Bunga Rampai Catatan Harian (5)
Sabtu, 21 September 2017
Saya masih berkutat dengan buku Wajah Peradaban Barat karya Adian Husaini. Setidaknya empat malam terakhir saya habiskan 1-2 jam di masjid untuk menyelami maha karyanya. Malam ini saya dapat sekitar 60 halaman. Salah satunya tentang pandangan Islam Syed M Naquib al-Attas. Selain itu, penulis juga memaparkan biografi singkat berikut perjalanan hidupnya. Seorang kelahiran Indonesia yang melalang buana dalam pengembaraan ilmu tersebut amat menginspirasi saya. Semangatnya, ketekunannya, karya-karyanya, sampai institusi pendidikan ISTAC—walaupun kini telah ditutup—yang concern terhadap pemikiran dan islamisasi ilmu pengetahuan begitu membuat saya berdecak kagum. Maka jadilah sebuah refleksi hasil perenungan daripada diri sendiri dan terilhami dari pemikiran al-Atas.
Berikut refleksi saya :
Bahwa ilmu bukan semata-mata akliah atau maklumat sahaja—menjulang tinggi oleh lisan; menukik ke dalam lewat tulisan. Mata rantai ilmu berikat dengan budi pekerti, berlandaskan oleh adab, dan melahirkan perwujudan yang sesungguhnya : akhlak.
Dan daripada muara akhirnya ialah timbulnya keinsyafan : “ketakutan” pada Tuhan.
Senin, 23 September 2017
Sebenarnya kalau diibaratkan gelas dimana air adalah semangatnya, maka saya menulis dengan kadar kurang dari seperempat. Saya mencoba mengisi kembali dengan membaca Catatan Seorang Demonstran nya Gie. Sedikit banyak cukup berhasil mengurungkan niat saya menunda menulis sampai besok pagi.
Pagi-pagi menuju ke Mabes PWK PII di Gami’ hendak bantu-bantu kegiatan Batra. Bertemu sesama maba diperjalanan hendak menuju ke tempat yang sama namun saya sembunyikan identitas sebagai panitia. Sesampainya disana saya ditugasi sebagai dirjen pembukaan. Indonesia Raya lancar namun terkendala di mars PII sebab belum mutqin hafal. Haha. Tugas tambahan saya ialah menjadi moderator dalam diskusi panel tentang “Pemuda dan Aktivis Zaman Now”. Sempat ragu menerima sebab audien ialah kawan sendiri bahkan beberapa lebih senior. Tapi saya sanggupi juga. Untuk latihan dan pembiasaan. Sepaket dengan panggung (lagi) dan mengasah wawasan. Hadir sebagai pembicara ialah Mas faris dan Mas Abiyyu. Rasanya kepada Mas Abiyyu saya harus memberanikan banyak membuka ruang diskusi. Wawasannya seluas koleksi buku-buku di kamarnya. Ba’da dzuhur saya pamit hendak talaqqi tahfidz.
Sekitar pukul 14.10 CLT saya berangkat ke muqottom bersama Hidayat dan Makhmum. Sampai ditujuan sekitar pukul tiga. Saya bertemu sesorang kakek paruh baya yang berjalan satu arah. Ia menyapa dan menanyakan kebangsaan saya. “Andunisi ya ‘Amm,” saya jawab. Lalu seketika ia mengacungkan jempol dan menimpali, “Oh, Ahsanunnas”. Saya tersenyum manggut. Dibalasnya demikian pula.
Beberapa kali saya dapati ramai orang Mesir berkata demikian pada saya dan teman-teman. Apa yang membuat orang indonesia istimewa dimata orang Mesir? Belum ada pasti jawaban pada saya. Barangkali perihal pekerti kita yang dikategorikan sopan. Perhaps. Ah, semoga saja.
Dalam talaqqi, menyetorkan hafalan saya cukup kacau. Banyak makhroj dikritik habis-habisan. Bacaan saya pun dicukupkan sebelum waktunya. Beliau seolah kecewa dengan buruk bacaan saya. Beruntung hanya marah yang sampai, belum rotan yang mendarat ditangan maupun paha. Dimintanya saya belajar baik-baik di asrama. Betapa saya sangat grogi dan merasa tidak enak. Dibanding Hidayat dan Makhmu tentu saya amat jauh. Walau demikian, dalam hati saya azzamkan untuk bersedia sakit-sakitan dan tekun dalam menimba ilmu kepada beliau.
