#JurnalRamadhan1 : Ilmuwan atau Pemikir?


Setelah selesai membaca tulisan saya tentang ‘Risalah Hangat untuk Keluarga 2017” kemarin, salah seorang teman berkelakar : Harusnya membuat planning khusus sebelumnya untuk ramadhan, supaya berbeda rasa daripada biasanya. Ia sampaikan dengan sedikit nada sesal. ‘Tertohok’ katanya, hehe. Hmm oke oke. Ini menarik sebetulnya.

Ketika itu, saya menulis kira-kira demikian : mengetahui yang akan bertamu ialah seorang  mulia, tentu dibutuhkan ‘list to do’ secara khusus, mengingat istimewanya  tamu. Lalu dalam benak saya, barangkali teman saya tadi membaca beyond the texts. Ia memaknai si penulis sudah barang pasti memiliki planning khusus dalam mengistimewakan Ramadhan.

Benarkah demikan? Jan-jane ndak juga sih, wkwkw. ‘Ala kulli hal terimakasih sudah berhusnudzon :)

Berbicara fasih perihal apa dan bagaimana pada perbuatan dan keadaan di masa mendatang, sungguh bukan pada tempatnya mengalamatkan saya. Dibutuhkan ketajaman dalam berfikir dan keluasan dalam bacaan, khususnya wawasan sejarah. Ini mengingatkan saya pada  obrolan ‘hangat’ di suatu sore hari ( saya masih ingat, Kamis 5 Oktober 2016) ketika semburat merah mengisyaratkan perpisahan matahari dengan hari itu, dalam perhitungan Hijriah.

Sambil makan di satu tutup termos untuk berdua, saya berbicara dengan seseorang yang—lagi-lagi harus penuh emosional hati saya untuk menuliskanya—dipenghujung kelulusanya, telah sempurna menyalakan obor didalam saya punya hati.

Ya, orang itu lagi. Arifi namanya, yang telah mempersembahkan satu buku berbobot untuk Muallimin khususnya dan peradaban ilmu secara umum melalui tangannya. Sebagaimana biasanya, kami ngobrol buku, isu keislaman, politik, indonesia, masyarakat, dan banyak hal lainya.

Sampai pada pertanyaan cita-cita, jawabanku menjadi Guru Besar Studi Fiqh Syariah saat itu “dilecehkannya”. Itu bukan cita-cita, katanya. Kemudian ia memaparkan akan menjadi seorang pengusaha besar dan mendirikan lembaga pendidikan islam semisal dengan Insist-nya Dr. Hamid Fahmi Zarkasy yang concern terhadap pemikiran islam.

Jujur, saat itu saya belum berfikir sedalam itu soal apa yang akan saya lakukan 10-20 tahun kedepan. Belum sampai. Kemana harus saya menaruh perjuangan dengan idealisme tinggi masih berputar pada tataran permukaan. Sebab, bagaimana situasi sosial-masyarakat maupun perpolitikan kelak pasti berbeda dengan sekarang. Ia bersifat dinamis. Tidak mungkin konstan, antara kondisi saat ini dengan 20 tahun mendatang.

“Justru itu yang harus kita prediksi!” selanya kemudian.

Bhak! Ini pukulan telak. Menusuk perih sampai ulu hati.

Memang harus saya akui tanpa gengsi, makhluk satu ini tidak biasa. Ia telah memprediksi bagaimana 50 tahun kedepan keadaan dunia ini berikut apa yang akan diperjuangkanya. Saya pernah mengabadikan sosoknya dalam tulisan ‘Kompilasi Manusia’ beberapa bulan yang lalu :

“Arifi dengan prinsip tegasnya, keras terhadap siapapun manakala saraf asumtifnya diserang pihak lain; sekalipun lebih tua, penentangan akan ditampakkanya. Juga prediksi-prediksi tentang penempatan dirinya di masa depan yang disampaikan dengan gamblang serta penuh keyakinan, yang mungkin dianggap utopis oleh sekalangan orang, namun tidak bagiku. Haqqul yakin, aku percaya dia dapat mewujudkanya.... “ (November, 2016)

Siapa sangka, beberapa jam setelah kejadian sore itu, saya dibuat tersenyum oleh buku ‘Pergolakan Pemikiran Islam’. Terlepas betapapun kontroversialnya, Ahmad Wahib (w. 1973) menulis tentang perbedaan Pemikir dan Ilmuwan. Pemikir ialah orang yang memeras otaknya untuk menemukan apa yang baik untuk masa-depan. Sementara ilmuwan terutama memeras otaknya untuk mengerti kenyataan-kenyataan yang ada.

Berangkat dari pengertian tersebut, barangkali saya saat itu belum dekat pada  pemikir. Cenderung ilmuwan. Walaupun terkesan pragmatis dan terlalu menggeneralisir hehe.

Lalu kembali dengan planning ramadhan, sejujurnya saya juga tidak menciptakan goal-goal definitif sedari awal (sebagaimana teman saya itu membayangkan mungkin), kecuali beberapa pembiasaan habit seperti intensitas baca dan tulis. Selebihnya fleksibel. Saya cenderung senang berjalan dahulu, mengamati dan membaca realitas di sekitar, barulah merumuskan.

Dan keputusan saya memilih kampung halaman sebagai penyambutan ramadhan menemui konsekuensi logisnya.

Di malam pertama ramadhan, saya membaur hangat dengan masyarakat. Mengikuti tarawih, srawung, tadarusan, dan mendekat pada anak-anak. Yang terakhir ini telah membuat netes andai hati saya punya air mata.

Bagaimana tidak? Sementara Ilmu agama, tafsir, hadits, fiqh, telah saya pelajari di Muallimin, anak-anak kecil disekitar saya belum hafal betul rukun islam-iman. Seringkali tumbuh keinginan segera lanjut studi ke luar negeri, sementara disekitar kita anak-anak belum terbebas dari kebodohan. Bukankah sejatinya pendidikan ialah membebaskan?
 
Saya cukup terhentak menjumpai kenyataan tersebut. Betapa akan merasa bersalahnya jika Ramadhan kali ini saya memilih pergi (lagi) dengan dalih mengembangkan diri. Walau bagaimanapun, saya tetap bersyukur kepada Allah atas anugerah pembacaan realitas ini, sekalipun berarti tugas berat menanti.

Sepertinya, saya mensyukuri juga kecenderungan untuk menjadi ilmuwan (dalam pengertian diatas). Setidaknya, mengantarkan kesenangan saya dalam mengamati kepada kesadaran untuk segera bertindak, bergerak, membebaskan!

Jadi Tuan, kira-kira anda ilmuwan atau pemikir?
Apapun itu, semoga tetap dapat mengabdi kepada umat, masyarakat, dan negara.
  
Ditengah kerumunan orang-orang yang butuh uluran tangan-Mu,
RSI Klaten

1 Ramadhan 1438 H







  



Komentar

VIEWERS

Postingan Populer