Untukmu Teman
Dalam sepanjang perjalanan pulang, mataku menatap ramai kota
Jogja malam hari. Tidak biasanya, tatapan kali ini kosong. Tak ubahnya, malam
tadi, aku seperti robot yang secara otomatis dapat bergerak mengemudi dan
menghindari. Tanpa perasaan. Pikiranku melayang tinggi keatas, lalu terpental
kebelakang menyusuri sungai-sungai
waktu yang telah lalu, sehingga
terputar manuskrip-manuskrip lama seolah-olah baru saja beberapa hari terjadi.
Disadari atau tidak, air mataku tumpah berserekan mengelap wajah kotor nan penuh
debu.
***
Pada kita masih menempel sifat-sifat anak SD yang selain
kekanak-kanakan, mulai berlagak kedewasaan. Aku masih jaim dan ekslusif dalam
bergaul : tidak mau kalau bukan teman SD. Sementara dengan perawakanmu yang
menjulang, siapa saja wajah baru kau letakkan sapa. Suatu kali aku bermain
sepak bola dengan beberapa rekan sekamar baru (tentu belum akrab dan masih
gengsi). Kemudian lantunan murottal pertanda usai waktu berbunyi. Kami usai, dan saat itulah kau menghampiri
berkauskan jersey training indonesia merah, dengan senyum menawanmu sambil
menyapa. Terjadilah perbincangan kita. Kamu sangat hangat. Ramah. Mayan ganteng.
Hmm. Aku kalah, tingginya maksudnya. Hehe.
Setahun berjalan dengan lambat, namun berlari dikenang
dengan cepat.
Belum banyak kita mengenal dalam. Kita berbeda kamar,
walaupun sejatinya hanya berseberangan. Obrolan-obrolan kita sebatas formalitas
telah mengenal. Tidak lebih, kecuali mungkin sedikit bila pada salah satu kita
butuh bantuan. Wajar kan. Tidak ada yang menafikkan kita makhluk sosial.
Pernah sekali kita berdua mewakili angkatan sekaligus almamater
dalam perlombaan futsal. Jogging sore memutar mancasan lalu telat masuk asrama.
Belum genap setahun kita dab. Perlahan, kita dekat.
Perputaran bumi genap menyudahi matahari satu kali. Aku dan
kau, yang diiriskan dalam satu kelas dapat giliran pindah asrama.
Asrama yang baru, walaupun cukup ekslusif untuk kelas kita
sahaja, cukup menampung kesamaan hobi kita. Hampir saban sore kita melepas
penat dan berbahagia di hamparan hijau sekitar 300 meter dari asrama. Orang
menyebutnya Lapangan Mancasan. Kita improve kualitas. Aku berani menyombongkan,
bahwa masa itu ialah kualitas terbaikku. Hehe. Berulang kali mungkin, delapan
atau sembilan lebih, bola berlalu mengoyak jaring yang seharusnya kau jaga.
Muehe
Mungkin seharusnya ada lebih banyak irisan kita, namun bisa
dibilang taun kedua kita miskin momen. Berdua. Mungkin. Atau aku yang payah,
untuk berani mengingat tanpa lelah.
Masuk diawal putaran ketiga. Lagi-lagi kita berkesempatan
mencicipi asrama lain(untuk ketiga kalinya) dimana kelas lain belum sampai
angka tiga.
Ada banyak irisan untuk dikenang. Masa ini bisa jadi
peningkatan. Berada lagi dalam satu tim mewakili almamamater untuk futsal (lagi).
Pentasico kalau tidak salah. Lalu(dengan kecewa)kandas lagi. Haha.
Kemudian untuk menyebut paling berkesan, tentu perjalan di
paruh akhir. Berdua kita rencanakan perjalan ke rumah kawan, Pemalang(konon
disinilah kisah itu bermula). Hanya berdua denganmu. Tidak yang lain. Kita
singgah di Purwokerto, bertemu kawan lain. Menginap. Berbincang. Lalu melanjut
berkenalan dengan dinginya Pemalang dua
atau tiga hari, tak pasti. Dingin memang menyergap sampai tulang, namun justru
mengahangat untuk dikenang. Apalagi setelah ditinggal. Bagimu. Hehe. Aku biasa
wae.
