BRCH (24) : April Lembaran Baru


Senin, 2 April 2018

Hidup di Mesir memang gampang futur. Harus sering-sering tajdidu an-niat atau hanyut terbawa arus kemalasan. Sampai 6 bulan ini, saya merasa belum banyak peningkatan berarti. Hafalan stagnan, membaca macet, menulis seret, ibadah juga lebih sering turun daripada naiknya. Kalaupun ada fatroh produktif mungkin selang 3-4 hari saja. Selebihnya itu-itu saja.

Dalam banyak gelisah tersebut, sampailah saya pada keputusan untuk berhijrah.

Praktek hijrah memang tidak seringan pengucapannya. Akan banyak godaan dan batu terjal yang menguji kesitiqomahan. Betapapun itu, saya harus mencobanya. Jauh sebelum ini lisan saya ringan sekali menganjurkan ini pada yang lain. Barangkali kini saya yang akan membuktikannya sendiri.
Tentu saja urusannya tidak sesedarhana itu, walaupun pertanyaan sebetulnya sederhana: hijrah yang bagaimana? Jika tidak dirumuskan dan dijawab dengan baik sedari awal, saya hanya akan terjebak pada seremonial slogan belaka. Kemana arah dan tujuan haruslah jelas; agar tidak mudah goyah dan mudah hilang arah.

Secara sederhana ada 3 hal yang coba saya sorot:

Pertama, hijrah geografis. Dalam fatroh dekat ini saya berharap dapat pindah ke Markaz Tahfid Maqurra. Hidup di asrama tanpa aturan amat melenakan. Saya sudah sampai pada puncak kegelisahan sholat tidak diawal waktu dan hafalan kacau. Setidaknya, dari perpindahan geografis ini ada harapan pola hidup baru dapat terbentuk. Sekalipun ini berarti organisasi dan futsal saya tawaqquf sementara waktu.

Kedua, organisatoris. Dengan perpindahan nanti, hampir dapat dipastikan saya menahan panggilan jiwa saya untuk berorganisasi. Padatnya jadwal serta serta ketatnya peraturan di Maqurra mengharuskan saya  melepas beberapa organisasi atau setidaknya memilih pasif. Tidak masalah sebetulnya. Lagipula saya juga sedang ingin menghilang sementara dari peradaban masisir; agar semakin dekat sampai pada mimpi ibuk saya.

Ketiga, media komunikasi. Saya memasang target 1,5 tahun sudah selesai 30 dan lancar. Dengan patokan yang cukup tinggi, adanya hp sebagai media komunikasi (atau eksistensi) dimana banyak grup ada saya didalamnya, hanya akan memperlambat tujuan saya. Karenanya saya merasa perlu untuk menyingkirkan atau menitipkan hp pada teman saya seperti yang dilakukan Dr. Humaidah ketika bercerita di kelas saya dulu. Mungkin butuh proses, semoga saya dapat sampai.

Jum’at, 13 April 2018


Sejak 3 hari lalu, saya resmi menjadi anggota MAQURRA (Majelis Qur’an Abu Amru Abbas El-Akad). Sejak perpindahan itu, ada perbedaan berarti dalam hidup saya. Selain kian dekat dengan Al-Qur’an, saya menjadi segan pula untuk sekedar meninggalkan witir dan dhuha. Pandangan mata juga relatif aman. Tidak hanya itu, bahkan lingkungan yang Qur’ani dan padatnya kegiatan benar-benar menjauhkan saya dari waktu selo—musuh terbesar saya sedari dulu—yang berpotensi menimbulkan dosa atau sia-sia. Keadaan ini seolah amat ideal. Saya seperti menemukan apa yang saya cari selama ini.

Kebahagiaan ini tidak dapat saya ingkari. Hanya saja sejak pagi kemaren saya merasa gelisah tanpa sebab. Seperti ada yang mengganjal atau ada yang kurang. Bahkan ketakutan-ketakutan akan masa depan. Saya menerka beberapa kemungkinan. Masalah pertemanan, rasanya mudah saja untuk berbaur. Ketakutan digertak ketika salah juga tidak mungkin seterusnya. Jauh dari organisasi pun sudah saya pertimbangkan diawal. Lalu?

Saya hanya berharap gelisah saya segera mereda.

Yang saya rasakan, gelisah ini seolah meragukan kebahagiaan saya disini. Benarkah demikian? Semoga saja tidak.

  

Komentar

VIEWERS

Postingan Populer