Bunga Rampai Catatan Harian (3)
Senin, 9 Oktober 2017
Semalam warga Mesir khususnya para pemuda berpesta pora dimana-mana. Pasalnya Mesir mengalahkan Kongo dalam laga penentuan Kualifikasi Piala Dunia sepakbola sehingga Mesir dapat lolos setelah sekian lamanya menanti sejak tahun 90 an. Setiap sudut ibukota ramai orang berteriak kegirangan. Kembang api berhamburan seperti mewarnai langit dari segala penjuru. Terompet bersautan dibunyikan, bahkan klakson mobil dan motor dimainkan bagai irama nada akapela. Saya tidak cukup kaget sebab seorang senior pernah menyampaikan sebelumnya tingginya fanatisme sepakbola di Mesir. Namun yang saya saksikan jauh lebih mengesankan daripada yang diceritakan.
Dalam perjalanan pulang dari futsal KSW(Kelompok Studi Walisongo)—semacam perkum Jawa Tengah DIY—sekitar pukul 22.15 CLT, mata saya menyaksikan sendiri konvoi ramai disepanjang jalan raya. Ada yang lepas kaos, tidur diatas mobil, bahkan kembang api dimainkan ditengah jalan raya. Euforia yang amat besar, bahkan mengalahkan ketika timnas Indonesia berlaga dan menang. Hanya saja, dalam merayakannya terdapat ekspresi maupun tindakan yang terkadang merugikan masyarakat umum seperti jalanan macet atau kebisingan dimalam hari, misalnya. Walau demikian, tokh ini kabar gembira bagi seluruh warga Mesir.
Pagi ini, selepas sholat shubuh, keluar pengumuman Tahdid Mustawa. Saya berdebar. Apakah doa saya terkabul, ataukah saya harus ikhlas menerima hasil dari soal yang memang teramat sulit. Saya membuka informasi tersebut di Sekre PCIM sebab semalam bermalam disitu. Setelah tau bahwa Mouhan dan Makhmum yang sama-sama tidur di Sekre mendapat mutaqoddim 1(level 5), hasil Mutawassith 2(level 4) yang saya dapat sedikit saya sesalkan. Namun lekas saya tepis jauh-jauh rasa sesal yang dekat pada tidak syukur tersebut dengan lafal tahmid. Segera saya tata hati saya sedemikian rupa agar legowo tanpa dongkol yang bercokol. Allah memang maha baik. Saya minta setidaknya Mutawassith 1, Allah beri satu tingkat diatasnya. Artinya saya baru kuliah tahun depan. Sesuai target dan perencanaan. Bismillahi tawaqqaltu. Ini sudah yang terbaik dan semoga target tahfidh dan tahsin tuntas di tahun pertama kesampaian. Aaamiin.
Terkadang kita payah untuk bersukur atau sekedar legowo, sehingga blessing in disguise yang sejatinya sudah disediakan, mata kita terlalu buram untuk menangkapnya baik-baik.
Selasa, 10 Oktober 2017
Tadi sore hendak Talaqqi ke Azhar. Rencananya belajar Nahwu bersama Syekh Ahmad. Naas bagi kami, sampai tiba kembali di asrama tiada satu talaqqi pun kami dapati. Yang pertama adalah telat, dan yang kedua ialah sudah habis pembahasan. Jadilah saya ditemani beberapa teman, Dayat, Makhmum, Ihsan, dan Taufik hanya berkeliling maktabah (perpustakaan) di darasah dan numpang makan malam di Mat’am Indonesia.
Sejujurnya saya amat menyesal. Pulang sama sekali tanpa ilmu baru maupun buku. Namun, teringat pula tulisan A. Fuadi dalam novel “Anak Rantau” (pemberian teman MH yang menyempatkan bertemu saya di Depok sebelum keberangkatan) yang sepagi tadi saya khatamkan. Bahwa alam terkembang menjadi guru. Apapun yang terjadi dan menimpa kita ialah sebuah pelajaran, sejauh kita pandai menyadarinya. Malam ini, suatu kesadaran saya dapati sebagai sebuah refleksi : saya harus menjaga kedekatan dengan anak-anak ISYKARIMA. 4 jam setengah membersamai mereka, semakin menampar saya untuk mau berlari mengejar ketertinggalan.
