#JurnalRamadhan4 : Agamis atau Nasionalis? (2)

                                
Ibarat mendapat wangsit, saya merekah setelah secercah ide muncul untuk menjadikan ramadhan berwarna dan penuh makna. Perpustakaan. Bukan dirumah atau di sekolah, melainkan di kabupaten atau kota tempat saya tinggal. “Kantor Arsip dan Perpustakaan” namanya, yang lagi-lagi baru kali pertama ini saya berkunjung sejak 17 tahun resmi menjadi manusia.

Seperti kata teman saya, tempatnya ‘ndelik’ dan sepi pengunjung. Saya harus masuk kantor kelurahan dulu untuk kesana, setelah 5-6 tukang parkir tidak satupun tau lokasinya. Bangunanya kecil, wi-fi ada, namun koleksi bukunya tidak banyak, pun hanya buku-buku lawas. Nampak sunyi bahkan sedikit angker. Miris.

Miris saya makin teriris manakala tidak satupun pelajar saya dapati. 9 orang total pengunjung siang tadi, 2 membaca koran, (hanya) satu membaca buku, sisanya anak kecil sekitar yang (numpang) memanfaatkan komputer untuk bermain game. Hiks.

Ah, andai doa Pak Dahlan Rais pada saya dikabulkan, sungguh akan saya pindah kepusat kota berikut kemegahannya sekelas Grha Saba di DIY, lalu meresmikannya sebagai seorang Bupati yang peduli, cerdas, dan berwibawa. ehehe

Dimanapun Tuan berada, doa saya semoga perpustakaan daerahnya mendukung untuk pencerdasan anak bangsa.

Baik, sebagaimana dalam tulisan saya sebelumnya, boleh difahamkan bahwa dari perspektif sejarah tidak ada yang perlu disoalkan antara Islam dan Pancasila. Islam tidak bertentangan dengan Pancasila begitu sebaliknya. Maka sungguh tidak berdasar pemahaman yang membenturkan Islam dengan Pancasila, sebab nilai-nilai dalam Pancasila terdapat pada ajaran Islam.

Namun, tidak sedikit dari kita yang meletakkan Pancasila dan Islam pada dua kutub yang berbeda. Hal ini adalah sebuah kekeliruan atau boleh dikata pengeliruan pihak tertentu.

Praktek nyatanya sangat nampak pada Peristiwa Pilkada DKI Jakarta lalu. Umat terpecah menjadi dua kubu, mendukung atau menentang cagub Ahok. Sebagaimana Salahudin Wahid menulis di Kompas, kubu yang mendukung dianggap anti islam dan munafiq, sementara pihak penentang dianggap anti-indonesia, intoleran, dan anti kebhinekaan. Yang satu merasa “paling Indonesia”, satunya mengaku “paling Islam”.

Terlepas dari polemik tafsir Al-Maidah ayat 51, realita yang tidak dapat dipungkiri ialah sengketa politik perebutan kekuasaan. Dalam skala global, ada pihak asing yang ingin memasung kedaulatan Indonesia. Dampaknya merembet pada stigmatisasi umat islam di ruang publik, bahkan oleh sebagian umat islam sendiri.

Kelompok yang memilih tidak pada pemimpin non-Muslim berdasar agama dianggap intoleran. Arus aspirasi umat islam yang menuntut keadilan dikatakan primordialis. Dan orang-orang yang menyertainya dicap radikalis dan ekstrimis.

Agaknya, apa yang pernah disampaikan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haidar Nashir, dalam Koran Republika(27/11) akhir tahun lalu perlu kita renungi bersama,

Ketika terdapat arus aspirasi umat Islam untuk memperoleh hak dan keadilan, sungguh bukanlah primordialisme. Aspirasi itu ekspresi yang wajar, lebih-lebih salurannya demokratis dan konstitusional. Jangan pandang Islam di negeri ini sebagai ancaman keindonesiaan dengan segenap pilarnya.” (‘Indonesia Siapa Punya’, 2016)

Juga apa yang pernah ditulis oleh tokoh NU, K.H. Saifuddin Zuhri, dalam makalahnya tentang Piagam Jakarta :

Hanya saja, tiap-tiap dihadang oleh kekuatan yang hendak menghambat Islam, maka orang-orang islam menjadi bangkit semangatnya untuk mempertahankan keyakinan mereka. Hal demikian itu adalah konsekuensi logis dan bukan radikalisme apalagi ekstrim.” (K.H. Saifuddin Zuhri, 1982)

Kalau dicermati lebih mendalam, sungguh stigmatisasi terhadap umat islam sebagaimana diatas, ialah pernyataan sembrono yang tanpa dasar.

Maka sekali lagi, tidak ada yang perlu dipertentangkan antara menjadi agamis (dalam hal ini, islam) dengan nasionalis. Tidak perlu berapi-api menyebut diri sebagai seorang ‘nasionalis sejati’. Dengan kita menjadi muslim yang taat dan bersih hati, maka secara otomatis nasionalisme kita tidak diragukan. Kecintaan umat Islam pada Nusantara sedari dulu selalu terbukti serta terekam oleh fakta sejarah.

Ki Bagus Hadikusumo, Panglima besar TNI yang dalam setiap gerilyanya tidak pernah absen untuk sholat dan melantunkan Al-Qur’an, tidak perlu dipertanyakan kecintaan pada tanah airnya. Berdirinya Hizbul Wathan atau Pasukan tanah air tahun 1918  juga merupakan contoh kepeloporan bela bangsa kala itu, sebagai jihad fisabilillah (Haidar Nashir, 2016), dan banyak contoh lainya lagi.

Sebagai tambahan, hasil rumusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, 3-7 Agustus 2015 boleh kita renungkan kembali. Bahwa Muhammadiyyah menegaskan negara Pancasila sebagai darul ‘ahdi (negara perjanjian) sekaligus darusy syahadah (negara kesaksian).

Untuk menutup, saya teringat ustadz yang membuat netes saya punya air mata karena kerinduan mendalam padanya, ketika terbangun dipagi hari pertama (sudah) tidak sekolah lagi. Siapa lagi kalau bukan beliau, Ustadz Zaini Munir. Sosok peneguh sekaligus pembentuk, pribadi dan pemikiran saya.

Suatu ketika di pelajaran Aqidah, dalam ruang kelas masjid (sumpah, ingin nangis saya menulisnya :’’ ) beliau mengajak kami menyanyikan lagu ‘Padamu Negeri’ dengan kata ‘Allah’ yang menggantikan frasa ‘Negeri’. Pecahlah seketika senyum bingar kala itu, lalu dilanjut dengan tausiyah penyejuk hati penguat Aqidah ala beliau. Ah Guru, saya rindu.


Diselesaikan di tempat yang sama, Ruang kerja baru/
00.10 WIB
Klaten, 5 Ramadhan 1438 H

Salam,
Hidanul Achwan









Komentar

VIEWERS

Postingan Populer