Dibalik Wisuda Akbar VI MAQURAA
Tulisan ini sebetulnya termasuk draft satu bulan lalu yang belum terselesaikan. Sudah lama saya tidak menulis dan selama itu pula saya rindu untuk bisa menulis lagi. Untuk bisa menulis, terkadang saya butuh membaca cerita-cerita inspiratif sahabat-sahabat saya dulu, tapi agaknya sebagian mereka juga stagnan bila tidak banyak kesibukan.
Melalui ini, saya mencoba mengobati kerinduan saya untuk dapat kembali menulis. Pada waktu yang sama, semoga melalui ini pula, saya berharap dapat mengobati kerinduan saya dapat membaca kembali tulisan sahabat-sahabat saya.
_____
Dibalik Wisuda Akbar VI MAQURAA
Kalau ada yang bertanya apa kesibukan yang menghijabi saya dari menghadiri rapat PCIM, mengikuti KSW Games, atau duduk menyimak penjelasan muhadoroh kuliah belakangan, maka rasanya tidak terlalu naif jika saya mengatakan event Wisuda Akbar MAQURAA ialah jawabannya.
Sejak Ustaz Arief memberikan kepercayaan pada saya untuk memimpin proyek majalah, menggantikan salah satu senior yang keluar, maka sejak saat itu rutinitas saya cukup saklek dan monoton; kalau tidak di kantor ya di dalam kamar, dan tentu saja di depan laptop. Bagi saya, dunia majalah dan pers bukan hal baru. Namun bila harus memimpin, saya butuh memutar otak lebih banyak.
Kira-kira sekitar dua minggu lalu, ketika majalah harus segera diusahakan untuk jadi, perlahan rutinitas saya cukup menuntut untuk diteraturkan (untuk tidak mengatakan kacau). Tidak tidur malam, terlalu lama tidur pagi, hafalan stagnan, wirid Alquran juga terbatas. Barangkali ini yang menghijabi saya belakangan dari hal-hal yang saya sebut di paragraf pertama. Namun saya tidak ingin menyebutnya kesibukan, alih-alih beban, lebih tepatnya ialah garis kehidupan yang saya hanya perlu menjalani, menikmati, dan mempelajarinya.
Singkat cerita, setelah melalui berbagai dinamika pembuatan majalah yang acapkali membuat kepala saya serasa ingin pecah, akhirnya selesai juga sekalipun belum maksimal. Karena sejak awal kepanitiaan saya diletakkan di majalah, setelah urusan selesai, di hari H wisuda, saya dapat tugas yang tidak butuh persiapan jauh-jauh hari; media dan peliputan.
Saya mengikuti proses wisuda dengan sewajarnya. Sebagai tim media, tugas saya tidak jauh dari meng-update story instagram dan mewawancara beberapa peserta. Bagi saya tidak ada yang begitu istimewa. Sesekali saya teringat bagaimana dulu prosesi wisuda kelulusan saya. Selebihnya, saya hanya mengalir menyimak beberapa runtutan acara.
Sampai ketika video para hufaz ditampilkan, lalu masing-masing menyampaikan motivasi dan alasan mereka memulai menghafal Alquran, saya coba perhatikan baik-baik. Tiba-tiba beberapa tetes air mata saya mengalir tak tertahankan. Saya seperti belum percaya telah membersamai orang-orang hebat seperti mereka. Menghafalkan sebanyak 600 halaman Alquran yang dulu serasa mustahil dan berat, pelan-pelan berasa mungkin, bahkan sangat mungkin. Saya amat mensyukuri keberadaan saya di MAQURAA.
Lalu saya berpikir, ketika nanti saya di posisi mereka yang di depan, jawaban apa yang akan saya sampaikan? Saya masih belum benar-benar merasa memiliki jawaban yang mantap dan pasti. Sambil berjalan, sambil menghayati. Yang jelas, saya mulai menikmati prosesi wisuda saat itu dengan penuh perenungan sambil mencari-cari refleksi.