Saya masih berkutat dengan buku Wajah Peradaban Barat karya Adian Husaini. Setidaknya empat malam terakhir saya habiskan 1-2 jam di masjid untuk menyelami maha karyanya. Malam ini saya dapat sekitar 60 halaman. Salah satunya tentang pandangan Islam Syed M Naquib al-Attas. Selain itu, penulis juga memaparkan biografi singkat berikut perjalanan hidupnya. Seorang kelahiran Indonesia yang melalang buana dalam pengembaraan ilmu tersebut amat menginspirasi saya. Semangatnya, ketekunannya, karya-karyanya, sampai institusi pendidikan ISTAC—walaupun kini telah ditutup—yang concern terhadap pemikiran dan islamisasi ilmu pengetahuan begitu membuat saya berdecak kagum. Maka jadilah sebuah refleksi hasil perenungan daripada diri sendiri dan terilhami dari pemikiran al-Atas.
Berikut refleksi saya :
Bahwa ilmu bukan semata-mata akliah atau maklumat sahaja—menjulang tinggi oleh lisan; menukik ke dalam lewat tulisan. Mata rantai ilmu berikat dengan budi pekerti, berlandaskan oleh adab, dan melahirkan perwujudan yang sesungguhnya : akhlak.
Dan daripada muara akhirnya ialah timbulnya keinsyafan : “ketakutan” pada Tuhan.
Senin, 23 September 2017
Sebenarnya kalau diibaratkan gelas dimana air adalah semangatnya, maka saya menulis dengan kadar kurang dari seperempat. Saya mencoba mengisi kembali dengan membaca Catatan Seorang Demonstran nya Gie. Sedikit banyak cukup berhasil mengurungkan niat saya menunda menulis sampai besok pagi.
Pagi-pagi menuju ke Mabes PWK PII di Gami’ hendak bantu-bantu kegiatan Batra. Bertemu sesama maba diperjalanan hendak menuju ke tempat yang sama namun saya sembunyikan identitas sebagai panitia. Sesampainya disana saya ditugasi sebagai dirjen pembukaan. Indonesia Raya lancar namun terkendala di mars PII sebab belum mutqin hafal. Haha. Tugas tambahan saya ialah menjadi moderator dalam diskusi panel tentang “Pemuda dan Aktivis Zaman Now”. Sempat ragu menerima sebab audien ialah kawan sendiri bahkan beberapa lebih senior. Tapi saya sanggupi juga. Untuk latihan dan pembiasaan. Sepaket dengan panggung (lagi) dan mengasah wawasan. Hadir sebagai pembicara ialah Mas faris dan Mas Abiyyu. Rasanya kepada Mas Abiyyu saya harus memberanikan banyak membuka ruang diskusi. Wawasannya seluas koleksi buku-buku di kamarnya. Ba’da dzuhur saya pamit hendak talaqqi tahfidz.
Sekitar pukul 14.10 CLT saya berangkat ke muqottom bersama Hidayat dan Makhmum. Sampai ditujuan sekitar pukul tiga. Saya bertemu sesorang kakek paruh baya yang berjalan satu arah. Ia menyapa dan menanyakan kebangsaan saya. “Andunisi ya ‘Amm,” saya jawab. Lalu seketika ia mengacungkan jempol dan menimpali, “Oh, Ahsanunnas”. Saya tersenyum manggut. Dibalasnya demikian pula.
Beberapa kali saya dapati ramai orang Mesir berkata demikian pada saya dan teman-teman. Apa yang membuat orang indonesia istimewa dimata orang Mesir? Belum ada pasti jawaban pada saya. Barangkali perihal pekerti kita yang dikategorikan sopan. Perhaps. Ah, semoga saja.
Dalam talaqqi, menyetorkan hafalan saya cukup kacau. Banyak makhroj dikritik habis-habisan. Bacaan saya pun dicukupkan sebelum waktunya. Beliau seolah kecewa dengan buruk bacaan saya. Beruntung hanya marah yang sampai, belum rotan yang mendarat ditangan maupun paha. Dimintanya saya belajar baik-baik di asrama. Betapa saya sangat grogi dan merasa tidak enak. Dibanding Hidayat dan Makhmu tentu saya amat jauh. Walau demikian, dalam hati saya azzamkan untuk bersedia sakit-sakitan dan tekun dalam menimba ilmu kepada beliau.
Komentar
Posting Komentar