BRCH (34) : Tentang Waktu

Selasa, 23 Oktober 2018

Kejadian di kuliah hari ini sedikt membuat saya geram.

Kelas hari Selasa mulai pukul 12.30 dengan pelajaran Shorof. Pukul 11.30 saya sudah stand by duduk di mahattah (halte) menanti bus arah Darrasah. Dari Abbas El-Akkad, butuh sekitar 25-35 menit waktu normal perjalanan sampai kuliah. Karenanya satu jam sebelum pelajaran dimulai sebetulnya cukup ideal untuk tidak telat kuliah, sudah dengan pertimbangan menunggu bus, macet, dan jalan kaki. Perhitungan saya memang tidak meleset, pukul 12.25 saya sudah sampai kelas, namun aduh melasnya saya, duktur sudah duduk menunggu di kelas.

Ini yang membuat saya geregetan bukan main. Idealisme untuk tidak masuk kelas kecuali sebelum duktur datang pada hari ini sepertinya harus kandas. Belum genap sebulan, sejak 1 Oktober lalu, hari ini agaknya keadaan memaksa saya untuk kalah walaupun saya sebetulnya tidak terima. Secara perhitungan waktu tentu saja saya tidak telat, dan betapa indahnya bila apologis ini diterima, namun komitmen saya rupanya tidak merujuk waktu. Ya, saya harus mengakui bahwa hari ini saya telat. Dan saya amat menyesal.

Apakah saya berlebihan?

Sebagaimana setiap orang berhak menyuarakan pendapatnya dalam sistem demokrasi, silahkan saja Tuan menilai saya sebebas mungkin. Ahlaan. Toh, saya mencoba tidak peduli apa dan bagaimana kata orang (apalagi yang tidak membangun). Saya hanya mencoba mencari-cari jawaban dari sebuah pertanyaan yang belum saya temukan jawabannya, sekalipun saya sendiri yang membuatnya. 

Terlepas dari itu, ada dua hal yang memotivasi saya melakukan hal ini. Pertama keteladanan Buya Syafi’i Ma’arif. Dalam salah satu laman facebook Ustaz saya, ketika ia menuangkan sebagian keping kisah hidup Buya Syafi’i, saya membaca seseorang berkomentar memberikan kesaksian tentang Buya.

Disampaikan bahwa ketika mengajar di Muallimin dulu, Buya Syafi’i selalu hadir 5 menit sebelum pelajaran di mulai. Jika masuk di jam pagi, beliau langsung ke kelas tanpa mampir ruang guru untuk sekedar meletakkan tas. Komitmen tepat waktu ini bahkan ia pertahankan ketika waktu istirahat, dibanding mimun atau makan di ruang guru, beliau lebih memilih menunggu santri di kelas.

Kedua, kisah Buya Muhammad Abdih, Direktur Ponpes Islamic Center Kampar Riau, yang beberapa waktu lalu berkunjung ke MAQURAA. Saya memang tidak hadir saat itu, namun dari teman saya, suatu komitmen dan keteguhan beliau selama menuntut ilmu saya dapatkan. Beliau tinggal di daerah rubu’ wa nush (butuh 1-2 jam dengan bus untuk sampai kuliah) atau boleh dikatakan tempat tinggal mahasiswa paling jauh saat itu. Walau begitu, prinsip yang beliau pegang ialah selalu berusaha menjadi orang pertama yang membuka gerbang kampus Al-Azhar.

Kedua hal tersebut sekalipun tidak saya dengar langsung dari pelakunya,  sudah lebih dari cukup untuk menampar dan mempengaruhi saya. Hal itu juga me-replika-kan bagaimana kesungguhan dan komitmen orang-orang besar di masa mudanya dahulu, sampai akhirnya mereka layak mendapatkan apa yang ditanamnya saat ini.

Memang hal ini cukup sepele dan tidak juga penentu utama masa depan seseorang, karena ada asbab (sebab-sebab) lain yang jauh lebih vital seperti belajar, mudzakarah, membaca, menulis, berani bergesekan, dlsb. Namun sekali lagi, dari orang-orang besar kita selalu belajar, ada hal-hal luar biasa yang mereka lakukan yang tidak dilakukan oleh orang-orang biasa.

Lagipula, termasuk dari menjaga adab terhadap guru ialah tidak telat dalam pelajaran. Pepatah mengatakan, “Kamu tepat waktu, berarti kamu telat.”
Saya dulu juga telatan kok, tapi ya juga percaya gitu, berubah bukan hal yang susah.

Diusahakan dan dipertahankan lagi yuk! :)

Komentar

VIEWERS

Postingan Populer