Diakhir acara, ketika peserta dan teman-teman lain sibuk mengabadikan momen dengan berbagai foto bersama, saya mencoba memilih menepi; mencari ruang sepi untuk mengais beberapa refleksi. Bagi saya, terlalu larut dalam kesenangan seremonial sering melupakan kita dari kebahagian esensial. Saling bertukar kabar, menyemangati, mungkin saja menyenangkan. Namun tidakkah lebih menyejukkan ketika diam-diam saling mendoakan? Loh? Hehe. Abaikan.
Setidaknya ada dua kejadian selama wisuda berlangsung yang ingin coba saya refleksikan.
Pertama, selama saya di majalah dan menulis berita, hubungan saya dengan Ustaz Arief cukup intensif dan karenanya boleh dibilang cukup dekat. Awalnya sebatas controlling beliau terkait tugas-tugas saya. Semakin kesini, beliau juga bercerita tentang MAQURAA zaman dahulu juga keinginan beliau kedepannya. Dan itu beberapa kali beliau sampaikan dalam komunikasi empat atau enam mata saja, jika ada satu teman saya. Oke, mungkin saya kepedean untuk merasa menjadi murid yang dikader atau kepercayaan. Karena bisa saja beliau melakukan hal ini kepada banyak teman lainnya.
Namun di awal proses berlangsunya wisuda tadi, ketika Bapak Atdikbud Dr. Usman Syihab mengkonfirmasi berhalangan hadir, beliau juga memberi tahu saya langsung (karena mungkin saya berencana meliput beliau). Refleks saya sedikit terkejut. Namun beliau langsung menenangkan, “Ndak papa, nanti kita tetap jalan. Saya sudah biasa seperti ini, dan kita memang harus siap dan membiasakan,”
Ya, saya hanya harus menjalaninya. Satu hal, tidak satupun orang-tua di dunia ini mendidik anaknya, bagaimanapun caranya, melainkan sebab adanya kasih sayang.
Kedua, pertemuan saya dengan salah satu teman saya yang kebetulan diwisuda. Namanya Naufal, secara usia ia lebih dahulu juga matang, dan oleh karenanya banyak bekal yang telah ia miliki. Yang menarik ialah ketika peserta wisuda lain larut dalam kebahagiaan melalui foto bersama, bunga-bunga, coklat, dan segala pernak-peniknya, ia mencukupkan dengan dirinya sendiri.
Tidak ada teman-teman almamater, kekeluargaan, atau siapa saja yang mengajaknya berfoto (atau memang sengaja ia menghindar). Nampak sederhana sekali. Duduk, selesai, pulang.
“Sepertinya terburu-buru, nih? Ada dars (pelajaran) ya?” sapa saya.
“Sebenarnya ada, cuman gak kekejar sepertinya. Saya mau pulang saja,” jawabnya.
Lalu saya mengambil momen untuk sekedar menggali informasi lebih dalam. Sudah lama saya dibuat geleng-geleng ketika duduk satu majelis dengannya di kawakib. Alquran mutqin, hafalan matan kenceng, hari-harinya isinya dars semua. Ternyata memang ia telah selesai Alquran dan sanad hafsnya di Indonesia. Mondok lagi setelah lulus pondok; jauh lebih dulu memulai start.
Dan untuk kesekian kali, kebanggan saya bisa langsung ke Mesir setelah lulus dengan usia cukup muda, benar-benar harus ditanggalkan. Sekiranya saya diberi kesempatan hidup dua kali, tentu saya memilih untuk mematangkan Alquran dan ilmu alat saya di Indonesia dahulu. Tentu saja itu mustahil.
Maka saat ini, tidak ada pilihan lain bagi saya selain berlari mengejar sepayah mungkin, tanpa kenal lelah, sakit, bahkan main-main. Atau jika tidak, harapan-harapan indah yang terangkai dalam bait-bait doa Ibu, Bapak, Adik, juga masyarakat nan jauh disana, hanya akan saya rapuhkan, dengan tangan saya sendiri.
