Sementara Berakhir


Pukul 18.15 WIB. Ditengah hingar bingar jalanan utama depan Mall Amplaz Ambarukmo, saya berdiri di sudut jalan, menunggu rombongan PRM Karanganom yang hendak menyaksikan film Nyai Ahmad Dahlan. 20 tiket sudah dalam genggaman, tinggal menanti waktu bermainnya. Dalam pada saya menunggu, sebuah notifikasi WhatsApp masuk, mendorong saya untuk membukanya, lalu seketika, menarik saraf-saraf bibir untuk mengembang. MasyaAllah, berdesir saya punya hati. Saya merespons ala kadarnya.

10 menit lagi sampai, kata ibu. Baiklah. Lagi-lagi, terdengar suara notifikasi pertanda WhatsApp masuk, yang untuk kali ini, hanya saya intip melalui notif bar tanpa membukanya. Seseorang mengirim beberapa foto dalam grup ‘Mugacil otw Upgrading’. Ah, penasaran saya tidak ketulungan. Saya membukanya dan mendapati deretan simbol kebersamaan dalam cuplikan, sekaligus sebuah pesan. Allahu akbar. Sebait paragraf indah menyentuh sukma : ungkapan, kerinduan, serta doa. Sama sekali tidak dapat saya menanggapinya kecuali satu dua sesenggukan menyesakkan. Saya menarik dalam-dalam nafas, lalu mengeluarkannya.

Akhirnya, rombongan datang ketika lantunan adzan isya melengking indah terdengar. Tanpa pikir panjang, saya temui mereka dan menyerahkan 20 tiket, yang seharusnya telah diputar sekian menit sebelumnya. Monggo Pak, Buk, selamat menonton, tutur saya dengan seutas senyum. Saya tidak mengerti, apakah mereka membaca sisa sisa air mata dalam senyum yang saya suguhkan.

Kemudian saya memacu motor saya sesegera mungkin menuju tempat sembahyang umat islam. Dan, tanpa kendali siapapun, seketika, mengalir deras air mata membasahi pipi seperti sebuah tanggul yang bocor sudah tidak kuat lagi. Saya punya hati kian tergerus tidak karuan. Pikiran saya melayang memutar kejadian-kejadian beberapa jam sebelumnya, ditempat banyak air berlinangan untuk seseorang, yang sejatinya amat sangat tidak pantas mendapatkannya.

Unit 2 SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta.

Sebagaimana siang kemudian berganti malam, pada akhirnya sebuah pertemuan pun meniscayakan perpisahan. Ketika tiba hari ini, dimana suatu cita-cita cukup besar untuk diselesaikan dibulan ini, sampai pula pada asanya, maka dengan berat hati pula, tiba masa untuk undur diri. Menyudahi apa yang telah saya mulai, kendatipun belum benar-benar saya selesaikan.

“3 hal ingin saya sampaikan kepada teman-teman, yaitu pertama, terimakasih yang amat besar dari saya. Atas kerjasama dan kebersamaan luar biasa selama ini. Kedua, mohon maaf selama pendampingan yang cukup singkat ini, menyisakan hal yang tiada berkenan di hati teman-teman sekalian. Dan ketiga.......,”

Saya menarik nafas dalam-dalam, mencoba meracik segumpal senyum. Menatap sekian pasang lawan bicara saya.

“Pada akhirnya saya harus undur diri dari tugas sahabat ranting ini, seiring dengan selesainya Upgrading kita sekaligus dengan resminya saya tidak berada di jajaran PD IPM lagi, maka saya mohon pamit dan doa dari teman-teman sekalian. Suatu kebahagiaan yang amat berharga dapat membersamai kalian. Tetep berjuang di IPM, semoga lain waktu dapat berjumpa lagi. Hehe”

Seutas senyum saya tampakkan. Hal yang lumrah dalam sebuah perpisahan.