Kamis, 12 Oktober 2017
Seharian saya tidak kemana-mana kecuali sebatas ke masjid atau beli makan didepan asrama. Semua camaba yang menempatu mustawa Mutawassith awal, mutawassith tsani, dan mutaqaddim awal, kegiatan pendalamannya ditangguhkan. Kalau tidak 2 minggu sampai satu bulan kedepan. Terhampar waktu selo yang bila tidak disiasati baik-baik akan menjadi bom waktu yang setiap saat dapat meledak. Harus sebisa mungkin memanfaatkannya—mengisi dengan aktifitas produktif.
Malam ini saya menonton film Ketika Cinta Bertasbih. Sengaja saya memilih waktu sendiri dan tidak bergabung nobar dengan teman-teman yang lain. Agar penghayatan, terapi hati, hikmah, dan motivasi dapat baik-baik saya serat. Lalu sampai habis KCB 1 saya putar, berulang kali jujur saya harus menitikkan air mata dalam beberapa scene. Khoirul Azzam sebagai tokoh utama telah sukses menyentuh bagian nadir hati saya sampai bergetar. Perjuangannya merantau ke Mesir untuk mendalami islam sebagaimana harapan orang tuanya, sedikit bergeser pasca kematian ayahnya. Sejak itu ia tidak hanya punya kewajiban belajar, melainkan sekaligus bekerja menjadi tulang punggung keluarga. Banting tulang berjualan tempe demi membiayai pendidikan ketiga adiknya. Bahkan ia rela 9 tahun tidak pulang ke Indonesia ketika teman yang lain mungkin 2 tahun sekali. Menahan rindu yang sedemikian membuncah, demi tanggung jawab dan kebaikan keluarganya kedepan.
Bangun lebih pagi ketika rekan satu rumahnya masih tertidur. Berpeluh keringat membuat tempe ketika yang lain masih terdengkur, dan sudah siap belajar dan mengantar ketika yang lain sudah terbangun. Begitu sehari-harinya. Jatah waktunya sama-sama 24 Jam, namun ia dapat melakukan lebih banyak hal dibanding yang lain. Sedikit tidur dan istirahatnya. Tentu, demi keberlangsungan hidup ketiga adik perempuannya dan ibunya di Desa. Saya belajar tentang perjuangan, tanggung jawab, dan keteguhan seorang lelaki.
Lalu soal cinta. Sebagaimana pada genre dalam judul film tersebut. Walau fiksi, setidaknya itu ialah suatu replika atas sebuah realitas yang mungkin saja terjadi. Kedua orang yang sebenarnya saling mencintai, akhirnya menyerah juga dengan suratan takdir yang menghadirkan orang ketiga lantaran satu-dua hal. Saya belajar tentang ikhlas. Bahwa cinta tidak melulu harus dipaksakan, sekalipun hanya berbeda tipis dengan memperjuangkan. Lagipula, ada zat pemilik cinta yang seharusnya kepadanNya lah secara totalitas kita salurkan cinta kita. Bukan kepada makhluknya yang kerap kali membawa pelakunya pada kekecewaan.
Kadang-kadang saya juga terlalu memaksakan perihal masa depan dengan andaian-andaian yang sejatinya hanya akan menyakiti saya sendiri. Harapan yang terlalu tinggi dipelihara kepada seseorang harus segera perlahan disurutkan. Biarlah semua berjalan mengalir sesuai suratanNya. Bila boleh, saya ingin kecenderungan hati saya pada manusia agar dihapuskan saja, setidaknya untuk sementara waktu. Biar puas saya habiskan bersama ilmu yang belum terjamah. Biar mesra saya berhubungan dengan kitab-kitab yang belum termamah. Apakah dapat?