Sebagaimana banyak perjalanan panjang, kisah yang tertukar
padaku dan padamu melekatkan ikatan ini. Yang tidak resmi sepersusuan, pun
tidak sedarah, namun seteguh dan sekokoh akar bakau di pantai. Yang tidak mudah
patah, apalagi terlepas. Semoga, ikatan kita demikian halnya.
Dan satu lagi, tentangnya-mu dan tentangnya-ku mulai
tersibak dimasa ini. Aku sepantaran, kamu
satu tingkat lebih tua. Walau
demikian, nya-kita anak pak ustadz. Muehe. Yoben alay.
Kita menginjak dewasa. Masa Abu-abu yang katanya penuh
kebebasan telah tercicip sebagaimana jauhnya kaki melangkah.
Masih di asrama yang sama, kita sedikit disekat kelas yang
berbeda. Aku dengan konsentrasi agamaku, kau linier dengan cita-citamu(walau
mungkin kini harus rela kau lepas, ikhlaslah).
Kita mencari jati diri. Aku selalu dalam kebingungan, mau
seperti ini, pengen seperti itu, aku bukan begini, bukan aku kalo gitu, dan
seterusnya. Sementara aku melihatmu tidak begitu goyah, terkesan statis. Namun konstanmu
hebat, sudah pandai saja merangkul. Dan oleh sebab pencarian jati diri kita(aku
sih lebih tepatnya), rekat kita tidak sehangat sebelumnya. It’s oke. Setengah
tahunku juga barangkali tersita untuk maha besar acara SKM. Tempatku didorong
keatas untuk memimpin, lalu dihujat dijatuhkan didepan umum. Haha. Dan kau(lagi-lagi)
hadir, menguatkan. Terimakasih.
Putaran ke lima.
“Kalian yang menggerakkan roda organisasi Muallimin” kata
banyak kakak kelas. Waktu tiba. Kau dan aku, nama kita, berderet di jajaran
formatur IPM 2015/2016. Desas-desus itu benar adanya. Nama saya diangkat. Bukan
sebuah kebahagian yang layak dibanggakan, namun patut bersyukur.
Yang ada di
benak, sekelumit tanggung jawab dan cuntel setahun. Huft.
Dan malam sebelumnya, dengan HP Samsung Champ kecil yang kau
pinjamkan sepenuh arti, kugunakan untuk bersimpuh meminta pendapat pada dua
malaikat bersayapku. Aku berlinang. Antara belajar dan organisasi. Bismillah,
tawakkaltu ‘ala Allah. Lagi pula, berjuang bersamamu juga. Aku ingat, tawaran
kepala bidang padamu, kau suguhkan untuk partnermu. Kau khawatir, kiper andalan
muin. Haha
Aku dengan IPM ku, yang berusaha sok kerja walaupun
abal-abal, menyita sebagian besar waktu dan konsentrasi. Sementara jam
terbangmu kian meninggi. Kau dipercaya dimana-mana, bersaing dengan rekan
sekaligus (pernah) rival (mendapatkannya) seperjuangan, demi posisi line-up.
Dalam kesibukan kita yang berbeda ranah, sore menjelang
senja sukses menjadi perantara untuk mempertemukan kami. Curahan hati tentang
perfommu, perkembangan teman-teman, fisikmu, sangat hangat ditelinga. Sesekali
kau minta diinjak kakimu demi sit-up lancarmu. Laa haula wa laa quwatta illa
billah. Aku hanya bisa mengenang sore-sore yang lalu itu, tanpa bisa mengulang.
Menjelang selesai.
Kita hampir usai. Sudah diusia senja. Dimasa ini kita intim
sebab pertukaran kisah kian intensif. Kau, yang selalu minta waktu untuk
menumpahkan—betapapun aku sadar tidak aku saja yang menjadi hilirmu—unek
seringkali kutangguhkan. Maafkan aku.
Disuatu pagi, ketika kita berjalan seiring menuju sekolah,
kau mengeluhkan tentangnya. Terlalu terikat, kadang merusak fokus, kadang
menggelora, kadang rindu. Dengan (sok) bijak, aku menimpali
“Kadang, kita memang harus meninggalkan apa yang kita
sayang. Demi kebaikan kedepanya,”
Kau terdiam. Tersenyum simpul.
Tidak lama kemudian, aku berkelakar.
“Rindu sibuk. Waktu selo justru bikin tidak produktif. Hapean
terus. Kok kangen IPM ya?”
