#JurnalRamadhan6 : Neo Soe Hok Gie


Malam tadi, saya diminta bapak menggantikan jatah kultum tarawihnya di Masjid Raya Klaten. Bila bukan sebab Mu’allimin, saya lebih memilih tidak. Ilmu masih pas-pas an. Namun pantang menolak bagi anak Muallimin apapun alasanya, begitu kami diajari. Disamping tanggungan moral sebagai alumni, kalau menunggu sudah cukup ilmu, kapan masa itu datang? Alih-alih merasa makin berisi, yang ada semakin merasa kurang dan terus kurang. Itung-itung latihan lah, pikir saya.

Hujan deras malam itu menjadikan jama’ah tidak sebanyak biasanya. Sedikit beruntung, biidznillah saya diberi lancar dalam bertutur.  Dalam hal ini, saya senafas dengan Al-Ghazali. Allah memang menciptakan hukum kausalitas (sebab-akibat), tetapi jauh diatas itu, Allah-lah yang maha berkehendak. Lamanya proses pengkaderan di Mu’allimin mungkin pantas menjadi sebab bagi akibat kelancaran saya. Namun tidak mustahil bleng seketika dalam berucap.  Kalau kata Mas Hanan, ada faktor X nya.

Selepas sholat saya ikut Bapak beramah-tamah dengan pengurus takmir. Dimana saya sekolah, mau lanjut kemana, sampai sekolah-sekolah lanjutan yang ada di Indonesia. Bapak Syamsuddin, imam tetap disitu, bercerita anaknya lolos tes STAN. Pembicaraan mengerucut seputar sekolah ikatan dinas di Indonesia. Sampai muncul pernyataan Bapak Suwondo, jamaah yang berprofesi sebagai pemborong, yang menyentuh saraf ketertarikan saya,

“Aku mesakke jane Mas, karo wong-wong sing dadi lulusan IPDN,

La pripun, Pak?” celetuk saya segera.

Kui lho Mas, nek wes terjun ke struktural pemda. Melihat kenyataan, idealismene entek. Aku wes ngerti kabeh Mas. Neng ndi-ndi hampir semua sama, ono ‘dolanan’ e.”

Saya rasa siapapun tidak butuh waktu lama untuk manggut-manggut. Sudah menjadi rahasia bersama bahwa ‘permainan’ selalu ada dan mentradisi dalam setiap tataran birokrasi. Tidak hanya pihak luar, orang dalam sekalipun mengerti akan ‘kecacatan’ sistem yang terjadi. Hanya saja, jika tidak kalah dengan kuasa mayoritas, mereka menutup mata seolah-olah sedang tidak terjadi apa-apa.

Serentetan proses penggemblengan mental, moral, kecakapan, dan ketangkasan dalam waktu yang lama, akan mengalami degradasi setelah melihat realitas nyata, kecuali kecakapan dan ketangkasan. 2 yang terakhir ini dapat terasah melalui jam terbang, namun 2 yang pertama akan pudar secara perlahan.

Menyaksikan ketidak beresan sistem yang terjadi secara moral mereka akan mengingkari. Hati nurani mereka menolak. Akan tetapi seiring berjalanya waktu, lingkungan yang mengatakan hal demikian ‘biasa’, akan menggerus moral sampai menganggapnya biasa pula. Sehingga, mental militansi ketika pengkaderan dahulu akan luntur terbawa arus.

Idealisme ialah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda, begitu Tan Malaka mengatakan. Betapa pentingnya idealisme sudah tidak perlu ditawar lagi. Setiap orang pasti memiliki patokan ideal dalam menjalani hidup. Usaha untuk mewujudkanya itulah idealisme. Dalam proses mewujudkannya, seseorang akan dihadapkan pada dunia nyata yang seringkali jauh daripada dunia ide. Apa yang kita anut sebagai sebuah idealisme, seringkali susah untuk diterapkan pada kenyataan. Pilihanya hanya dua, realistis atau tetap idealis.

Untuk dapat memutuskanya, kita harus mengetahui dimana duduk perkaranya. Jika idealisme yang kita anut berkaitan dengan sesuatu yang prinsipil atau kalau dalam islam disebut muhkamat (statis), tentu memperjuangkanya menjadi harga mati, betapapun perihnya. Sementara jika idealisme kita bersandar pada nilai ideal yang subjektif, bolehlah sekali waktu realistis.

4 hari yang lalu, buku biografi “Gie” terbitan Tempo saya beli. Tidak perlu 2 hari menghatamkanya, mengingat Soe Hok Gie adalah salah satu tokoh idola saya. Tentang Idealisme saya belajar banyak darinya. Budiman Sudjatmiko menyebutnya seorang Sosialis yang kesepian. Ia pemuda yang lantang menyuarakan kebenaran, kritis, dan tajam kepada ketidakadilan. Sayang, nasib ‘Sang Demonstran’ harus berakhir diusia belum genap 27 tahun dalam pendakianya di Semeru.

