Bunga Rampai Catatan Harian

Dalam tulisan kali ini, sedikit banyak saya akan berbagi perihal catatan harian saya, sejak hari pertama keberangkatan menuju bumi kinanah dan seterusnya, sampai waktu yang tidak di tentukan. Sebenarnya sedikit aneh, ketika catatan harian atau yang biasa disebut diary dipublish begitu saja sehingga banyak orang melihat. Walau demikian, biarlah saya tetap mengabadikan dalam blog kesayangan ini. Barangkali ada diantara pembaca yang budiman menemukan sesuatu yang dapat menjadi dorongan untuk berbuat baik, misalnya. Bilamana memang ada sih. Hehe. Sehingga semoga Allah mencatatkan sebagai amal bagi saya. Hehe.

 Tentu tidak semua serupa dengan yang dibuku, semisal ada yang terlalu privasi gitu. Ehe. Setidaknya, yang disini ialah gambaran besar perihal pergolakan, perjalanan, dan pikiran-pikiran yang meminta tangan untuk dituliskan. Semoga dapat menuai manfaat.

______________________________

Senin, 25 September 2017
                
Hari ini, sejarah panjang akan dimulai. Bersama bapak dan ibu, saya beranjak melesat menembus puing-puing udara dingin sebelum subuh menuju bandara Soekarno-Hatta. Sama sekali bukan untuk berlibur, bukan pula sekedar berkunjung. Apalagi hanya mengantar seseorang yang hendak bersafari. Bukan itu. Melainkan untuk menjemput mimpi yang pernah sebelumnya saya ukir dalam senarai otak dan hati saya. Mendekat lebih rekat kepada cita-cita yang pernah saya utarakan pada Tuhan, juga semesta. Yakni melanjutkan Studi kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir. Lalu, bersamaan dengan keberangkatan pagi ini, akan terhampar luas sejarah dalam hidup yang barangkali kini masih misteri, namun suatu saat akan benderang terbukti.

Sepagi tadi saya merasakan kasih sayang bapak dan ibu, dalam momen penghabisan, begitu hangat terasa dekapannya. Besar perhatiannya, wejangan kebaikan yang tiada henti, sampai hal-hal kecil seolah mereka berikan sebelum benar-benar terbentang jarak. Hanya saja, dua-tiga perseteruan kecil sempat terjadi. Hanya soal sepele, bila tidak bapak yang sedikit berkeras memaksa sesuatu, maka saya yang sempit hatinya. Saya tidak ingin berlarut, jadilah saya mengalah. Sebab, tidak ada yang tau pasti, sampai kapan lagi kesempatan sekedar bersua saya dapati. Tidak ada yang menjamin pertemuan semudah telapak tangan bila hendak dibalik. Bapak Ibu ialah harta yang amat berharga. Hormat dan baktiku harus terus mengalir padanya, sebagaimana derasnya doa mereka dalam penghujung munajat malam. Tentu untuk anak-anaknya, yang sepenuh hati dididik dan dicintainya. Ah, Ibu, Bapak.
                
Pada akhirnya, ditepi garis pembatas pengantar dan penumpang yang hendak check-in, hati saya menyaksikan airmata yang sempat ditahan namun tumpah pula diujung kelopak Ibu. Mata saya lebih dulu berlinang sebelum itu. Saya mencium takzim tangan bapak dan ibu. Memohon maaf atas banyak khilaf. Tidak Le, tidak ada, kata mereka sambil menciumi kening dan pipiku yang basah seperti seorang bayi kecil. “Jaga diri baik-baik ya, Nak” pesan terakhir Ibu.
                
Ketika seorang petugas meminta bersegera, saya lepas pula pertemuan yang bermakna perpisahan sementara ini dengan anggukan senyum sambil berlalu meninggalkan. Ya, saya pamit. Dilepas dengan selaksa doa dan airmata.

-Jeddah, Saudi Arabia


Selasa, 25 September 2017

Tepat ketika ujung roda pesawat maskapai Saudi Airlines menginjakkan tubuh menyentuh tanah bumi kinanah, seketika muncul perasaan haru yang luar biasa. Saya, yang setelah sekian lamanya hanya bermimpi dan berfantasi melalui bayang-bayang, merasakan pula akhirnya sampai pada asa. Sudah barang tentu ini bukan mimpi! Saya memejamkan mata. Hati saya berdesir amat kencang. Lafal tasbih dan tahmid tiada henti terlantunkan. Subhanallah wal hamdulillah. Negeri seribu menara, saya telah datang.

Masih didalam pesawat, ketika serangkaian proses landing belum berakhir dan resmi kaki saya menginjak napak tilas tanah penuh sejarah, sekali lagi, saya memejamkan mata dalam-dalam. Satu persatu momen sebelum keberangkatan berputar jelas silih berganti terekam bak kaset film klasik tahun 90 an. Doa dan harapan masyarakat dalam sebuah forum pengajian, wejangan dan pelukan simbah putri yang kian renta, dukungan penuh harap ketua takmir masjid dan imam masjid yang dengan sengaja menunggu selesai saya berdoa, sampai selaksa doa dan airmata penghabisan bapak-ibu menjelang keberangkatan. Semuanya mengalir begitu saja. Tanpa saya sadari, air mata saya meleleh begitu derasnya. Jika bukan sebab masker yang saya kenakan, pasti akan saya tahan. Namun kali ini biarlah lepas landas. Berkucuran tiada peduli dalam penghayatan sampai puas.