Dan dengan spontan (atau memang niat balas dendam), kau
ringan berkata
“Yo kui, terkadang juga kita tidak dapat melepas begitu saja
apa yang kita sayang”
Atas izin Allah, Teman, perbincangan pagi itu tidak akan terlupa.
Dikesempatan lain, selalu sama engkau minta waktu bercerita.
Menyempatkan send personal chat. Aku agak males, awalnya. Opobanget, laki-laki
kok chat curhat. Ketemu kek. Dan seterusnya. Sampai-sampai, aku tersadarkan.
Aku insaf. Sampai detik ini, engkaulah
teman hebat yang memaknai pertemanan dengan mendalam. Menjalin hangat hubungan
personal dengan siapapun. Bagimu, semua temanmu istimewa. Dan bagi kami,
perlakuanmu membuat kami teristimewakan. Terimakasih. Aku banyak berguru dalam
hal ini.
Lalu, bersama simbah faisol, kita bertiga berjuang menggapai
mimpi. Simbah dengan IPB nya, kau dengan akuntansi UGM/UNAIR mu, dan aku dengan
Al Azhar. Kita berlajar sampai larut di teras kecil depan kamar, dimana angin
malam dan lampu pijar warga yang mewarnai langit, menjadi teman kita. Setiap
malam. Tahajud juga kita saling membangungkan. Terutama kau. Barangkali suatu
saat, di tempat nan jauh sana, aku akan rindu pesanmu setiap malam yang rajin
mampir hangat di
telingaku, “dan nek tangi, tangekke,”. Allahu :”))
Bersamamu juga, kita membeli kertas minyak dan karet di
warung kelontong depan popeye. Demi (pragmatis awalnya) hajat kita, dan tentu
lenyapnya lapar pada perut saudara-saudara kita di sekitaran pembungan sampah
sana. Aku menaruh harap serta doa, dimanapun kaki kita berpijak esok, semoga
yang demikian tidak berhenti dan tetap selalu diperjuangkan. Aamiin
Ah, terlalu banyak.
Belum lagi perbincangan sejam kita di serambi masjid 2 hari
sebelum pengumuman SBMPTN. Permintaan tolongmu untuk dibukakan, yang lebih dari
dua kali, dan selalu merah ketika kubukakan. Kunjunganmu kerumah. Meramaikan
masjid rumahku, yang satu hari setelahmya namamu ditanyakan seorang anak, “Mas
Fatur nendi mas?”, dan banyak lagi tentunya.
Klimaksnya, pada perjalanan doamu. Yang begitu panjang,
berat, pasang-surut, sampai hendak pasrah menimpali benakmu, Allah menunjukkan
kuasanya. Membuktikan janjinya. Mengajarkan kita, jangan pernah berhenti
percaya.
Laa haula wa laa quwwata illa billah
***
Akhirnya, pada perpisahan sementara yang mungkin meminta
waktu yang lama, kusampaikan terimakasih dari hati yang jauh dari bersih. Atas
pertemanan yang tulus, hangat, dan mengesankan. Aku belajar banyak hal
tentangmu, terutama dalam pemaknaan pertemanan. Selalu istimewa, dan
mengistimewakan kami.
Terselip doa, walaupun belum sempat terucap saat melepas,
semoga senantiasa dalam lindungan dan hidayah Allah. Senantiasa menapaki
ikhtiar melalui perjalanan spiritualitas, memiliki keberpihakan pada kaum
tertindas, dan memperbaiki diri sehingga pantas, ketika waktu meminta kita
menghadapNya.
Fii Amanilah, semoga selamat sampai tujuan.
Allah Yubarrik Fiik, Zaky faturrahman Ruslan.
Ketika surya tenggelam
Allah Yubarrik Fiik, Zaky faturrahman Ruslan.
Ketika surya tenggelam
Bersama kisah yang
tak terungkapkan
Mungkin bukan waktunya
Berbagi pada nestapa
Atau mungkin kita yang tidak kunjung siap
(Payung Teduh : Kita adalah Sisa sisa Keikhlasan)
Mungkin bukan waktunya
Berbagi pada nestapa
Atau mungkin kita yang tidak kunjung siap
(Payung Teduh : Kita adalah Sisa sisa Keikhlasan)
Yogyakarta, 25 Juli 2017
0:53 WIB
0:53 WIB
Salam Hormat,
Hidanul Achwan
Hidanul Achwan
Komentar
Posting Komentar