Apakah semuanya hanya akan berputar dalam lingkaran setan yang membelenggu tersebut?
Ah, rasanya suatu saat kelak, saya ingin menulis surat terbuka kepada pemerintah Mesir dan dimuat dalam media cetak nasional. Setidaknya sebuah wujud pernyataan tidak menyerah saya. Semoga!
(Nasr City, Cairo)
Komentar
Posting Komentar