Doakan saya, ya.
Melalui ini, saya mencoba mengobati kerinduan saya untuk dapat kembali menulis. Pada waktu yang sama, semoga melalui ini pula, saya berharap dapat mengobati kerinduan saya dapat membaca kembali tulisan sahabat-sahabat saya.
_____
Dibalik Wisuda Akbar VI MAQURAA
Kalau ada yang bertanya apa kesibukan yang menghijabi saya dari menghadiri rapat PCIM, mengikuti KSW Games, atau duduk menyimak penjelasan muhadoroh kuliah belakangan, maka rasanya tidak terlalu naif jika saya mengatakan event Wisuda Akbar MAQURAA ialah jawabannya.
Sejak Ustaz Arief memberikan kepercayaan pada saya untuk memimpin proyek majalah, menggantikan salah satu senior yang keluar, maka sejak saat itu rutinitas saya cukup saklek dan monoton; kalau tidak di kantor ya di dalam kamar, dan tentu saja di depan laptop. Bagi saya, dunia majalah dan pers bukan hal baru. Namun bila harus memimpin, saya butuh memutar otak lebih banyak.
Kira-kira sekitar dua minggu lalu, ketika majalah harus segera diusahakan untuk jadi, perlahan rutinitas saya cukup menuntut untuk diteraturkan (untuk tidak mengatakan kacau). Tidak tidur malam, terlalu lama tidur pagi, hafalan stagnan, wirid Alquran juga terbatas. Barangkali ini yang menghijabi saya belakangan dari hal-hal yang saya sebut di paragraf pertama. Namun saya tidak ingin menyebutnya kesibukan, alih-alih beban, lebih tepatnya ialah garis kehidupan yang saya hanya perlu menjalani, menikmati, dan mempelajarinya.
Singkat cerita, setelah melalui berbagai dinamika pembuatan majalah yang acapkali membuat kepala saya serasa ingin pecah, akhirnya selesai juga sekalipun belum maksimal. Karena sejak awal kepanitiaan saya diletakkan di majalah, setelah urusan selesai, di hari H wisuda, saya dapat tugas yang tidak butuh persiapan jauh-jauh hari; media dan peliputan.
Saya mengikuti proses wisuda dengan sewajarnya. Sebagai tim media, tugas saya tidak jauh dari meng-update story instagram dan mewawancara beberapa peserta. Bagi saya tidak ada yang begitu istimewa. Sesekali saya teringat bagaimana dulu prosesi wisuda kelulusan saya. Selebihnya, saya hanya mengalir menyimak beberapa runtutan acara.
Sampai ketika video para hufaz ditampilkan, lalu masing-masing menyampaikan motivasi dan alasan mereka memulai menghafal Alquran, saya coba perhatikan baik-baik. Tiba-tiba beberapa tetes air mata saya mengalir tak tertahankan. Saya seperti belum percaya telah membersamai orang-orang hebat seperti mereka. Menghafalkan sebanyak 600 halaman Alquran yang dulu serasa mustahil dan berat, pelan-pelan berasa mungkin, bahkan sangat mungkin. Saya amat mensyukuri keberadaan saya di MAQURAA.
Lalu saya berpikir, ketika nanti saya di posisi mereka yang di depan, jawaban apa yang akan saya sampaikan? Saya masih belum benar-benar merasa memiliki jawaban yang mantap dan pasti. Sambil berjalan, sambil menghayati. Yang jelas, saya mulai menikmati prosesi wisuda saat itu dengan penuh perenungan sambil mencari-cari refleksi.
