#JurnalRamadhan3 : Agamis atau Nasionalis? (1)
#JurnalRamadhan3 :
Agamis atau Nasionalis?
Malam tadi, saya terlelalap sekitar pukul 11.57 WIB. 4 menit sebelum satu tulisan, yang merasa terhormat saya membacanya, di publish oleh satu teman yang mengatakan suatu saat mungkin menjadi ‘lawan’. Saya tidak perlu menyebutnya, doa saya padanya semoga kelak ia tetap menjadi tulang keluarga, tidak kalah (gajinya) dengan istrinya. Hehe
Pagi-pagi, setelah menghanyut dengan Kalam-kalamNya, saya biasa
butuh tidur, walau sekejap. Hanya saja, celoteh teman dalam sebuah grup diskusi
organisasi saya semalam, membuat urung untuk kembali terlelap. “dilematis
antara agamis atau nasionalis,” kurang lebih demikian. Jadilah pagi di Ramadhan
tertanggal tiga ini, saya bertamasya dengan berlembar-lembar buku. Mumpung
tidak sibuk, sebagai kalau MH dahulu.
Belakangan, masyrakat kita diramaikan dengan wacana
pembubaran HTI. Ormas yang memperjuangkan ‘khilafah islam’ tersebut dianggap
ingin merong-rong dasar negara Pancasila dengan ideologinya. Para pejuangnya
dikatakan tidak nasionalis, anti kebhinekaan, dan anti pancasila.
Secara sepintas lalu, barangkali diantara kita bertanya
perihal benar-salah terhadap HTI berikut garis perjuanganya. Untuk dapat
menjawabnya, sungguh ilmu saya masih sedikit dan akan rentan pada perselisihan.
Namun, untuk menggeser sedikit kepada “benarkah islam bertentangan dengan
pancasila” agaknya menjadi pembahasan menarik.
Perkenankan saya mengurai, sebegai seorang pembelajar yang
senantiasa siap untuk belajar lagi.
Hubungan antara Pancasila dan Islam tidak dapat ditelusuri
melainkan melalui sejarah. One cannot escape from history. Pada tanggal
22 Juni 1945, disahkanlah Piagam Jakarta (the Jakarta Charter) oleh
panitia khusus (panitia sembilan), yang kemudian menjadi bakal daripada
lahirnya Pancasila. Isi Piagam Jakarta tidak jauh beda dengan Pancasila kecuali
sedikit saja. Itupun setelah ada gesekan beberapa saat sebelum sidang PPKI 18
Agustus 1945, atau beberapa jam pasca lahir rahim negara Indonesia.
Sebagaimana kita tahu, Piagam Jakarta identik dengan
aspirasi islam dimana masih terdapat preambule 7 kata ‘istimewa’ dalam sila
pertama dan kata ‘islam’ dalam syarat seorang presiden di Indonesia. Perumusan
yang ditandatangani oleh kesembilang orang bentukan BPUPKI ini direncanakan
akan menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI.
Kesembilan orang tersebut adalah Soekarno, Mohammad Hatta,
Muhammad Yamin, Achmad Soebarjo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir,
Abdu Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, dan A.A Maramis. Para pengamat politik
biasanya membagi aspirasi politik keempat orang tersebut sebagai berikut :
empat pertama nasionalis sekuler, empat kedua nasionalis Islam, dan terakhir
adalah Kristen yang juga lebih cenderung pada kelompok pertama. (Adian Husaini,
2009)
Tarik nafas dulu Tuan, sedikit panjang. Eman kalo ndak
tuntas, hehe.
Dalam perkembanganya, Piagam Jakarta ditolak oleh beberapa
kalangan ketika sidang BPUPKI, terutama oleh Latuharhary (Maluku) sebagai wakil
Kristen. Kemudian dibalas oleh Agus Salim, Wahid Hasyim, dan perwakilan Islam
lainya. Lalu dibantah balik lagi. Begitu seterusnya. Sampai-sampai, saya yang
hanya pembaca dapat merasakan betapa tinggi tensi persidangan tersebut.
(Perdebatan sengit, bisa baca di ‘Pancasila Bukan untuk
Menindas Hak Konstitusional Umat Islam’ karya Adian Husaini h. 39-45)
Maka dengan penuh perjuangan dan kesabaran Soekarno
menengahi :
“Sudahlah hasil kompromis antara 2 pihak, sehingga dengan adanya kompromis itu perselisihan diantara dua pihak hilang. Tiap kompromis berdasar kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen. Pendek kata, inilah kompromis yang sebaik-baiknya...”
Sampai akhirnya sidang BPUPKI berakhir dengan mufakat dan
Piagam Jakarta ‘ready to use’ untuk pembukaan UUD 1945, sekalipun menyisakan
riak-riak ketidakpuasan dari dua kubu.
Kendatipun demikian,
sungguh rumusan Piagam Jakarta ialah sesuatu yang final. Hasil
kompromistis antara pihak Nasionalis, Islamis, dan Kristen untuk mempersatukan
Indonesia. Bukan keputusan sepihak golongan muslim.
Sampai di proklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17
Agustus 1945 pukul 10 pagi, rencana matan Pembukaan UUD ‘45 adalah Piagam
Jakarta. Hingga muncullah sebuah kejadian, yang oleh M. Natsir disebut sebagai
ultimatum, dimana sekelompok orang perwakilan Protestan dan Katolik dari timur
(kawasan Kaigun) menghadap menyampaikan keberatannya atas anak kalimat “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Mereka mengakui kalimat tersebut memang tidak mengikat
mereka, namun dipandangya sebagai diskriminasi atas minoritas. Dengan kata
lain, mereka meminta agar kalimat tersebut dihapuskan atau mereka akan ‘metal’
dan berdiri di luar Republik.
Mengingat proses permufakatan Piagam Jakarta yang sarat
perjuangan, tidak mudah bagi Hatta—selaku tokoh yang ditemui perwakilan timur—begitu
saja mengabulkan. Dan menolaknya sama halnya dengan membiarkan perpecahan
setelah persatuan. Maka ia meminta waktu untuk mendiskusikanya.
Sejumlah tokoh bangsa dilematis saat itu. Bayi indonesia
yang baru lahir, sudah diancam penyakit yang menyebabkan kecacatan.
Selesai berunding, Hatta mengatakan,
“Supaya kita jangan terpecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.” (Endang Saifuddin Anshari, 1997)
Walaupun ada segelintir orang menyayangkan keputusan Hatta
tersebut, satu hal yang harus diketahui. Bahwa Hatta ialah seorang muslim taat
yang integritasnya tidak diragukan. Tidak pecah kongsi antara lisan, hati, dan
perbuatannya. Ia rela melepas 7 kata dalam sila pertama, demi besar cintanya
pada Indonesia yang baru merdeka.
Syahdan, sidang PPKI 18 Agustus 1945 saat itu merumuskan
dasar negara Pancasila sebagaimana kita hafal sekarang. Dan ini dapat dibaca
sebagai hadiah terbesar umat islam kala itu, sekaligus menunjukkan besar dan
tulusnya komitmen untuk menjaga keutuhan dan persatuan tanah air kita,
Indonesia.
Jadi, antara agamis dan nasionalis? Islamis dan Pancasilais?
Sudah terbaca arahnya ‘kan harusnya, hehe
Sudah terbaca arahnya ‘kan harusnya, hehe
Doakan masih berlanjut besok.
Diruang kerja baru,
13.03 WIB
13.03 WIB
ha ha ha sip semangat bos
BalasHapus