Atsar Mualana Syekh Husyam



Ada beberapa faktor kuat yang mendorong saya untuk (kembali) menulis ini, setelah hampir 4 bulan lamanya tidak satupun tulisan mampu saya selesaikan. Tidak sedikit teman-teman mendorong agar lanjut menulis, namun agaknya tidak sekuat apa yang terjadi pada hari ini (Rabu 11/9), sampai akhirnya perlahan mampu melewati fase berat-susah-tragisnya mengembalikan pena yang sudah terlanjur tumpul. Diantara faktor tersebut ialah:

1. Sebuah apresiasi untuk diri saya sendiri. Hari ini, untuk pertama kalinya, saya berhasil bertahan tetap terjaga tanpa kantuk barang lima detikpun, selama mengikuti dars Maulana Syekh Husyam. Bagi saya ini pencapaian luar biasa. Empat belas pertemuan sebelumnya, hampir dipastikan ada saja tidurnya, yang jika diakumulasi boleh jadi mencapai 15-20 menit per dars. Parah sih. Hehe.

Tidak hanya orang lain, diri kita sendiripun layak mendapat apresiasi, dari dan oleh diri kita sendiri. Bentuk apresiasi itu, bagi saya sesederhana mengikatnya dalam keabadian, seperti kata Pram.


2. Simbol sebuah titik balik. Hampir dua tahun di Mesir, saya tak kunjung selesai dengan pencarian diri saya sendiri. Terlalu lama saya berdiri dan melangkah tanpa pijakan kokoh dan pasti. Akibatnya, beberapa kali saya harus tersungkur kehilangan orientasi; terbawa arus, berleha-leha, dan tidak punya pendirian. Sementara di waktu yang sama, teman-teman saya di belahan bumi lainnya telah mencapai titik keemasannya.

Dua tahun bukan waktu yang singkat sementara kehidupan saya masih begitu-begitu saja. Target dan mimpi-mimpi yang dahulu sempat subur, semakin kesini kian jauh panggang dari api. Saya bukan tanpa ikhtiar, barangkali memang kurang maksimal. Berbagai hal saya coba, beberapa tempat saya datangi, kegiatan-kegiatan juga saya ikuti, namun tak kunjung sampai pada titik, “ini loh, Saya.” 

Sampai akhirnya dipertemukan dengan Maulana Syekh Husyam. Awal perjumpaan ketika mengikuti daurah Aqidah kitab Syarh al-Kharidah al-Bahiyah. Konon, level mengajar beliau yang tinggi kurang cocok untuk pemula. Tidak sedikit peserta daurah merupakan mahasiswa pascasarjana. Saya yang baru kelar semester dua, cukup tertatih mengikutinya. Apalagi sedikitpun saya tidak memiliki basic mantiq sejak Aliyah.

Walhasil, dalam dua-tiga pertemuan pertama saya pulang hanya dengan pemahaman 20-30%. Selebihnya hanya mlongo dan tertidur. Bayangkan, tiga jam beliau hanya menjelaskan 3-4 halaman cuy! Ya, kendati demikian, perasaan tertantang saya justru mulai tumbuh.

Kalau bukan sebab rasa tertantang dan dorongan untuk menyelesaikan apa yang saya mulai, mungkin saya akan mundur seperti teman saya setelah mendapat nasihat senior untuk belajar secara tadarruj (bertahap) dan tidak melompat-lompat. 

Sebagaimana setiap pilihan mengandung konsekuensi, keputusan saya untuk bertahan mengharuskan usaha berlipat. Karena standar beliau tinggi, saya harus berlari mengejar ketertinggalan. Jika pulang tidak diulang kembali dan berangkat tidak membaca dulu, hampir dipastikan waktu dan ongkos perjalanan saya sia-sia.

Perlahan orientasi saya mulai jelas. Untuk mendapatkan input lebih, membaca ulang dua-tiga kali saja tidak cukup alias harus berkali-kali. Karenanya, waktu luang saya mau tidak mau harus terpakai untuk itu. Pada titik ini saya seolah mulai menemukan kerinduan yang saya cari selama ini.

Sampai suatu ketika akhirnya saya merasakan nikmat dan mahalnya sebuah anggukan dalam dars. Bahagianya mampu melafalkan “Ooh..” sembari tersenyum-senyum sendiri.

Lalu, apa yang terjadi hari ini, ketika tidak seperti biasanya Maulana memulai dars dengan bercerita satu jam lamanya, membuat mata saya berbinar. Sebuah nasihat pemanfaatan waktu ditambah praktek dan kisah beliau sebagai pelaku, benar-benar menampar sekaligus mengobati kehausan saya akan hal tersebut. Rasanya terlalu naif jika isyarat pertemuan semahal ini tidak ditangkap sebagai sebuah kesadaran, untuk berubah lebih baik dan lebih tertata lagi.