Diakhir acara, ketika peserta dan teman-teman lain sibuk mengabadikan momen dengan berbagai foto bersama, saya mencoba memilih menepi; mencari ruang sepi untuk mengais beberapa refleksi. Bagi saya, terlalu larut dalam kesenangan seremonial sering melupakan kita dari kebahagian esensial. Saling bertukar kabar, menyemangati, mungkin saja menyenangkan. Namun tidakkah lebih menyejukkan ketika diam-diam saling mendoakan? Loh? Hehe. Abaikan.
Setidaknya ada dua kejadian selama wisuda berlangsung yang ingin coba saya refleksikan.
Pertama, selama saya di majalah dan menulis berita, hubungan saya dengan Ustaz Arief cukup intensif dan karenanya boleh dibilang cukup dekat. Awalnya sebatas controlling beliau terkait tugas-tugas saya. Semakin kesini, beliau juga bercerita tentang MAQURAA zaman dahulu juga keinginan beliau kedepannya. Dan itu beberapa kali beliau sampaikan dalam komunikasi empat atau enam mata saja, jika ada satu teman saya. Oke, mungkin saya kepedean untuk merasa menjadi murid yang dikader atau kepercayaan. Karena bisa saja beliau melakukan hal ini kepada banyak teman lainnya.
Namun di awal proses berlangsunya wisuda tadi, ketika Bapak Atdikbud Dr. Usman Syihab mengkonfirmasi berhalangan hadir, beliau juga memberi tahu saya langsung (karena mungkin saya berencana meliput beliau). Refleks saya sedikit terkejut. Namun beliau langsung menenangkan, “Ndak papa, nanti kita tetap jalan. Saya sudah biasa seperti ini, dan kita memang harus siap dan membiasakan,”
Ya, saya hanya harus menjalaninya. Satu hal, tidak satupun orang-tua di dunia ini mendidik anaknya, bagaimanapun caranya, melainkan sebab adanya kasih sayang.
Kedua, pertemuan saya dengan salah satu teman saya yang kebetulan diwisuda. Namanya Naufal, secara usia ia lebih dahulu juga matang, dan oleh karenanya banyak bekal yang telah ia miliki. Yang menarik ialah ketika peserta wisuda lain larut dalam kebahagiaan melalui foto bersama, bunga-bunga, coklat, dan segala pernak-peniknya, ia mencukupkan dengan dirinya sendiri.
Tidak ada teman-teman almamater, kekeluargaan, atau siapa saja yang mengajaknya berfoto (atau memang sengaja ia menghindar). Nampak sederhana sekali. Duduk, selesai, pulang.
“Sepertinya terburu-buru, nih? Ada dars (pelajaran) ya?” sapa saya.
“Sebenarnya ada, cuman gak kekejar sepertinya. Saya mau pulang saja,” jawabnya.
Lalu saya mengambil momen untuk sekedar menggali informasi lebih dalam. Sudah lama saya dibuat geleng-geleng ketika duduk satu majelis dengannya di kawakib. Alquran mutqin, hafalan matan kenceng, hari-harinya isinya dars semua. Ternyata memang ia telah selesai Alquran dan sanad hafsnya di Indonesia. Mondok lagi setelah lulus pondok; jauh lebih dulu memulai start.
Dan untuk kesekian kali, kebanggan saya bisa langsung ke Mesir setelah lulus dengan usia cukup muda, benar-benar harus ditanggalkan. Sekiranya saya diberi kesempatan hidup dua kali, tentu saya memilih untuk mematangkan Alquran dan ilmu alat saya di Indonesia dahulu. Tentu saja itu mustahil.
Maka saat ini, tidak ada pilihan lain bagi saya selain berlari mengejar sepayah mungkin, tanpa kenal lelah, sakit, bahkan main-main. Atau jika tidak, harapan-harapan indah yang terangkai dalam bait-bait doa Ibu, Bapak, Adik, juga masyarakat nan jauh disana, hanya akan saya rapuhkan, dengan tangan saya sendiri.
Doakan saya, ya.
Crew Majalah Tekad (minus Taufiq, Pahlawan) |
Komentar
Posting Komentar