Lalu, seseorang angkat bicara, namun untuk mempersilakan yang lain dahulu. Sebagaimana sudah saya hafali, Ikha, dengan spontan menanggap saya. Dengan terimakasih, mohon maaf pula, dan doa. Baru setelahnya, nahkoda kapal, Shinta, angkat suara. Pada intinya, jangan lupakan kami, katanya dengan tulus senyum, sebagaimana biasanya. Tidak akan, bisik hati saya. Saya manggut-manggut. Suasana masih sewajarnya, bertukar senyum dalam kehangatan.

Sampai sesosok yang—dengan amat sangat tersentuh hati saya—menganggap saya sebagai sahabat dekatnya, mencoba berbicara. 3 patah belum sampai, kata-kata yang diputarnya terhenti, tanpa selesai menjadi maksud. Seketika, hampir semua pasang mata tertuju padanya. Lama, tidak kunjung keluar. Adalah sebuah desir yang tiada habis, menyaksikan fakta bahwa justru isak tangis yang keluar darinya. Semuanya terdiam.

“Ayo ndie, sampaikan aja ndak papa hehe,” saya coba mencairkan suasana.

Justru kian keras sesenggukan yang terdengar. Dengan terbata-terbata, mencoba ia merangkai kata. Sepuluh jarinya sempurna menutup sebagian besar wajahnya yang nampak basah. Lalu diceritakannya, bahwa dirinya shock mendengar kabar saya akan lanjut studi di luar. Kabar yang seharusnya membahagiakan, katanya, justru menimbulkan kesedihan sebab harus berpisah.

Hmmm. Ah, ini alay deh. Berlebihan. Pikir saya sesaat. Usaha agar saya tidak takluk pada air mata.

Ia melanjutkan tentang pertemuan pertamanya dengan saya(sampai ditulis di Line dan menjadikan basah mata saya), perjuangan merawat dan meruwat PC IPM, mengusahakan Upgrading bersama-sama, sampai ingin menjadi pribadi seperti saya. Ya, tidak dipungkiri saya terharu, namun sedih pula, andai ia tau saya sebenarnya berlumuran dosa.

Dan sungguh, tanpa disangka-sangka, diujung kata dalam kalimatnya, sebuah plastik kresek hitam, diambilnya untuk dipersembahkan pada saya.

“Ini ada sedikit dari kami buat Mas Hidan, yang kalau mungkin dihitung nilainya tidak sebanding dengan apa yang diberikan Mas Hidan pada kami. Mohon diterima ya Mas, setidaknya supaya Mas ndak lupa kami,” katanya. Lalu kembali ia menyeka air mata. Hmmmm:"

MasyaAllah. Allah. Allah. Kuatkan hamba. Akhirnya saya tiada kuasa untuk tidak tumpah.

Ya, saya menangis. Sangat nggesrek. Tidak peduli lagi, apa dan bagaimana tanggapan mereka. Saya tumpah. Sesenggukan namun coba untuk tetap tersenyum. Mencoba tegar. Hey, saya laki-laki men! Betapa 2 bulan saja belum genap mengenal, sampai harus menerima hadiah. Tentu membahagiakan. Sayang, ini sebuah kado perpisahan.

Tidak sampai 5 detik, forum secara kompak tanpa sedikitpun intruksi menjadi hening tanpa suara. Benar-benar tidak sampa prediksi, bahwa semuanya harus menumpahkan tangis. Akhirnya saya peluk laki-laki didepan saya. Sahabat saya. Hanif Indie. Masih dalam gelimang yang sudah sedikit tercampur tawa. Sekalipun dipaksakan.

Saya tidak kuasa berlama-lama dalam kondisi demikian. Bisa habis dimakan perasaan. Akhrinya saya putuskan untuk pamit, melanjutkan aktivitas lain, seraya memberi satu dua patah wejangan terakhir. Namun naas pada saya, apalah kalau berkata saja kian sesenggukan, akhir kata hanya salam, persembahan terakhir saya. Dari jauh, Shinta, Shofi, dan Fina nampak berpelukan dalam isak. Pandangan kami bertemu, seperti melepas untuk sementara waktu. Saya mengangguk mantab, lalu berjalan melangkah keluar gedung. Tenang saja, dalam waktu dekat insyaAllah berjumpa lagi.

