Balada Beasiswa Bezet (1)
Sore, menjelang Maghrib, tepat setelah pengumuman nama-nama penerima beasiswa lembaga zakat Kuwait di upload oleh Ustaz Wael Mem, berbagai ekspresi dan perasaan para penantinya seolah menuntut untuk ditumpahkan.
Saya sendiri menulis ini dengan setumpuk perasaan campur aduk; sedih, kecewa, bahagia, terharu, dan tentu saja, bersyukur. Satu hal yang pasti, di balik setiap ketetapan Allah pasti terdapat hikmah dan pelajaran berharga, bagi yang benar-benar mau mencari dan menyadari adanya hikmah tersebut.
Saya sedih tentu saja karena nama saya tidak ada dalam daftar pengumuman tersebut. Namun toh kesedihan saya saat ini tidak seberapa. Klimaksnya sudah terjadi beberapa waktu lalu, ketika saya harus menerima kenyataan bahwa tahun ini saya belum berkesempatan mengajukan beasiswa. Salah satu faktornya karena passpor saya belum taslim, bahkan sampai sekarang.
Mau bagaimanapun, menyalahkan keadaan bukanlah sebuah solusi, bahkan hanya akan memperkeruh keadaan. Bahwa saya sangat kecewa ialah sebuah kenyataan yang tidak saya pungkiri. Bahkan saya sempat menangis, dengan peluang yang cukup besar, saya belum dapat memenuhi harapan kedua orang tua saya; meringankan tanggungan mereka untuk membiayai hidup saya di sini.
Padahal, dengan nilai yang saya raih, boleh dikatakan sangat berpeluang besar. Namun, jika Allah belum berkehendak, apa lagi yang dapat kita lakukan selain menerimanya dengan lapang dada? Sedih boleh. Kecewa juga wajar. Namun, toh, berlarut-larut di dalamnya sama sekali tidak menyelesaikan sebuah kegelisahan.
Salah satu takdir yang tidak hentinya saya selalu mensyukurinya ialah Allah menetapkan saya sebagai bagian dari keluarga Ibu dan Bapak saya. Di tengah kesedihan saya yang belum mampu membawakan kabar gembira untuk mereka, justru keduanya menguatkan.
Ibu saya meneguhkan bahwa, beasiswa bukan segalanya. Ia hanya bonus saja. Yang terpenting ialah kesungguhan belajar itu sendiri. Bagaimana caranya tetep harus serius, syukur-syukur masih selalu tertarik untuk mendapat nilai terbaik.
Sementara Bapak sebagai tulang punggung keluarga selalu menenangkan. Tetap harus husnudzan sama Allah. Barangkali Allah memiliki skenario lain yang lebih indah. Seperti Adek saya juga menyemangati, "Usaha yang maksimal lagi Mas, untuk hasil yang lebih maksimal."
Di titik ini saya selalu terharu dan kadang terpaksa harus menitikan air mata. Semoga Allah membalas segala kebaikan antum, Bu, Pak, Adek.
Hay al-Ashir,
17 September 2019
Saya sendiri menulis ini dengan setumpuk perasaan campur aduk; sedih, kecewa, bahagia, terharu, dan tentu saja, bersyukur. Satu hal yang pasti, di balik setiap ketetapan Allah pasti terdapat hikmah dan pelajaran berharga, bagi yang benar-benar mau mencari dan menyadari adanya hikmah tersebut.
Saya sedih tentu saja karena nama saya tidak ada dalam daftar pengumuman tersebut. Namun toh kesedihan saya saat ini tidak seberapa. Klimaksnya sudah terjadi beberapa waktu lalu, ketika saya harus menerima kenyataan bahwa tahun ini saya belum berkesempatan mengajukan beasiswa. Salah satu faktornya karena passpor saya belum taslim, bahkan sampai sekarang.
Mau bagaimanapun, menyalahkan keadaan bukanlah sebuah solusi, bahkan hanya akan memperkeruh keadaan. Bahwa saya sangat kecewa ialah sebuah kenyataan yang tidak saya pungkiri. Bahkan saya sempat menangis, dengan peluang yang cukup besar, saya belum dapat memenuhi harapan kedua orang tua saya; meringankan tanggungan mereka untuk membiayai hidup saya di sini.
Padahal, dengan nilai yang saya raih, boleh dikatakan sangat berpeluang besar. Namun, jika Allah belum berkehendak, apa lagi yang dapat kita lakukan selain menerimanya dengan lapang dada? Sedih boleh. Kecewa juga wajar. Namun, toh, berlarut-larut di dalamnya sama sekali tidak menyelesaikan sebuah kegelisahan.
Salah satu takdir yang tidak hentinya saya selalu mensyukurinya ialah Allah menetapkan saya sebagai bagian dari keluarga Ibu dan Bapak saya. Di tengah kesedihan saya yang belum mampu membawakan kabar gembira untuk mereka, justru keduanya menguatkan.
Ibu saya meneguhkan bahwa, beasiswa bukan segalanya. Ia hanya bonus saja. Yang terpenting ialah kesungguhan belajar itu sendiri. Bagaimana caranya tetep harus serius, syukur-syukur masih selalu tertarik untuk mendapat nilai terbaik.
Sementara Bapak sebagai tulang punggung keluarga selalu menenangkan. Tetap harus husnudzan sama Allah. Barangkali Allah memiliki skenario lain yang lebih indah. Seperti Adek saya juga menyemangati, "Usaha yang maksimal lagi Mas, untuk hasil yang lebih maksimal."
Di titik ini saya selalu terharu dan kadang terpaksa harus menitikan air mata. Semoga Allah membalas segala kebaikan antum, Bu, Pak, Adek.
Hay al-Ashir,
17 September 2019
Komentar
Posting Komentar