Bagaimana Kondisi Kita Setelah Ujian?
Hampir satu minggu, sejak hari terakhir ujian termin 1 Al Azhar selesai. Banyak hal baru dan pengalaman berharga, mengingat ini pun pertama kalinya bagi saya.
Salah satu quotes termasyhur selama musim ujian,
"Ujian untuk belajar, bukan belajar untuk ujian"
Entah sudah berapa story wa atau status fb saya baca, tidak sedikit yang mengutip dan menjadikan kata mutiara tersebut sebagai motivasi. Nasihat para senior juga tidak jauh dari situ.
Saya sendiri, bahkan sudah lama mengenal dan mencoba menerapkannya.
Saya rasa kita juga mengamini bahkan sama sama berusaha mengamalkannya sekalipun, disadari atau tidak, terkadang yang kita lakukan justru sebaliknya; belajar mati-matian demi ujian.
Diantara hal paling mudah kita sorot dan refleksikan ialah bagaimana kondisi kita pasca ujian. Kabar belajar kita, manajemen waktu, juga ibadah yang sempat kita jaga hebat-hebat.
Sepertinya tidak berlebihan seseorang dikatakan pencari nilai (saja) jika ilmu yang telah dipelajari hilang begitu saja setalah ujian. Kaidah, ta'rif, dalil-dalil yang sebelum ujian mati-matian kita hafal, setelah selesai, selesai pula tugasnya berada dalam otak.
Beruntungnya di Al Azhar, beban menghafal kita banyak. Lebih dari sekedar memahami dan presentasi. Bersyukurnya lagi, yang kita hafalkan akan kita gunakan di masyarakat. Sebagaimana menghafal saja tidak cukup, bersandar dengan pemahaman saja juga tidak cukup. Keduanya seperti dua mata logam yang tidak dapat dipisahkan.
Kecakapan seseorang dilihat dari kemampuan menghadirkan ilmu tersebut secara spontan; mampu menjawab persoalan secara langsung, tanpa buka-buka kitab lagi. Dan itu tidak akan tercapai kecuali dengan menghafalkannya.
Sayangnya, hafalan kita yang usianya masih prematur, tidak kita tumbuh kembangkan. Kita biarkan hanya menjadi maklumat lewat--dengan tidak mengulang-ulang setelahnya.
Lalu, kebiasaan menghidupkan sepertiga akhir malam, mengurangi porsi tidur, puasa sunnah, menjaga baik-baik awal waktu solat, dan kebiasaan indah lainnya, yang selama ujian amat ringan kita tunaikan, setelah selesai, mudah saja kita tanggalkan.
Padahal kita tidak salah, ketika masa ujian mendadak kencang dan rajin ibadahnya. Kita butuh pertolongan, dan kita meminta kepada Allah, dengan cara-cara yang disenangi Allah.
Hanya saja, sekali lagi, bagaimana kondisi kita setelah itu; setelah banyak kemudahan dan keberkahan Allah berikan. Alhamdulillah jika masih dapat terjaga, kalau justru yang terjadi sebaliknya, apakah masih pantas kita dianggap sebagai hamba yang bersyukur?
Padahal, butuh tidak butuh, kita dalam kondisi penantian nilai kita. Sangat bisa sekali lagi, apa yang akan keluar nanti bergantung dengan apa yang telah dan akan kita lakukan kedepan.
Terus terang, ini semua ialah murni kekhawatiran saya, terutama terhadap diri saya sendiri. Mengingat kenyataan bagaimana kondisi saya pribadi setelah ujian. Banyak hal yang seharusnya dapat dilakukan, karena apologis ini itu tidak kesampaian.
Maka tulisan ini saya dedikasikan secara khusus untuk saya sendiri sebagai sebuah refleksi, untuk bisa lebih berbenah diri. Adapun jika terdapat manfaat didalamnya, kita kembalikan segala kebaikan kepada Allah.
Walaupun sejatinya setiap hari ialah ujian, saya selalu bermimpi kualitas hidup saya juga orang-orang disekitar saya seperti halnya ketika masa-masa ujian. Semoga ini bukan mimpi di tengah siang bolong.