MasyaAllah. Astaghfirullah. Tidak seharusnya sampai demikian. Apalah daya, saya yang seorang lelaki, akhirnya menunjukkan pula tangis saya didepan mereka.

Hanya saja, terkadang nalar saya tidak sampai pada kenyataan bahwa pertemuan saya yang 50 hari saja tidak genap, harus diakhiri seiring tugas yang berakhir, dengan linangan air mata. Bertemu juga tidak setiap hari, bahkan sedikit sekali. Seperti amat sangat tidak logis. Namun saya sadar, bahwa terkadang cinta tidak membutuhkan logika. Ia hadir dan mengalir begitu saja, mengisi sudut-sudut sempit dalam hati kita.

‘Ala kulli hal, hanya doa pula bentuk persembahan jarak jauh saya, sebagai wujud komunikasi tiga arah. Saya, Allah, dan kalian. Ehehe. Teruntuk Hanif Indhie, semoga senantiasa Allah mudahkan langkah berjuangmu sebagaimana senantiasa engkau terus berjuang di JalanNya, tetap humble dan menarik bagi siapapun yang membarsamaimu. Kamu bisa sampai atas, hehe.

Untuk Shinta, barangkali saya akan rindu pada pertanyaan kritismu perihal soal teknis, yang dengan amat cepat engkau memahaminya. Tetap periang, kritis, aktif, dan bertanggungjawab. Semoga bahtera yang ditanganmu terdapat setir kemudi, benar dapat sampai pulau tujuan dengan khusnul khotimah. Aamiin.

Ikha tetep semangat meniti jalan hijrah, betapapun kian kuat godaan dan cobaanya. Betapa air matamu dalam kultum sore itu, tidak akan mudah hilang begitu saja dalam ingatan. Riri juga jangan lelah menebar inspirasi. Sedikitpun saya tidak ragu pada nalar kritismu. Sampaikan, ucapkan, lantangkan. Semoga kalian berdua menjadi sahabat baik saling mengingatkan sampai surga kelak, Aamiin.

Shofi, tangisan pertamamu dalam forum yang mewakili kaum perempuan sore itu tentu amat membekas pula. Jangan bosan ceria dan gembira yaa. Hehe. Fina juga, ceritamu yang amat ramai seringkali membuat saya tertawa. Kamu kritis, juga tanggap. Semoga tetap ditingkatkan yaa. Jangan lelah menebar senyum dan tawa

Ismail, suatu saat nanti ketika saya berjalan sekedar memanjakan mata di gramedia, ada harap dalam hati, mata saya menemukan satu buku karya tanganmu sendiri. I trust you. Tetap sholeh, aktif, dan menginspirasi. Jaka juga, jangan lelah menunjukkan semangat yang tiada habis menguatkan yang 
lainya. Semoga kelak menjadi orang besar. Aamiin.

Dan terakhir, untuk Raffi, seseorang yang sejak perjumpaan pertama dalam kegiatan beberapa bulan dahulu sangat unik dan tidak terlupakan, kebersamaan denganmu belakangan, kian menjadikan namamu terukir indah dalam perjalanan IPM saya. Semangatmu, ceriam dan periangmu, semoga tiada habis sampai datang ajal memanggil. InsyaAllah.

Terimakasih yang amat dalam untuk teruntuk kalian semua, yang telah turut andil membentuk kedewasaan serta meluaskan persahabatan. Kiranya, menjadi menarik manakala kita renungkan gubahan sajak Tere-Liye,

“Terimakasih. Nasihat lama itu benar sekali, aku tidak akan menangis karena sesuatu telah berakhir, tapi aku akan tersenyum karena sesuatu itu pernah terjadi.”  





Yogyakarta, 28 Agustus 2017
Di selesaikan di kamar  istirahat Masjid Adzakirin Ngampilan
14.15 WIB
  

 


Komentar

  1. Mudah mudahan bisa ke Mesir dan bisa membanggakan orangtua mas hidan juga. Maaf kalo kami IPM MUGA ada salah makasih mas senyumu takkan pernah terlupakan

    BalasHapus

Posting Komentar

VIEWERS

Postingan Populer