3. Tidak dapat dipungkiri, tulisan ini juga dibuat sebagai bentuk pelampiasan. Hari ini teman-teman saya berangkat rihlah ke Fayyoum tanpa kehadiran saya. Sempat menyesal karena membatalkan ikut rihlah yang jarang-jarang, demi menghadiri dars Maulana yang rutin dan sebenarnya ada tasamuh (toleransi) untuk berhalangan hadir maksimal dua kali. Pun, bisa saja saya mendengar rekaman dars tanpa harus tertinggal. Toh, saya belum pernah absen. Namun entah mengapa hati kecil saya condong untuk tetap hadir, walaupun harus mengorbankan kebersamaan langka seperti ini.

Justru ketika perasaan menyesal tersebut kembali terbersit, seketika nasihat Maulana setelah itu membuat saya harus mensyukuri betapa mahalnya majelis hari ini. Setelah menjawab satu-dua pertanyaan, beliau bercerita pernah suatu ketika sengaja mampir ke caffe kecil hanya untuk duduk di sebelah orang yang tengah asyik meminum teh sembari bersantai. Sambil juga memesan teh, beliau bertanya pada orang disebelahnya, bagaimana caranya bisa duduk tenang bersantai seperti itu?

“Lakukan saja seperti ini,” kata orang tersebut sedikit acuh.

Setelah mencoba melakukan hal yang sama, duduk bersandar sembari menyeduh segelas teh didepannya, beliau memang merasakan nikmat. Ditambah lagi semilir angin sore yang sejuk. Namun, kata Maulana, alih-alih ketenangan batin,  justru gelisah yang dirasakannya; ratusan detik berharga berlalu tanpa manfaat berarti. Seketika beliau langsung pulang dan kembali duduk di depan meja, tenggelam dalam lautan kitab-kitab peninggalan para ulama; sumber kebahagiaan hatinya.

Sampai sekarang beliau masih penasaran, bagaimana mungkin orang-orang dapat duduk santai menikmati teh berjam-jam sementara waktu berharganya berlalu dan tak akan kembali? Ya, Maulana adalah orang yang sangat menjaga waktu, sampai-sampai terkadang justru lupa dengan adanya satuan waktu. Ketika beliau membaca di pagi hari, tiba-tiba azan Zuhur berkumandang. Ketika sejenak duduk di depan kitab setelah Isya, tiba-tiba sudah hampir Subuh. Dan itu semua, kuat-kuat beliau pegang dan nasihatkan kepada kami.

Dan barangkali tipikal orang seperti saya, lebih mudah terbakar ketika mendengar cerita langsung pengalaman luar biasa orang yang keberadaanya dapat terjangkau dengan mata telanjang. Bahkan, beliau ada di depan saya, dekat sekali dengan saya. Terkadang, pelajaran kisah pengalaman pribadi seseorang jauh lebih membekas dalam waktu lama. Intinya, anggap saja ini poin pelampiasan sekaligus penegasan bahwa saya tidak jadi menyesal tidak ikut rihlah. HAHA.

Jika ditarik benang merah, ketiga faktor tersebut bermuara pada kehadiran Maulana Syekh Husyam dalam hidup saya. Utamanya hari ini, ketika rentetan pertemuan sebelumnya seolah menemui titik paling terangnya. Bahwa kehidupan saya perlahan mulai teratur, tegas dengan komitmen mengejar ketertinggalan, tidak lain ialah pengaruh sosok beliau.

Saya sedang tidak berlebihan karena memang itu yang saya rasakan. Anggap saja, tulisan ini bentuk tasyakuran saya merayakan atsar kehadiran Maulana Syekh Husyam dalam hidup saya, setidaknya sampai saat ini dan semoga begitu seterusnya kedepan.

Boleh juga dikatakan, tasyakuran saya kepada para pembaca setia saya yang katanya sudah terlalu lama merindukan tulisan saya. Hehe.

Darb el Ahmar,
15 September 2019.

Komentar

  1. Juni, July, Agustus, September
    :) haih haih,

    tulisan Mas Hidan dan komen saya cukup menjadi
    penegasan bahwa saya tidak jadi menyesal selalu mencoba mengechek ada tulisan baru di blog ini.


    semoga Tuhan selalu menyertai dan menguatkan,
    teruntuk Mas Hidan juga seluruh insan didunia :)
    aamiin,

    salam TERBAKAR, dari saya :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya anda memiliki uslub yang selalu menarik untuk membuat saya harus terharu dan dan merasa dibangkitkan pelan-pelan. Apa yang lebih berharga dari dari terima kasih?

      Semoga semua doa baik juga kembali padamu ya, manusia baik :)

      Hapus

Posting Komentar

VIEWERS

Postingan Populer