Doakan aku membersamaimu, Indonesiaku
Dalam melewati satu hari ini, saya tidak banyak melangkah
menggerakkan diri keluar dari tempat saya menghambur dan kembali, rumah. Saya
punya kuota waktu untuk hari ini, banyak termakan habis oleh berlembar halaman
buku. Waow. Terlihat keren? Entahlah.
Sesuatu yang boleh dikata produktif untuk standar hari
biasa, namun tiada terasa cukup bermakna, manakala melihat kalender dan
tayangan televisi, bahwa ternyata hari ini bukan hari biasa.
Merdeka!
Dirgahayu Indonesiaku!
Aku Cinta Indonesia!
Bangga menjadi putra bangsa!
Happy Independence Day!
Dan satu kelamin lainya yang demikian, perihal sosial media
ketika dikawinkan dengan hari ini. Baik TL Line, Facebook, maupun instagram,
ramai para penikmatnya menjelentehkan luapan-luapannya tentang negaranya hari
ini dengan mengaitkan 72 tahun silam. Saya punya senyum merekah seketika. Ah,
teman-teman saya.
Terbersit ingin melakukan hal yang sama dengan mereka,
upload instagram, merakit caption kenegaraan, atau setidaknya update story
tentang hari ini gitu. Bukan apa-apa, nyatanya, sampai detik ini saya memilih
tidak. Karena ndak punya foto tentang atau bareng merah putih sih, hehe.
Overall, saya tetap ingin menulis. Setidaknya untuk meluapkan saya punya rasa
dan perasaan.
Selama ini, peringatan upacara yang dihelat pemerintah di
istana negara selalu tidak pernah alfa diliput stasiun televisi. Itu yang
menjadikan masyrakat umum, bahkan dalam radius ribuan mil dari istana,
mengetahu betapa sakral dan meriahnya peringatan akbar tersebut. Dan
sekonyong-konyongnya saya, baru pagi tadi pula, seksama memerhatikan sedari
awal prosesinya. Walau tidak benar sampai usai.
Dalam sepasang mata yang memandang layar kaca tak sampai dua
meter didepan saya, jujur, bergetar saya punya hati. Benar-benar bergetar
menyaksikan perihal bagaimana dan siapa pada tempat nan jauh disana. Klimaksnya
ialah ketika mengheningkan cipta dan lagu indonesia raya dinyanyikan diiringi instrumen
yang menggesrek hati. Saya menangis, tanpa suara dan air mata.
Seakan ada lisan yang menempel dalam hati sedang berbisik, “Mungkinkah
saya, suatu saat nanti, berdiri tegak dengan mata telanjang menikmati dan
mengikuti prosesi tersebut?”
Saya tersenyum. Hanya soal waktu. Maksudnya, siapa tau gitu.
Hehe.
Dalam buku “Siyasah Kebangsaan” tersebut, dipaparkan pandangan
ibnu khaldun perihal setiap bangsa yang akan mengalami pembaharuan setiap
seratus tahun atau seratus dua puluh tahun dengan hitungan tiga generasi
(setiap generasi empat puluh tahun). Artinya, setiap bangsa memiliki
kemungkinan bertahan dalam 3 generasi, sebelum datangnya pembaharuan yang
mengarah kepada suatu bentuk revolusioner atau kematian suatu bangsa tersebut
dengan digantikan yang lain.
Kemudian kedua penulis mengejawantahkan bahwa, untuk
menunjukkan kelahiran suatu generasi baru, ukuranya ialah setengah dari waktu
itu (waktu satu generasi). Yakni dua puluh tahun. Dengan demikian, setiap
generasi dihitung berdasarkan kurun waktu dua puluh tahunan untuk menunjukkan
suatu keadaan paling berdampak atau penting dalam perkembangan mereka.
(Muchariman, Randi 2016)
Karenanya, dalam satu kehidupan manusia yang berkisar pada
usia 60 tahunan, seseorang setidaknya
mengalami tiga tahapan perkembangan.
20 tahun pertama.
Seseorang mengalami proses internalisasi nilai, adaptasi
dengan lingkungan sekitar, maupun dunia pada umumnya. Mereka dalam masa
dibentuk kepribadiannya oleh keluarga, selain bernaung dibawah institusi pendidikan.
Di masa ini, bekal sebanyak dapat dikumpulkan.
20 tahun kedua.
Seseorang dalam tahap matang, baik pikiran mapun emosi, dan
sudah mulai mengambil peran-peran yang berarti bagi bangsa. Di masa ini, ia
akan mencapai titik penting kematangan dan pengambilan peran yang lebih
terjurus.
20 tahun ketiga.
Seseorang dalam masa puncak berperan dan siap tergantikan.
Berbagai usaha dan mimpi yang dicitakannya telah tercapai bahkan sampai titik
maksimal. Di lain sisi, harus bersiap untuk digantikan generasi dari tahap
sebelumnya.
Dan tentu, ketiga fase ini, benar-benar akan dialami
manakala dalam hati terpatri semangat yang membara dan usaha yang tiada tara.
Sebuah generasi yang dielu-elukan dapat membangun dan
memajukan bangsa dan
tanah airnya.
Oke. Saya terdiam dan mencoba berdialog. Dengan diri
sendiri.
Di tahap mana? Sudah banyak bekal dan nilai? Sudah pantas
masuk tahap selanjutnya?
Astaghfirullah. Usia kian mendekati kepala dua sementara
muatan tiada banyak bertambah. Betapa banyak hal yang belum diketahui. Banyak
buku belum terbaca. Berderet tabir belum tersibak. Dalam jiwa yang lain, betapa
tidak sedikit orang-orang besar diusia saya saat ini, telah banyak mengukir hal
fantastis. Allahu.
Di tahap selanjutnya, saya dimana?
Sampai sini saya menelan ludah. Di paruh awal, barangkali
tidak dapat tangan dan kaki saya berpijak di bumi pertiwi. Saya mungkin
berjuang di belahan bumi lain, entah untuk kemasyhulan pribadi atau untuk
negeri. Semoga yang terakhir. Bagi saya, sebuah keharusan untuk berperan.
Apapun bentuknya, liat esok hari!
Lalu, di tahap terakhir?
Ya, soal mimpi dan cita-cita yang semestinya lantang
diperdengarkan semesta. Tidak nafsu saya membual seperti orasi tanpa aksi. Tiba
masa memberi bukti, bukan sekedar janji! Laa haula wa laa quwwata illa billah.
‘Ala kulli hal, masa depan bangsa indonesia yang masih
misteri, sebagaimana kehidupan esok yang tidak pasti, mempersilahkan kita,
pemuda-pemudi harapan bangsa untuk tiada henti bermimpi sedapat dan setinggi
mungkin demi mengharumkan bumi pertiwi, untuk kemudian sekuat asa segenap cinta
kita berjuang mewujudkannya. Sekarang juga!
Dirgahayu Indonesiaku, maju jaya tanah airku!
Di kamar kerja,
Klaten, 17 Agustus 1945
23.59 WIB
(2 menit menuju hari, yang oleh sebagian ilmuwan dikatakan, ultimatum kemerdekaan Indonesia)
Klaten, 17 Agustus 1945
23.59 WIB
(2 menit menuju hari, yang oleh sebagian ilmuwan dikatakan, ultimatum kemerdekaan Indonesia)
Komentar
Posting Komentar