Semalam warga Mesir khususnya para pemuda berpesta pora dimana-mana. Pasalnya Mesir mengalahkan Kongo dalam laga penentuan Kualifikasi Piala Dunia sepakbola sehingga Mesir dapat lolos setelah sekian lamanya menanti sejak tahun 90 an. Setiap sudut ibukota ramai orang berteriak kegirangan. Kembang api berhamburan seperti mewarnai langit dari segala penjuru. Terompet bersautan dibunyikan, bahkan klakson mobil dan motor dimainkan bagai irama nada akapela. Saya tidak cukup kaget sebab seorang senior pernah menyampaikan sebelumnya tingginya fanatisme sepakbola di Mesir. Namun yang saya saksikan jauh lebih mengesankan daripada yang diceritakan.
Dalam perjalanan pulang dari futsal KSW(Kelompok Studi Walisongo)—semacam perkum Jawa Tengah DIY—sekitar pukul 22.15 CLT, mata saya menyaksikan sendiri konvoi ramai disepanjang jalan raya. Ada yang lepas kaos, tidur diatas mobil, bahkan kembang api dimainkan ditengah jalan raya. Euforia yang amat besar, bahkan mengalahkan ketika timnas Indonesia berlaga dan menang. Hanya saja, dalam merayakannya terdapat ekspresi maupun tindakan yang terkadang merugikan masyarakat umum seperti jalanan macet atau kebisingan dimalam hari, misalnya. Walau demikian, tokh ini kabar gembira bagi seluruh warga Mesir.
Pagi ini, selepas sholat shubuh, keluar pengumuman Tahdid Mustawa. Saya berdebar. Apakah doa saya terkabul, ataukah saya harus ikhlas menerima hasil dari soal yang memang teramat sulit. Saya membuka informasi tersebut di Sekre PCIM sebab semalam bermalam disitu. Setelah tau bahwa Mouhan dan Makhmum yang sama-sama tidur di Sekre mendapat mutaqoddim 1(level 5), hasil Mutawassith 2(level 4) yang saya dapat sedikit saya sesalkan. Namun lekas saya tepis jauh-jauh rasa sesal yang dekat pada tidak syukur tersebut dengan lafal tahmid. Segera saya tata hati saya sedemikian rupa agar legowo tanpa dongkol yang bercokol. Allah memang maha baik. Saya minta setidaknya Mutawassith 1, Allah beri satu tingkat diatasnya. Artinya saya baru kuliah tahun depan. Sesuai target dan perencanaan. Bismillahi tawaqqaltu. Ini sudah yang terbaik dan semoga target tahfidh dan tahsin tuntas di tahun pertama kesampaian. Aaamiin.
Terkadang kita payah untuk bersukur atau sekedar legowo, sehingga blessing in disguise yang sejatinya sudah disediakan, mata kita terlalu buram untuk menangkapnya baik-baik.
Selasa, 10 Oktober 2017
Tadi sore hendak Talaqqi ke Azhar. Rencananya belajar Nahwu bersama Syekh Ahmad. Naas bagi kami, sampai tiba kembali di asrama tiada satu talaqqi pun kami dapati. Yang pertama adalah telat, dan yang kedua ialah sudah habis pembahasan. Jadilah saya ditemani beberapa teman, Dayat, Makhmum, Ihsan, dan Taufik hanya berkeliling maktabah (perpustakaan) di darasah dan numpang makan malam di Mat’am Indonesia.
Sejujurnya saya amat menyesal. Pulang sama sekali tanpa ilmu baru maupun buku. Namun, teringat pula tulisan A. Fuadi dalam novel “Anak Rantau” (pemberian teman MH yang menyempatkan bertemu saya di Depok sebelum keberangkatan) yang sepagi tadi saya khatamkan. Bahwa alam terkembang menjadi guru. Apapun yang terjadi dan menimpa kita ialah sebuah pelajaran, sejauh kita pandai menyadarinya. Malam ini, suatu kesadaran saya dapati sebagai sebuah refleksi : saya harus menjaga kedekatan dengan anak-anak ISYKARIMA. 4 jam setengah membersamai mereka, semakin menampar saya untuk mau berlari mengejar ketertinggalan.
Kamis, 12 Oktober 2017
Seharian saya tidak kemana-mana kecuali sebatas ke masjid atau beli makan didepan asrama. Semua camaba yang menempatu mustawa Mutawassith awal, mutawassith tsani, dan mutaqaddim awal, kegiatan pendalamannya ditangguhkan. Kalau tidak 2 minggu sampai satu bulan kedepan. Terhampar waktu selo yang bila tidak disiasati baik-baik akan menjadi bom waktu yang setiap saat dapat meledak. Harus sebisa mungkin memanfaatkannya—mengisi dengan aktifitas produktif.
Malam ini saya menonton film Ketika Cinta Bertasbih. Sengaja saya memilih waktu sendiri dan tidak bergabung nobar dengan teman-teman yang lain. Agar penghayatan, terapi hati, hikmah, dan motivasi dapat baik-baik saya serat. Lalu sampai habis KCB 1 saya putar, berulang kali jujur saya harus menitikkan air mata dalam beberapa scene. Khoirul Azzam sebagai tokoh utama telah sukses menyentuh bagian nadir hati saya sampai bergetar. Perjuangannya merantau ke Mesir untuk mendalami islam sebagaimana harapan orang tuanya, sedikit bergeser pasca kematian ayahnya. Sejak itu ia tidak hanya punya kewajiban belajar, melainkan sekaligus bekerja menjadi tulang punggung keluarga. Banting tulang berjualan tempe demi membiayai pendidikan ketiga adiknya. Bahkan ia rela 9 tahun tidak pulang ke Indonesia ketika teman yang lain mungkin 2 tahun sekali. Menahan rindu yang sedemikian membuncah, demi tanggung jawab dan kebaikan keluarganya kedepan.
Bangun lebih pagi ketika rekan satu rumahnya masih tertidur. Berpeluh keringat membuat tempe ketika yang lain masih terdengkur, dan sudah siap belajar dan mengantar ketika yang lain sudah terbangun. Begitu sehari-harinya. Jatah waktunya sama-sama 24 Jam, namun ia dapat melakukan lebih banyak hal dibanding yang lain. Sedikit tidur dan istirahatnya. Tentu, demi keberlangsungan hidup ketiga adik perempuannya dan ibunya di Desa. Saya belajar tentang perjuangan, tanggung jawab, dan keteguhan seorang lelaki.
Lalu soal cinta. Sebagaimana pada genre dalam judul film tersebut. Walau fiksi, setidaknya itu ialah suatu replika atas sebuah realitas yang mungkin saja terjadi. Kedua orang yang sebenarnya saling mencintai, akhirnya menyerah juga dengan suratan takdir yang menghadirkan orang ketiga lantaran satu-dua hal. Saya belajar tentang ikhlas. Bahwa cinta tidak melulu harus dipaksakan, sekalipun hanya berbeda tipis dengan memperjuangkan. Lagipula, ada zat pemilik cinta yang seharusnya kepadanNya lah secara totalitas kita salurkan cinta kita. Bukan kepada makhluknya yang kerap kali membawa pelakunya pada kekecewaan.
Kadang-kadang saya juga terlalu memaksakan perihal masa depan dengan andaian-andaian yang sejatinya hanya akan menyakiti saya sendiri. Harapan yang terlalu tinggi dipelihara kepada seseorang harus segera perlahan disurutkan. Biarlah semua berjalan mengalir sesuai suratanNya. Bila boleh, saya ingin kecenderungan hati saya pada manusia agar dihapuskan saja, setidaknya untuk sementara waktu. Biar puas saya habiskan bersama ilmu yang belum terjamah. Biar mesra saya berhubungan dengan kitab-kitab yang belum termamah. Apakah dapat?
Komentar
Posting Komentar