Belajar dari Kyai NU(2)

*lanjutan*

___________________
Rupanya suara saya lebih dulu keluar, tanpa sedikitpun maksud menyela beliau.

“Nggih tapi mboten sedoyo ngoten to ustad? Bagaimanapun nek sak niki gelar nggih penting kan?”

Lagi-lagi beliau tersenyum melihat saya mengelak.

“Nggih monggo mpun Mas, nek kulo mboten. Sak niki sedikit Mas orang yang bergelar sarjana, master, apalagi doktor, bersedia untuk sekedar mengajar ngaji TPA anak-anak padahal waktunya kosong, mengasuh pesantren, atau setidaknya membimbing masyarakat langsung. Baik itu gengsi atau kesibukanya dengan penelitian, WaAllahu a’lam saya tidak tahu,“

Hmmm. Sebenarnya saya tidak begitu mengiyakan, walaupun memang ironis. Semua kan berjuang di ranah masing-masing. Kalau semua mengajar ngaji, mengasuh pesantren, terjun di masyarakat, siapa orang kita yang jadi pemimpin di tingkat atas? Siapa yang akan lantang berjuang membasmi koruptor?  Siapa yang akan memperjuangkan keadilan dan kebenaran dalam konstitusi? Atau jangka panjangnya, bagaimana masa depan umat islam di Republik ini?

Pikiran saya berkecamuk. Ada pertentangan-pertentangan batin. Memilih berjuang di ranah mana?

Satu sisi ingin bergerak di akar rumput masyarakat langsung. Walau tidak tenar betul dimata manusia kebanyakan, dimata Allah insyaAllah mulia. Sebab lebih terjaga dari godaan-godaan nikmat dunia. Di sisi lain, ada keinginan menjadi orang besar yang dapat memperjuangkan islam atau bahkan indonesia menuju ke arah lebih baik.

Akhirnya, dengan perlahan dan hati-hati agar tidak menyakiti hati, saya coba sampaikan sehalus dan setulus mungkin saya punya gelisah. Harap-harap dijadikan cerah.

“Nuwun sewu ustad, nek seperti njenengan kan dalam bacaan saya memilih berjuang di akar rumput begitu nggih tad, dengan masyarakat langsung. Nah, sementara ada keinginan dari saya pribadi untuk memilih perjuangan di ranah atas ngoten, maksud saya gara-gara baca buku biografi tokoh-tokoh besar, saya terpanggil juga untuk menjadi seperti M. Natsir, Hatta, HOS Cokroaminoto, dan tokoh-tokoh nasional lainya ngoten,”

Beliau manggut-manggut, lalu seperti akan menimpali.

“Selain dapat turut serta menyelesaikan permasalahan bangsa atau bahkan memajukannya, mereka-mereka justru ketika sekalinya turun kebawah ‘kan malah dapat memberikan bantuan yang skalanya lebih besar ngoten. Pripun kira-kira ustad?” saya sela dan selesaikan dahulu ucapan saya.

Matahari jum’at saat itu terik, namun tak tertarik membakar kami. Di serambi masjid, kesejukan serta semilir meneduhkan tidak hanya jasad namun relung-relung hati kami. Mm, atau mungkin lebih tepatnya saya sih. Faktor dekat dengan orang soleh. Adem gitu, hehe.

“Nggih sak niki ngeten Mas,”jawab beliau, “ Membayangkan berada di jabatan strategis tingkat atas, betapapun berat tantanganya, tentu siapapun menginginkanya. Ekonomi meningkat, link dimana-mana, dapat popularitas lagi, bisa terkenal dimana-mana. Kalau dibandingkan dengan berjuang dibawah, tentu jauh ennak diatas mas. Nek secara dunia lho Mas. Neng nggeh selain mpun terlanjur nyaman, yang saya takutkan soal ikhlas. Saestu Mas, menawi diparingi berbagai gelar, jabatan, utawi terkenal di penjuru tanah air ngoten, saya ndak tau saya bisa ikhlas tidak...  Saya ndak tau apakah tujuan saya dapat murni untuk akhirat, atau sudah terkotori tujuan-tujuan duniawi...“jawab beliau panjang.

