Tawaran Mendebarkan
Apa yang menimpa sebagai suatu peristiwa malam kemaren, seketika menjadikan saya, seperti menemukan solusi yang memecahkan pergolakan, kendatipun tidak benar-benar semua tertuntaskan. Setidak-tidaknya, waktu malam, yang oleh sebagian banyak orang bijak dikatakan sebagai kendaraan terbajik dalam menjemput mimpi, dapat terisi dengan aktivitas-aktivitas yang sudah semestinya saya lakukan—tidak malah saya tinggalkan sebagiamana malam-malam yang lewat.
* * *
Syahdan, bersama kedua malaikat tak bersayapku, bapak dan ibu terkasih, saya mengikuti pengajian rutin malam selasa yang diselenggarakan oleh PRM Karanganom. Selain menambah khazanah keilmuan, yang demikian ialah supaya silaturahim tetap erat dan tidak renggang. Di gedung serbaguna sebelah masjid kampung, saya duduk khitmat menikmatai penuturan penceramah, Bp. H Mukiman.
Setelah pengajian selesai, kira-kira pukul 21.15 WIB, seorang ibu-ibu yang dahulu menjadi kepala sekolah TK ABA tempat saya mengenali huruf-huruf abjad, datang menghampiri. Perbincangan basa-basi terjadi, sebagaimana maklum di masyarakat. Hangat mengakrabkan. Sampai akhirnya saya ditembak, meskipun bukan untuk dijadikan mantu, hingga cukup deg-degan hehe. Saya diminta mengisi di Panti Asuhan besok. Sebagai alumni sekolah kader, tidak elok rasanya menolak, kendatipun ilmu masih sangat dangkal.
Hanya selang beberapa menit, tidak sampai tiga, seorang bapak-bapak yang merupakan sekretaris takmir sekaligus sesosok bapak yang putrinya, bagi kami, ialah kembang desa sebab paras dan perangainya datang pula menghampiri. Ia memberi tawaran kepada saya, yang dengannya berdebar seketika saya punya hati. Tanpa pikir panjang dan banyak timbang, saya mengangguk pertanda setuju. MasyaAllah. Tentu ini tidak mudah. Sungguh diri ini sadar, sangatlah jauh dari pantas sehingga berkenan menyambut tawaran tersebut. Ada ragu yang diam diam bersembunyi dibalik frasa ‘mau’.
Bismillah, saya terima. Saya siap menghadapi resiko. Saya menyanggupi tawaran sebagai khotib sholat gerhana dini hari nanti. Bukan mantu loh plz :(
Pikir saya saat itu, bismillah sebagai pembelajaran. Itung-itung latian dan menambah jam terbang. Sering juga diajarkan pada saya, kader itu pantang menolak amanah dan tawaran. Dengan kata lain, harus selalu siap. Kelak, pilihan saya menyanggupi tawaran tersebut, menimbulkan dilematis yang bertubi-tubi seperti peluru yang berebutan keluar dari magasin.
Sesampainya dirumah, seorang wanita yang kasih dan cintanya tak lekang oleh waktu menanyakan kesiapan saya. Belum pernah, jawab saya pada ibu. Kemudian, dengan raut yang sedikit cemas namun tetap tersenyum, beliau memintaku untuk mempersiapkan sebaik-mungkin. Pasti ibu, insyaAllah. Disudut lain, bapak saya mencarikan materi untuk saya. Lama, tidak ketemu. Akhirnya saya minta bapak istirahat, biar saya yang mencari. Mulailah kegelisah tersebut, menyusup tanpa permisi.
Saat itu, pukul 10 malam, saya harus mencari materi untuk disampaikan pukul 1 dini hari nanti. Tiba-tiba, saya merasa bodoh. Atau mungkin merasa ‘keminter’. Dengan begitu mudahnya saya sanggupi tawaran tersebut sementara sepeser ilmu perihal sholat gerhana belum saya miliki.
Kenapa tidak mempersilahkan bapak-bapak lain saja? Yang secara keilmuan tentu lebih mumpuni? Saya yang hanya bermodalkan senang berbicara, menyandarkan ilmu-ilmu pada googling internet. Bukan dari buku-buku asli, apalagi penututuran pasti ustadz. Dan dalam keadaan demikian, saya harus berkhotbah dihadapan audiens yang lebih senior dan tentu khazanah keilmuanya lebih luas. Saya takut, tawaran yang saya ambil terselubung motif eksistensi serta ingin dipuji.
Astaghfirullahal’adhim. Astaghfirullahal’adhim.
Bapak dan Ibu sudah terlelap setegah jam lalu. Dan saya masih duduk gelisah dibawah lampu tengah ruang tamu yang memancarkan pijarnya.
