#JurnalRamadhan2 : Perihal Kebahagiaan

Masih di paruh awal Ramadhan, saya iseng memilih jama’ah dzuhur di masjid lain. Walaupun jaraknya terbilang sama dengan masjid biasa saya berjamaah, seumur-umur baru kali ini saya meletakkan kening untuk menghamba disana. Masjid yang sebagian besar jama’ahnya ialah saudara Nahdiyyin, namun dikepalai oleh takmir Muhammadiyah.

Kerukunan dan kehangatan jama’ahnya tidak perlu diragukan. Sekat perbedaan Muhammadiyah dan Nahdiyyin sebagaimana kentara di beberapa daerah, melalui mata kepala saya sendiri, nampak bias dan hanyalah soal perbedaan organisasi dan cara dakwah saja. Tegur sapa saya, dibalas hangat dengan jabat tangan berikut senyuman. Walau tanpa kata-kata, dapat saya baca keheranan mereka seolah berkata : “Tumben solat kene, Mas?”
Hehe.

Lalu saya masuk disambut udara alami siang hari, merambat masuk melalui ventilasi diatas jendela, memamancarkan kenikmatan dalam kesederhanaan. Dari dalam, hamparan sawah hijau memanjang terbingkai indah oleh kaca jendela masjid, tepat didepan saya punya badan sempatkan berdiri. Sambil menanti iqomah, setelah 2 rakaat penghormatan saya persembahkan, berlantun-lantun doa saya panjatkan. Untukku, bapak-ibu, dan mu. Hehe.

Kami solat dzuhur berjama’ah, berbaris rapi seperti bangunan kokoh yang tidak perlu perekat seperti semen, melainkan cukup arahan sang imam, “Sowwu sufuu fakum,”

Sebenarnya, setiap dari kita melakukan gerakan dan bacaan yang kurang lebih sama. Barangkali perihal pemaknaan dan kesadaranlah yang menjadi sebab kadar kebahagiaan dalam solat kita berbeda.

Rasanya, demikian pula dalam hidup. Sejauh dan sepeka apa kita punya hati untuk memaknai dan menyadari, bahwa sejatinya hidup sungguh membahagiakan dan penuh hikmah. Hanya saja, standar-standar kebahagiaan yang acap kali kita buat, menjadi sebab kita jauh daripada keduanya.

Singkat cerita, saya pulang. Kembali ke jalan yang saya lewati semula. Berbalas senyum sapa dengan bapak-bapak yang berpeluh keringat di tengah terik, ibu-ibu bercengkerama dii teras rumah, sesekali ada yang nampak menjahit kain. Beragam ekspresi wajah saya dapati, sebagai modal perenungan hari ini, perihal kebahagiaan.

Saya kadang tidak habis fikir, sebagian banyak orang berharap bahagia dengan keinginan-keinginan yang terlalu muluk. Bisa berangkat kesana, bertemu siapa, mengikuti kegiatan di dimana, dan berbagai mimpi demi berwarnanya ramadhan. Sampai-sampai ketika yang diharap bertepuk sebelah tangan, kita lupa untuk bersyukur masih dijumpakan ramadhan.

Saya pun kadang tidak habis fikir, tidak sedikit orang (kadang termasuk saya) berharap bahagia dengan mencintai seseorang lalu mengharapkan cinta darinya. Berusaha terlihat ‘ada-apanya’ didepanya, memberikan sekuntum perhatian kepadanya. Sampai-sampai ketika harapan tinggalah harapan, kita alfa menyadari bahwa kita masih hidup, ialah perwujudan cinta Tuhan dan orang-orang disekeliling, kepada kita.

Saya juga kadang tidak habis fikir, segolongan besar orang berharap bahagia dengan kenaikan gaji, renovasi rumah, mobil mewah baru, dan kenikmatan pragmatis lainya. Sampai-sampai ketika semua telah ditangan, bahagianya hanya sementara. Lalu gelisah lagi sembari berharap dapat bahagia lagi, dengan standar-standar yang lebih tinggi.

Seampai dirumah, berhubung ketika puasa tidak boleh berkumpul dengan istri, saya memilih bermesraan saja dengan buku. Sebagai pelampiasan, ehehe (Istri lo trii). Dan saya dapati
dalam buku “Tasawuf Modern” karya Buya Hamka, beliau menulis kira-kira demikian :

“Orang fakir mengatakan bahagia pada kekayaan,
 Orang sakit mengatakan bahagia pada kesembuhan,
 Seorang pengarang syair merasa bahagia jika syairnya jadi hafalan orang,
 Seorang jurnalis bahagia jika surat kabarnya dipahami orang,.....” (1939)

Lantas dimanakah kebahagiaan?

Apakah bahagia hanya sebuah relativitas?
Hemat saya, iya, tetapi ndak juga.

Bahagia dekat dengan kita, ada dalam diri kita.

Semoga Tuan selalu dalam kebahagiaan,
Hidanul Achwan

Klaten, 2 Ramadhan 1438 H





Komentar

Posting Komentar

VIEWERS

Postingan Populer