Dugaan saya sejak awal tidak meleset. Mana mungkin sekaliber beliau tugas skripsi tidak selesai. Barangkali sudah merupakan pilihan, bukan sebab keputusasaan. Dan ya, sederhana alasanya. Ikhlas. Ikhlas.

Di tengah beliau bertutur, seorang bapak-bapak datang menghampiri. Menyalami beliau sambil cium tangan. Khas budaya NU. Takzimnya luar biasa. Mungkin ini jama’ahnya.  Setelah basa-basi penghormatan, bapak tersebut meminta diri. Sempat terbersit, ‘salam cium tangan ndak ya nanti pas pamitan?’ Hoho. Serius. tapi ya sudahlah, urusan belakang itu.

 Beliau sempat terbatuk-batuk. Lalu melanjutkan.

“Buat apa kita khawatir dunia, padahal rezeki tokh sudah Allah atur kendatipun tetep harus berusaha. Allah kan sampun ngendiko, ‘wa maa min dabbatin fil ardi illa ‘ala Allahi rizquha’(Hud:6). Tidak satupun makhluk yang bergerak dibumi ini, melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Loh mas, dunyo ki wes ono sing njamin. Kalau kita memperjuangkan agama Allah, insyaAllah dicukupkan rezeki kita. La sak niki, akhirat siapa yang menjamin? Mboten enten Mas. Nggih kito piyambak yang menentukan..”

Allahuu. Ini seperti mencerahkan dan menyejukkan mungkin, namun bagi saya sejatinya sangat menusuk. Saya benar-benar tertohok sekaligus malu terhadap diri sendiri.
Adakah selama ini obsesi-obsesi untuk berjuang sampai ranah atas ialah murni demi akhirat, atau hanya sebab kenikmatan-kenikmatan dunia saja? Sungguh hanya hati yang dapat menjawab. Dan kalau boleh jujur, terlalu berat untuk tidak mengakui tidak.

Sungguh, saya hanya terdiam tanpa kata-kata.
Banyak betul yang harus saya benahi. Lalu, beliau bercerita tentang banyak hal lain. Pengalaman jadi pembimbing haji, bertemu  orang miskin yang diduganya waliyullah sebab ketawadhu’anya, pesantrennya, dan banyak hal lainya lagi, yang kalau ditulis semua, saya yakin pasti saya males. Ehehe. Doakann. Butuh selalu dorongan.

Akhirnya, perjumpaan jum’at siang itu disudahi dengan kedatangan murid beliau yang menyampaikan ada tamu di rumah. Baik, saya sadar saya yang harus mengakhiri. Setelah berterimakasih tiada terkira atas segala-galanya, maaf saya sertakan atas waktu yang tersita hanya untuk orang seperti saya.

Barangkali kalau khotib lalu jama’ah Muhammadiyah, tiada ketertarikan pada saya untuk berdialog. Sudah biasa mungkin ehe. Namun sungguh, bermula dari iseng dan penasaran serta bermodalkan nekat, saya menuai banyak hikmah serta pelajaran. Puji syukur hanya milik Allah. Diakhir, saya berpamitan sambil menjabat tangan beliau. Ya, saya menjabat tanganya tanpa menciumnya.

Entah, saya menyesal sendiri belakangan. Memang bentuk ta’dhim tidak melulu dengan cium tangan. Namun apa salahnya cium tangan kalau denganya rasa hormat kita kian bertambah dan denganya pula kita menyenangkan hati orang yang layak kita hormati?

Saya sendiri pun belum dapat betul melakukan, setidaknya hal lain yang kurang lebih serupa boleh kita lakukan. Dengan menempelkan tanganya di dahi kita, misalnya.  WaAllahu a’lam.

Klaten,
4 Juli 2017 / 10 Syawwal 1438 H
Regards,
Hidanul Achwan
 

Komentar

VIEWERS

Postingan Populer