Pergolakan
Semakin hari, pergolakan semakin nyata adanya. Idealisme yang telah dibangun seperti kandas dimakan realita. Hal ini menjadi semakin lengkap dengan perkembangan pikiran yang makin terbuka.
Didalam sebuah Musholla, aku duduk termenung dibagian sisi pojok depan. Ditemani saut-sautan ayat suci indah yang masuk ke dalam telinga. Aku sengaja diam, ketika semua temanku membaca Al-Qur’an. Mendengarkan dan memperoleh tentram. Merenungi setiap langkah yang telah kutempuh. Adakah ini semua hanya kesia-siaan?Kegelisahan bermula dari buku-buku politik dan pemikiran yang kulahap. Membaca setiap langkah para tokoh, menyihirku untuk menjadi seperti mereka. Bagaimana mereka berjuang mempertahankan idealismenya, jatuh-bangun bersumbangsih demi tanah airnya, dan bahkan tak jarang berseteru dengan pemimpin negaranya demi agamanya.
Disinilah letak konflinya, aku tertantang untuk mampu menjadi seperti mereka. Berani berpandangan luas. Tak gentar terjun dalam sebuah lumpur kotor untuk bercita-cita besar bagi bangsanya. Memiliki suatu hal yang besar untuk diperjuangakan. Demi agamanya. Demi negaranya.
Ujungnya satu ; aku tertantang untuk berani terlibat dalam politik.
Ketika aku mencoba menerawang masa depanku bersama politik, semua berasa tidak sinkron dengan strategi akademisku. Aku bermimpi dapat menggeluti agama di Universitas Islam Madinah, dan rasanya bertolak belakang dengan masa depan politikusku, meski sepenuhnya kusadari tiada mustahil.
Di Madinah aku ditempa untuk menjadi alim ulama yang sebagian besar waktunya adalah untuk mengkaji Alqura’an dan Hadits. Menjadi aktivis dalam sebuah pergerakan hanya akan merusak pola yang ada, selain itu hampir mustahil ada di Madinah.
Sedangkan untuk menjadi politikus yang negarawan dibutuhkan “kendaraan” yang mengantar kita kepada arena percaturan perpolitikan. M. Natsir mulai menunjukkan karirnya bersama JIB (Jong Islamieted Bond), Amin Rais yang memimpin Revolusi Indonesia dahulunya juga berkiprah di HMI, Anis Baswedan pun jebolan dari PII dulunya hingga saat ini ia menjadi Cagub DKI.
Dilematis melanda. Idealisme meronta-ronta, bersama dengan rasionalis yang menari-nari menggoda disebelahnya.
Aku sempat mengkonsultasikannya dengan Wadir bagian Kurikulum, Ustadz Moh Lailan Arqom. Beliau menyarankan untuk lanjut studi di malaysia saja, bila ingin mudah mendapat “kendaraan” dan islam tetap dapat didalami dengan baik.
“Kalau kamu ingin berkiprah dalam perpolitikan, kuliah di Madinah tidak strategis.” Beliau menambahkan.
Satu pukulan bersarang telak! Pikiranku semakin berkecamuk.
Apakah impianku belajar ke Madinah sejak lama harus kukuburkan demi keinginan berpolitikku?
Aku memang terkesan belagu dengan keinginan politikusku. Barangkali karena masih sempitnya pemhamanku dengan “benda” bernama politik itu. Tak peduli. Aku tertantang untuk berani mengatasi masalah negaraku. Aku memiliki cita-cita besar tergadap bangsaku!
Dan dalam pada itu semua, aku bukanlah tipe orang yang membiarkan semua mengalir. Aku tidak suka menunggu atau lebih tepatnya pasrah dengan keadaan, aku yang akan menentukan!
Komentar
Posting Komentar