Belajar sebagai Hobi?
Hari ini, untuk kali kedua saya sengaja bertahan duduk lebih lama bersama para ahbab. Setelah menutup dars, Maulana Syekh Husyam biasanya menetap 15-20 menit untuk menjawab berbagai pertanyaan atau ber-ramah tamah menanyakan kabar murid-muridnya.
Mayoritas ahbab ialah mahasiswa senior dan pascasarjana. Saya yang hanya bocah kemaren sore, tidak lebih dari sekedar ingin menikmati suasana pasca dars sambil berharap ketularan energi positif para murid senior. Tentu saja, agar bisa salaman dengan Maulana juga dong, hehe.
Sejak empat atau lima majelis terakhir, sepertinya saya benar-benar telah menikmati daurah. Walaupun masih kecil-kecilan, setidaknya mulai ada perasaan tidak sabar menanti pertemuan berikutnya. Setelah keluar ruangan pun, ada keinginan kuat untuk lekas membaca kembali. Sesekali penasaran menengok hasyiah. Tentu saja itu semua karena sebuah tanggungan untuk mengejar ketertinggalan. Sebuah tanggungan yang merepotkan namun sangat membentuk sebuah kebiasaan.
Sepulang dars tadi, dalam perjalanan menuju masjid Sahabah yang terletak hanya sekitar 250 meter dari Dar Imam Ghazali, saya merenung; mengevaluasi proses pembelajaran selama ini.
Bahwa langkah awal terasa berat itu wajar, saya saja hampir menyerah. Namun algoritma semesta agaknya cukup berpihak dengan pilihan bertahan saya. Tidak lama setelah itu, berbagai tawaran kegiatan seoalah menjawab keinginan saya untuk bisa mengejar. Ada muzakarah bersama ahbab setiap Sabtu dan Selasa malam, Kajian Mantiq Sopo Tresno PCIM Senin sore, dan belajar Mantiq Isaguji bersama Ustaz Nova setiap Sabtu siang. Memang cukup padat. Belum ditambah waktu dars sendiri setiap Ahad dan Rabu. Seminggu full aqliyah banget.
Dalam masa liburan seperti ini, mengharuskan diri kesana-kemari mengikuti berbagai kegiatan tersebut memang cukup menjenuhkan. Terkadang saya juga terpaksa tidak enak harus menolak ajakan teman-teman rumah dalam berbagai kegiatan kebersamaan. Rasa lelah juga tidak jarang menyapa-nyapa minta diperhatikan. Tapi toh, saya hanya perlu menahannya; sampai benar-benar terbiasa.
Lagipula, lelah saya masih belum apa-apa dibanding lelahnya para senior dan penuntut ilmu lainnya yang super banget aktivitas talaqi dan belajarnya. Santai lah.
Saya jadi teringat, ketika masih menjabat di IPM masa Aliyah dulu, saya sering menggaungkan dan memotivasi diri sendiri juga orang lain dengan motto, "jadikanlah berjuang sebagai hobimu." Karena hobi, kita akan melakukannya dengan senang hati; tanpa beban dan paksaan.
Sekarang, memungkinkan tidak ya frasanya sedikit dirubah menjadi, "jadikanlah belajar sebagai hobimu." Konsekuensinya tidak jauh berbeda sih. Aktivitas membaca dan mengulang pelajaran bukan lagi sebuah tanggungan melainkan kebutuhan, yang tubuh kita akan merasa aneh melalui hari tanpa keduanya. Kegiatan talaqi akan selalu kita nantikan seperti kita menanti jadwal bermain futsal. Kajian dan diskusi pun selalu membuat kita ketagihan, seperti kita tidak sabar menanti episode selanjutnya dari serial kartun One Piece maupun Boruto. Ya, seandainya saja sih.
Oiya, kalau memang bisa seperti itu, bagi yang menjadikan belajar sebagai hobi, masa ujian termin (semester) barangkali menjadi seperti liburan musim panas baginya, dimana ia bisa berpuas-puas membaca dan mengulang pelajaran di dalamnya. Sementara liburan musim panas baginya, ialah seperti musim ujian di mata orang lain. Ia tersiksa, harus berpisah dari bangku kuliah dan padatnya aktivitas belajar. Ditambah lagi, harus menahan godaan tawaran rihlah-rihlah yang terkadang hanya menguras uang saku. Kalau ada manusia seperti itu, boleh deh dikenalkan ke saya. Hehe.
In frame : partner liburan musim panas terbaik.
Darb el Ahmar,
19 September 2019
01:33 Wlk
Wah masyaallah , inspiring banget, bisa dicontoh iniini.
BalasHapusBolehlah kapan2 share ilmu mantiqnya juga 😁