Pikiran saya bergolak mengalami pertentangan. Memang cukup dalam saya menyesal. Pasalnya, sampai saat itu saya hanya dapat mencari sumber di internet (yang anak SD saja bahkan bisa) dan mungkin satu buku Siroh Rasululullah karya Syaikh Mahmud Al Misri. Itupun, sebatas untuk memastikan data.
“Lain kali, ndak boleh asal mau dan terima. Seakan sudah mumpuni saja,”kata bisikan dalam hati.
Saya seperti menyesal mengiyakan tawaran tersebut. Saat itu pukul 10.30, ketika sama sekali teks khotbah belum saya tulis, dan ingin rasanya segera tidur menghamburkan tubuh ke kasur. Melupakan beban yang memberatkan pikiran sehingga hilang sendirinya sampai benar bangun lagi (kalau bangun). Namun, jutru tidak dapat mata ini terpejam karenanya. Lelaki (sejati) bertanggungjawab dengan pilihanya. Walhasil, saya urung terlelap dan mengharuskan diri untuk mencari, menguasai, dan menuliskan.
Barangkali ini yang boleh jadi saya katakan sebagai obat yang sedikit menenangkan gelisah saya pada waktu selo. Malam itu, sampai pukul 00.10, saya masih berkutat dengan tulisan kerangka. Ada rasa bangga tersendiri tetap terjaga sampai larut dengan aktivitas produktif. Kendati begitu, saya tidak memiliki istirahat cukup sebelum melaksanakan tugas.
Pukul 00.30, baru saya merasa mantap. Setelah wudhu dan menyempatkan dua rakaat, saya istirahatkan mata sekejap.
Pukul 01.10 kembali saya terjaga setelah dibangunkan bapak. Segera saya ambil wudhu dan berpakaian pantas, lalu menuju masjid bersama bapak serta ibuk. Disana, sudah cukup banyak jama’ah menanti.
Sekali lagi, ketika melihat bapak-bapak atau mas-mas yang sudah duduk manis di masjid, saya ragu sekali. Mereka tentu lebih berhak daripada saya. Hmm. Sekitar 12 jama’ah lelaki sudah berkumpul. Diantara yang paling belia ialah saya. Nderedeg-nderedeg pie gitu.
Setelah imam malam itu menyeru “Assholatu jami’ah” kami tunaikan bersama 2 rakaat dengan 4 sujud dan 4 ruku’. Selesai salam, saya dipersilahkan naik mimbar. Bismillah, sedapat dan semaksimal saya dapat. Secara pelan tapi pasti saya urai catatan kertas yang saya bawa. Sebagian mendengar antusias, walau ada beberapa yang merem hehe. ‘Ala kulli hal, Alhamdulillahh sangaat dikasih lancar sama Allah.
***
Pagi harinya, ditemani segelas teh hangat racikan tangan khas ibu, saya luapkan gelisah yang mendera sejak malam tadi pada malaikat tak bersayapku.
“Pripun tadi, Buk? Kelamaan nopo mboten hehe,” saya mengawali basa-basi.
“Sudah tidak Le, mpun bagus tadi. Jadi nek mau khotbah memang mesti dipersiapin matang, beda sama kultum biasa,”jawab ibu saya. Cukup menenangkan. Kendatipun ‘bagus’ justru memiliki makna bersayap : benar-benar bagus, atau untuk mengapresiasi yang sesungguhnya kurang (bagus)—sebagaiamana kebanyakan ibu demikian.
“Buk, kulo sok kadang dilematis. Menawi ditawari kados tadi malam, disatu sisi tertarik ingin nerima buat latihan. Disisi lain merasa sok opo banget ngoten, la wong mboten gadhah ilmune lan cuman searching internet, berbicara didepan audiens yang kathah ilmune, “
Ibu menatap saya datar, lalu menyuguhkan senyum teduhnya. Khas sekali. "Nggih Mas Hidan, ibu faham. Tapi juga harus bersyukur, dikasih anugerah Allah buat mudah mempelajari dan menyampaikan. Jangan di sia-siakan lohhh,"
Nyess. Super teduh. Beliau, malaikat tak bersayapku, selalu hadir di tengah gersangnya hati, seperti hujan yang kerap dinanti-nanti.
Setidaknya, pikiran saya sedikit terbebaskan daripada menghujat keadaan. Sudut pandang lain saya dapati, justru dari orang terdekat selama ini. Sehingga, lain kali, bila mendapat tawaran yang kurang lebih serupa, tidak serta merta meng-iya-kan kecuali bila telah benar dipaksakan atau (setidaknya) setelah basa-basi menolak ala orang jawa, demi memenuhi etika sekaligus menjaga hati agar tetap berusaha ikhlas, betapapun besar godaanya.
WaAllahua'lam.
Diselesaikan di Puncak Gunung Prau, Dieng Wonosobo.
22.45 WIB
10 Agustus 2017.
Komentar
Posting Komentar