Belajar dari Kyai NU(1)
Ketika lantunan azan bergaung merdu siang kemaren(30/6), langkahku sedikit diburu waktu untuk segera sampai masjid sebelum khotib berbicara. Saya mematung sesaat ketika salam khotib baru disampaikan selepas azan. Tidak biasanya dua kali adzan. Barulah saya mengerti tatkala masuk masjid, khotib yang bertugas ialah Tokoh Kyai NU masjid sebelah. Muadzin sudah sepaket, murid Sang Kyai. Saya tersenyum simpul. Perbedaan khilafiyah fiqh tidak begitu dipersoalkan, walaupun mayoritas jama’ah Muhammadiyah.
Di Masjid NU biasanya adzan Jum’at dilafalkan dua kali. Ini mengikuti ijtihad Khalifah Usman bin Affan ketika pemeluk islam saat itu kian banyak. Adzan pertama untuk memanggil umat islam segera bergegas meninggalkan pekerjaan atau dagangan, lalu adzan kedua tanda khotbah akan dimulai. Sementara pendapat Muhammadiyah adzan hari jum’at satu kali saja sebab saat ini sudah ada pengeras suara dan jam, selain mengikuti apa yang dilakukan rasulullah dahulu. Keduanya tidak salah selama mengetahui dasar mengamalkanya.
Sambil duduk khidmat, saya menikmati penuturan khotib. Bahasa kromonya mengalir, enak didengar, lugas, namun maknanya dalam. Diam-diam sudah lama saya mengaguminya. Ustadz ‘Alim—biasa beliau dipanggil—ialah Kyai sekaligus pemimpin pondok pesantren NU satu-satunya didesa saya. Pribadinya santun, tawadhu’, dan mudah bergaul dengan siapapun, termasuk kami yang Muhammadiyah. Pantas saja jama’ahnya ramai dan selalu setia menghadiri pengajianya.
Di jum’at pertama bulan Syawwal ini beliau menuturkan tentang pentingnya bersyukur kepada Allah atas segala nikmatnya, terutama nikmat iman. Selain itu, anjuran untuk banyak-banyak melakukan sujud syukur juga beliau tekankan. Tidak hanya dalam momen tertentu, padahal nikmat Allah terus mengalir tanpa putus.
Secara tiba-tiba saja saya punya kepala dihujani pertanyaan-pertanyaan. Beliau dulu mondok dimana? Seusia saya sudah bisa apa? Kuliah dimana? Ambil jurusan apa? Dan segelintir lainya. Rasa penasaran seperti datang tak diminta. Halah paling juga surut lagi nanti, pikir saya.
Khutbah ditutup dengan doa panjang. Lalu kami mendirikan 2 rakaat berjama’ah diimami beliau. Setelah salam, setiap hamba sibuk dengan dirinya. Berpasang-pasang mata terpejam sambil berkomat-kamit.
Doa saya belum selesai sebenarnya, namun tatkala meluaskan pandangan sosok Ustad ‘Alim beberapa meter saja didepan saya. Penasaran saya kembali naik pitam. Ingin menyapa namun terus terang belum pernah ada percakapan sebelumnya. Belum lagi kalau buru-buru beliau ada kewajiban lain. Akan tetapi pertanyaan-pertanyaan tadi terus mendesak ingin dipuaskan. Saya gemetar. Iya tidak ya? Ah, lain waktu mungkin lah.
Sekian detik setelah hati saya berkeputusan tidak, panas dingin menyergap. Hati kecil berbisik kencang, “Ngko gelo ra kelakon!”. Saya kembali ragu. Disatu sisi ingin bercakap memuaskan penasaran, namun disisi lain tidak mengerti akan memulai dengan apa. Bisikan hati kecil kian lantang menjelma teriakan-teriakan. Saya tidak tahan! Apapun yang terjadi, harus ada perbincangan!
Pokoknya nekat gitu, asal berani nyalamin, minta waktu untuk ngobrol sedikit-sedikit.
Saya awali dengan memperkenalkan diri putra Bapak Jupriyanto, lalu basa-basi ala orang jawa. Kemudian barulah saya tumpahkan segala penasaran saya, dengan embel-embel minta saran terkait fakultas dan jurusan yang akan saya tempuh.
Believe or not, 30 menit lebih ternyata perbincangan kami berlangsung. Puji syukur hanya milik Allah. Saya panen hikmah, ilmu, dan wawasan dari beliau. And as u knew, hanya modal nekat dan waton kendel.
Saya hanya manggut-manggut setelah mengerti beliau lulusan Pondok Gontor Ponorogo. Pantas saja kuat bahasanya. Kemudian dengan halus beliau sampaikan kalau lanjut di UMS Fakultas tarbiyah, dan belum lagi kembali kesana, pasca penugasan skripsi. Namun jangan salah, kedalaman ilmunya siapapun di desa saya tidak ada yang meragukannya.
Disela-sela obrolan, keluar celetuk beliau yang memantik saraf berontak saya.
“Terus terang Mas, saya kurang respect dengan teman-teman yang kuliah di Al Azhar sekarang. Bukan maksut menggemboskan semangat, namun coba dilihat dari banyaknya alumni sana yang kembali, apa aktivitas mereka dirumah? Sedikit mas, yang mau kembali ngajar ngaji. “
“Kuliah di Indonesia banyak dan bagus-bagus, untuk apa jauh-jauh kesana sementara justru kita malah jauh dari masyarakat kita sendiri? Yang terpenting kan kita bermanfaat buat sesama manusia. ” lanjutnya.
Pernyataan beliau ada benarnya, namun tidak lekas saya mengangguk. Saya coba menyanggah, setidaknya menjadikan pembicaraan makin menarik.
Saya ceritakan kalau dulu diwejangi ustadz di Muallimin (Ust Zaini Munir) untuk menuntut ilmu setinggi mungkin sampai doktor atau professor. Juga saya kutip alasan Prof. Syamsuddin Arif untuk menjajal studi di Barat. Intinya sama, legitimasi. Mungkin gelar sarjana, master, atau doktor secara idealis tidak penting, sebab tokh ilmunya yang utama. Namun kita hanya akan ditertawakan ketika mencoba menyanggah pemikiran profesor liberal misalnya, bila pada kita tidak ada legitimasi untuk berbicara. Itu coba saya sampaikan sehalus mungkin.
Beliau tersenyum, lalu menimpali
“Nek saya Mas, mpun sing penting legitimasine Gusti Allah mawon. “
Saya tercekat. Perlahan satu tetes embun seperti membasahi hati saya. Nyesss. Adem tenin.
“Nek kulo pesen kaleh panjenengan, jurusan nopo mawon mboten masalah. Sing penting niatipun diluruskan. Belajar itu harusnya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bukan untuk gelar LC, Master, atau Doktor yang selanjutnya biasanya, ‘nuwun sewu’, hanya mau mengajar di tempat yang amplopnya tebal. “
Saya mulai faham Ustad ‘Alim memposisikan dirinya. Ini memberikan satu pandangan bagi saya, atas kegelisahan atau boleh jadi dilematis saya dan mungkin beberapa teman seusia saya, perihal : Kelak, apakah memilih ranah berjuang di akar rumput yang jelas tidak mudah namun terasa langsung manfaatnya di masyarakat, ataukah mencoba sedapat mungkin berjuang dalam ranah yang lebih tinggi seperti di struktural pemerintahan atau struktural ormas skala pusat, misalnya?
Lama saya termenung, beliau menambahkan,
....................................................................
*bersambung*
Komentar
Posting Komentar