Balada Beasiswa Bezet (2) : Belajar dari Orang Lain
Belajar dari Orang Lain.
Sementara perasaan bahagia dan terharu saya, muncul ketika melihat nama-nama yang memperoleh beasiswa tidak sedikit ialah teman-teman saya sendiri. Sejak tau bahwa saya tidak dapat mengajukan Bezet, satu-satunya cara agar hati saya tetap tenang, legowo dan tidak muncul rasa hasad ialah terus mendoakan yang terbaik untuk orang-orang terdekat saya.
Sebagai teman yang baik, bukankah selayaknya kita turut bahagia menyaksikan kebahagiaan saudara kita sendiri?
Dari sekitar 81 nama yang keluar kloter pertama, ada sekitar 10 nama yang saya kenal dekat. 7 diantaranya bahkan pernah hidup serumah. Mereka memang luar biasa perjuangan dan keistiqomahan ibadahnya. Saya belajar banyak.
Dari 10 nama yang saya kenal, tidak semuanya mendapat Jayyid Jiddan (JJ). Agaknya nilai memang bukan sebuah jaminan. Meskipun ini masih kloter pertama, setidaknya cukup memberi gambaran; siapa yang berdoa serius dan penuh harap dengan iringan amal saleh, Allah akan membalasnya dengan sebaik-baik pembalasan.
Saya sendiri menyaksikan, bagaimana totalitas perjuangan dan doa mereka. Yang lebih menarik lagi ialah kedua teman saya yang Jayyid, namun Allah tetapkan namanya keluar di kloter pertama.
Satu diantaranya luar biasa sekali kepeduliannya terhadap orang lain. Rela menyita banyak waktunya demi kebaikan jamaah. Ketika teman-teman lainnya sibuk kesana-kemari mengejar target pribadinya, ia tetap teguh berkutat dengan amanah yang ia ambil dengan kesadaran; sebuah ikhtiar menggerakkan roda kebaikan, tanpa kenal lelah dan mengeluh.
Ia seorang altruist sejati. Mengorbankan kesenangan pribadinya demi kebahagian orang lain. Atau boleh jadi letak kebahagiaanya ialah membahagiakan orang lain, sekalipun terkadang harus menahan banyak omongan tidak enak di belakang.
Saya harus malu ketika banyak mengeluh dan aleman ketika rapat sampai larut malam, sementara ia tetap tegar dan tersenyum dengan kertas coretan masa depan teman-temannya. Ibadah dan doanya pun tidak kalah kuat. Allah tidak salah memilih orang, ia pantas mendapatkanya.
Satu lagi yang lainnya, ia dikenal sangat baik dan menjaga perasaan orang lain. Jika ada sikap orang lain yang tiba-tiba berbeda dengannya, cepat-cepat ia bermuhasabah lalu tidak sungkan untuk meminta maaf, sekalipun terkadang sebetulnya tidak terjadi apa-apa. Sepertinya ia tidak ingin memberikan celah pada dirinya untuk menjadi luka di hati orang lain. Karena boleh jadi ia memahami, diantara sebab lambatnya perjalanan doa ialah ganjalan dari orang lain atas perbuatan kurang baik kita.
Pernah suatu ketika, di saat kami tengah dalam konflik karena kesalahan saya, dengan besar hati ia memulai komunikasi justru dengan mengabarkan info bahwa masih ada kemungkinan untuk taqdim berkas. Tentu saja saya terharu. Di tengah konflik pun, ia tetap berharap agar temannya juga mendapat yang terbaik.
Jangan ditanya masalah doa dan ibadah. Munajatnya panjang, lengkap dengan berbagai sunah-sunahnya. Allah tidak akan salah memilih orang, ia pantas mendapatkanya.
Saya jadi teringat tulisan Cak Nun,
"Doa kita adalah benih tanaman yang tidak bisa tumbuh karena tanah perbuatan nyata hidup kita bukan tanah subur baginya,"
Atau jika dipahami dengan sudut pandang lain, bahwa doa kita akan menjadi tanaman yang subur, jika kita tanam dalam tanah perbuatan hidup kita yang penuh dengan amal, kebaikan, dan tidak gersang oleh kemaksiatan.
Saya banyak berhutang dan harus berterimakasih atas pelajaran mahal ini. Semoga Allah meridhoi setiap langkah kita.