Sungguh saya masih belum benar-benar yakin dan percaya, bahwa di kota inilah saya akan tinggal, mengambil jarak ratusan ribu mil dari kampung halaman, dalam jangka waktu panjang yang tidak ditentukan, tanpa pulang bulanan atau tahunan. Bahwa negara inilah yang kelak mengantar saya berjumpa ratusan ulama hebat dan mahasiswa cerdas lagi beringas yang mendorong untuk turut bersaing. Bahwa bahasa utama saya tidak lagi Indonesia, bahwa mimpi sekaligus cita-cita saya sudah satu langkah lebih dekat, dan tinggal menanti ghiroh yang buas serta usaha yang keras. InsyaAllah, saya akan menulis dan berkompromi dengan takdir saya sendiri.

Pukul 11.15 Waktu Mesir, tertanggal 26 September 2017, setelah transit di dua negara mayoritas islam, Malaysia dan Saudi Arabia, tiba pula saya di bumi kinanah ini. Kalau kata Mas Faiz, kinanah maknanya tempat panah atau busur panah. Tempat segala ulama hebat, cerdas, dan kapabel, yang siap melesatkan mahasiswanya kemana saja ia ingin melesat. Bismillah!
   
-Nasr City, Cairo


Jum’at, 29 September 2017

Walau belum benar sebagai mahasiswa resmi Al-Azhar, aroma persaingan kental sudah terasa. Nuansa berlomba-lomba dalam kebaikan telah merangsang saya untuk turut memenangkan, betapapun beratnya. Pagi ini, tidak seperti sebelumnya, saya menetap di masjid sedikit lebih lama ba’da subuh. Berdzikir pagi, mengaji, menghafal, serta mengitarkan pandangan luas menyapu seluruh sudut masjid jam’iyah. Banyak sekali orang hebat disini. Hampir semuanya orang indonesia, kecuali satu dua orang mesir yang turut berjamaah sholat. Diantara mereka tidak sedikit yang sudah hafidz. Jika belum, setidaknya banyak yang lebih dari 10 juz. Saya amat merasa kerdil disini. Sejujurnya, angka pasti tidak pada saya berapa orang sudah hafidz. Namun, amat banyak yang terbiasa dekat dengan Al-Qur’an. Seperti mereka sudah terbiasa bermesraan dengan kitabullah selepas subuh. Berbalik 180 derajat dengan saya, yang harus dengan peluh keringat membuang kebiasaan tidur selepas subuh dengan membentuk kebiasaan baru.

Maka secara tiba-tiba, hasrat untuk lekas menghafalkan seluruh isi Al-qur’an membuncah-buncah dalam dada. Saya bersyukur dengan lingkungan yang memaksa saya untuk mengakui kebodohan di tengah kecerdasan dan kehebatan teman-teman. Yang demikian sekaligus menjadi pemicu untuk terpacu melampui yang lainya. Lalu saya berdoa kepada Allah dalam munajat dhuha diawal waktu syuruq agar lekas diberi kecakapan dalam menyelesaikan hafalan, dibimbing agar terjaga dari syahwat pandangan mata yang berkeliaran, dan senantiasa berhati-hati dalam ketaqwaan kepada Allah, dimanapun saya berada.

Betapa saya harus menitikkan airmata, ketika acapkali diri saya dengan lancang mendongakkan dada seolah sudah merasa lebih dekat kepadaNya melebihi yang lain, sementara hati terpaut amat jauh. Lebih-lebih, di asrama indonesia ini, banyak kawan yang jauh lebih mulia disisi Allah dengan ketaqwaan mereka, dibanding saya yang berlumur dosa.

Sungguh, adanya asrama khusus mahasiswa baru indonesia yang terletak di Hay Sadis kota Nasr City ini meninggalkan hikmah yang amat dalam untuk direungkan. Walaupun diawal sempat saya kecewa lantaran sehari-hari sama saja semuanya menggunakan bahasa indonesia, kehadiran Bi’ah kebersamaan ini ibarat miniatur kumpulan cendekiawab muda indonesia yang kelak berkiprah langsung dan dibutuhkan bangsanya. Tidak semuanya benar-benar dapat turut serta sebagaimana tidak semuanya memenuhi kapabilitas dan bersih dari malas. Hanya yang terbaiklah, yang namanya akan didoakan dan dikenang dalam tinta emas sejarah. 

Saya teringat belasan buku biografi yang pernah terjejal, bahwa mereka yang ditulis namanya dalam tintan emas sejarah ialah yang selalu menonjol diantara yang lainya. Sedari belia, sampai ia dewasa dan berkarya nyata untuk dunia.

-Nasr City, Cairo









Komentar

VIEWERS

Postingan Populer