Kairo, 26 Januari 2018.
Hidanul Achwan
Salah satu quotes termasyhur selama musim ujian,
"Ujian untuk belajar, bukan belajar untuk ujian"
Entah sudah berapa story wa atau status fb saya baca, tidak sedikit yang mengutip dan menjadikan kata mutiara tersebut sebagai motivasi. Nasihat para senior juga tidak jauh dari situ.
Saya sendiri, bahkan sudah lama mengenal dan mencoba menerapkannya.
Saya rasa kita juga mengamini bahkan sama sama berusaha mengamalkannya sekalipun, disadari atau tidak, terkadang yang kita lakukan justru sebaliknya; belajar mati-matian demi ujian.
Diantara hal paling mudah kita sorot dan refleksikan ialah bagaimana kondisi kita pasca ujian. Kabar belajar kita, manajemen waktu, juga ibadah yang sempat kita jaga hebat-hebat.
Sepertinya tidak berlebihan seseorang dikatakan pencari nilai (saja) jika ilmu yang telah dipelajari hilang begitu saja setalah ujian. Kaidah, ta'rif, dalil-dalil yang sebelum ujian mati-matian kita hafal, setelah selesai, selesai pula tugasnya berada dalam otak.
Beruntungnya di Al Azhar, beban menghafal kita banyak. Lebih dari sekedar memahami dan presentasi. Bersyukurnya lagi, yang kita hafalkan akan kita gunakan di masyarakat. Sebagaimana menghafal saja tidak cukup, bersandar dengan pemahaman saja juga tidak cukup. Keduanya seperti dua mata logam yang tidak dapat dipisahkan.
Kecakapan seseorang dilihat dari kemampuan menghadirkan ilmu tersebut secara spontan; mampu menjawab persoalan secara langsung, tanpa buka-buka kitab lagi. Dan itu tidak akan tercapai kecuali dengan menghafalkannya.
Sayangnya, hafalan kita yang usianya masih prematur, tidak kita tumbuh kembangkan. Kita biarkan hanya menjadi maklumat lewat--dengan tidak mengulang-ulang setelahnya.
Lalu, kebiasaan menghidupkan sepertiga akhir malam, mengurangi porsi tidur, puasa sunnah, menjaga baik-baik awal waktu solat, dan kebiasaan indah lainnya, yang selama ujian amat ringan kita tunaikan, setelah selesai, mudah saja kita tanggalkan.
Padahal kita tidak salah, ketika masa ujian mendadak kencang dan rajin ibadahnya. Kita butuh pertolongan, dan kita meminta kepada Allah, dengan cara-cara yang disenangi Allah.
Hanya saja, sekali lagi, bagaimana kondisi kita setelah itu; setelah banyak kemudahan dan keberkahan Allah berikan. Alhamdulillah jika masih dapat terjaga, kalau justru yang terjadi sebaliknya, apakah masih pantas kita dianggap sebagai hamba yang bersyukur?
Padahal, butuh tidak butuh, kita dalam kondisi penantian nilai kita. Sangat bisa sekali lagi, apa yang akan keluar nanti bergantung dengan apa yang telah dan akan kita lakukan kedepan.
Terus terang, ini semua ialah murni kekhawatiran saya, terutama terhadap diri saya sendiri. Mengingat kenyataan bagaimana kondisi saya pribadi setelah ujian. Banyak hal yang seharusnya dapat dilakukan, karena apologis ini itu tidak kesampaian.
Maka tulisan ini saya dedikasikan secara khusus untuk saya sendiri sebagai sebuah refleksi, untuk bisa lebih berbenah diri. Adapun jika terdapat manfaat didalamnya, kita kembalikan segala kebaikan kepada Allah.
Walaupun sejatinya setiap hari ialah ujian, saya selalu bermimpi kualitas hidup saya juga orang-orang disekitar saya seperti halnya ketika masa-masa ujian. Semoga ini bukan mimpi di tengah siang bolong.
Kairo, 26 Januari 2018.
Hidanul Achwan
Komentar
Posting Komentar