Disamping kritis menentang terhadap Soekarno, Gie ialah seorang yang memiliki keberpihakan terhadap kaum tertindas. Suatu hari dalam catatan harianya, ia menyangsikan seorang miskin kelaparan memakan kulit mangga. Diberinya beberapa uang yang ia miliki, lalu dituliskanya dalam catatan harianya “Sementara 2 KM tidak jauh darisini, mungkin Soekarno sedang bercanda tertawa-tawa di Istana bersama istri-istrinya...”

Gie seorang idealis yang memperjuangkan kebenaran dan menentang ketidakadilan. Pemerintahan Soekarno maupun Soeharto, jika didapatinya ketidakadilan, akan ditentangnya sampai habis, baik melalui tulisan maupun aksi demonstrasi. Pasca Soekarno tumbang, Ia menyesalkan sebagian teman berjuangnya (Cosmas Batubara, Fahmi Idris, dll) yang kini tidak kritis lagi setelah mendapat jawatan dewan pada pemerintahan Orba, sementara  ia memilih berada diluar sistem dengan tetap tajam dan tidak menutup mata terhadap ketidak adilan.

Keukuhnya komitmen pada keadilan dan anti penindasan, menjadikan Gie satu-satunya orang yang berani menentang kekejian pembantaian PKI—sesuatu yang sangat tabu kala itu—melalui tulisanya, sekalipun ia bukan seorang komunis.

Soe Hok Gie, ialah contoh seorang idealis yang tanpa kompromistis perihal ketidak-adilan dan penindasan, betapapun beratnya. Suatu hari, dalam buku “Catatan Seorang Demonstran” (saya malah menghatamkan punya teman saya, buku saya dibuat bancakan disebelah katanya haha) ia menulis :

“Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis, sampai batas sejauh-jauhnya. Kadang-kadang saya takut apa jadinya saya kalau saya patah-patah.”

Dilain sisi, kita pun harus pandai membaca realitas. Terlalu tinggi mengusung idealisme pada hal yang bukan prinsipil juga tidak selamanya baik, bahkan terkadang mencelakakan. Kriteria ideal perihal jodoh misalnya, selama yang diidealkan tidak tercapai enggan menikah. Ya kalau yang ideal mau, nek wegah yo kandas wae. Tanpa realistis, bisa mati duluan tanpa njodoh mbak ahaha. Atau idealis harus masuk PTN misalnya, setelah berbagai tes mengatakan tidak, dan kita tetep kekeuh, yang ada ialah sesal yang mendalam atau bisa jadi mencelakan diri lewat jalur belakang. Dalam hal ini, realistis perlu sebagai cara pandang hidup.

Namun, sebagian dari kita asal berdalih “hidup harus realistis,” tanpa memahami duduk perkara. Yang terjadi adalah tergadainya idealisme setelah sekian lama diperjuangkan. Saya sedikit menyesalkan beberapa teman dekat saya terjebak pada salah kaprah ini.
Sebagian teman saya menggadaikan idealismenya ketika ujian sekolah. Nilai akhirat kejujuran yang telah dengan tekun ditanamkan ibundanya dahulu, dikorbankan demi nilai angka atau ‘solidaritas’(solidaritas mbahmu) yang bersifat dunia. “Realistis, Bro! Hampir kabeh yo ngene kok,” dalih mereka.

Sebagian ada juga yang melucuti idealismenya ketika diluar sekolah. Nilai religius yang disemayamkan bertahun-tahun pada akhlaq kita, diabaikan demi pergaulan yang lebih luas atau kemanfaatan yang lebih besar (katanya). Bersentuhan antar lawan jenis (non muhrim) seakan menjadi tuntutan zaman yang tidak bisa dihindari, sementara 4 imam madzhab yang kefaqihanya tidak diragukan tiada satupun membolehkanya. “Aku realistis. Mau gimana lagi, menghormati kok. “ dalih mereka.

Dan (boleh jadi) ada yang menanggalkan idealismenya setelah di struktural birokrasi esok. Idealisme untuk tetap ‘bersih’ hanyalah slogan diawal yang dikhianatinya sendiri, demi melihat lingkungan sekitar dan tetap mempertahankan sumber penghidupan. Untuk yang terakhir, tidak berarti pada kita harus diluar sistem. Boleh berjuang lewat dalam disertai komitmen yang tinggi kepada Allah, untuk tetap idealis dan berpegang teguh pada ajaranNya.

Walau demikian, saya tetap menyadari harus ada orang kita didalam. Sesosok idealis sejati yang berjuang melantangkan kebenaran dan keadilan sampai habis kendatipun harus terpincang-pincang. Barangkali tidak mustahil Neo-Soe Hok Gie akan terlahir, seorang kritis, tajam, dan bersih nurani, namun berjuang dan bertempur didalam sistem. Semoga!

Di selesaikan di Kamar Dauroh Tahfidz Muallimin,
Yogyakarta
7-9 Ramadhan 1438 H














Komentar

Posting Komentar

VIEWERS

Postingan Populer