Hay al-Asyir,
17 September 2019.
Sementara perasaan bahagia dan terharu saya, muncul ketika melihat nama-nama yang memperoleh beasiswa tidak sedikit ialah teman-teman saya sendiri. Sejak tau bahwa saya tidak dapat mengajukan Bezet, satu-satunya cara agar hati saya tetap tenang, legowo dan tidak muncul rasa hasad ialah terus mendoakan yang terbaik untuk orang-orang terdekat saya.
Sebagai teman yang baik, bukankah selayaknya kita turut bahagia menyaksikan kebahagiaan saudara kita sendiri?
Dari sekitar 81 nama yang keluar kloter pertama, ada sekitar 10 nama yang saya kenal dekat. 7 diantaranya bahkan pernah hidup serumah. Mereka memang luar biasa perjuangan dan keistiqomahan ibadahnya. Saya belajar banyak.
Dari 10 nama yang saya kenal, tidak semuanya mendapat Jayyid Jiddan (JJ). Agaknya nilai memang bukan sebuah jaminan. Meskipun ini masih kloter pertama, setidaknya cukup memberi gambaran; siapa yang berdoa serius dan penuh harap dengan iringan amal saleh, Allah akan membalasnya dengan sebaik-baik pembalasan.
Saya sendiri menyaksikan, bagaimana totalitas perjuangan dan doa mereka. Yang lebih menarik lagi ialah kedua teman saya yang Jayyid, namun Allah tetapkan namanya keluar di kloter pertama.
Satu diantaranya luar biasa sekali kepeduliannya terhadap orang lain. Rela menyita banyak waktunya demi kebaikan jamaah. Ketika teman-teman lainnya sibuk kesana-kemari mengejar target pribadinya, ia tetap teguh berkutat dengan amanah yang ia ambil dengan kesadaran; sebuah ikhtiar menggerakkan roda kebaikan, tanpa kenal lelah dan mengeluh.
Ia seorang altruist sejati. Mengorbankan kesenangan pribadinya demi kebahagian orang lain. Atau boleh jadi letak kebahagiaanya ialah membahagiakan orang lain, sekalipun terkadang harus menahan banyak omongan tidak enak di belakang.
Saya harus malu ketika banyak mengeluh dan aleman ketika rapat sampai larut malam, sementara ia tetap tegar dan tersenyum dengan kertas coretan masa depan teman-temannya. Ibadah dan doanya pun tidak kalah kuat. Allah tidak salah memilih orang, ia pantas mendapatkanya.
Satu lagi yang lainnya, ia dikenal sangat baik dan menjaga perasaan orang lain. Jika ada sikap orang lain yang tiba-tiba berbeda dengannya, cepat-cepat ia bermuhasabah lalu tidak sungkan untuk meminta maaf, sekalipun terkadang sebetulnya tidak terjadi apa-apa. Sepertinya ia tidak ingin memberikan celah pada dirinya untuk menjadi luka di hati orang lain. Karena boleh jadi ia memahami, diantara sebab lambatnya perjalanan doa ialah ganjalan dari orang lain atas perbuatan kurang baik kita.
Pernah suatu ketika, di saat kami tengah dalam konflik karena kesalahan saya, dengan besar hati ia memulai komunikasi justru dengan mengabarkan info bahwa masih ada kemungkinan untuk taqdim berkas. Tentu saja saya terharu. Di tengah konflik pun, ia tetap berharap agar temannya juga mendapat yang terbaik.
Jangan ditanya masalah doa dan ibadah. Munajatnya panjang, lengkap dengan berbagai sunah-sunahnya. Allah tidak akan salah memilih orang, ia pantas mendapatkanya.
Saya jadi teringat tulisan Cak Nun,
"Doa kita adalah benih tanaman yang tidak bisa tumbuh karena tanah perbuatan nyata hidup kita bukan tanah subur baginya,"
Atau jika dipahami dengan sudut pandang lain, bahwa doa kita akan menjadi tanaman yang subur, jika kita tanam dalam tanah perbuatan hidup kita yang penuh dengan amal, kebaikan, dan tidak gersang oleh kemaksiatan.
Saya banyak berhutang dan harus berterimakasih atas pelajaran mahal ini. Semoga Allah meridhoi setiap langkah kita.
Hay al-Asyir,
17 September 2019.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus