Bunga Rampai Catatan Harian (4)
Jum’at 13 Oktober 2017
Hari ini mengikuti public discussion di daerah el Shawy dekat sungai Nil. Pembicara ialah Dr. Usman Syihab dari KBRI. Sebenarnya Public Discussion ini untuk orang Mesir sebab isinya mengenalkan K.H Ahmad Dahlan secara khusus berikut perjuangannya dan umumnya tentang Muhammadiyah kepada warga Mesir. Namun kami tetap antusias. Sambil pembiasaan istima’ sekaligus charging semangat hidup.
Sayang, sholat isya’ kami tertunda sekian lamanya. Saya menyesal sejadi-jadinya. Kenapa tadi tidak keluar barang sebentar untuk menjaga waktu sholat. Kenapa orang-orang hebat dan terpercaya (Kak Fardan, Kak Wahyudi) tiada nampak gelisah dengan keganjilan. Entah apa jadinya nanti saya bila berusaha tetap istiqomah mengutamakan dalam kondisi apapun. Barangkali patah-patah, penuh luka, atau kandas terbentur realitas.
Ketika hendak pulang, salah seorang senior, Mas Izam, nyeletuk, bahwa didaerah Nil kondisi relatif bersih dari sampah. Nyaman dan sejuk untuk dipandang. Walau ada beberapa tempat yang kotor, bukan berarti sedikit atau bahkan sama sekali tiada tempat yang bersih. Saya sedikit insyaf. Memang tiada adil memukul rata atau menggenalisir. Kendati demikian, gereget saya akan selalu tetap pada adanya perubahan agar Cairo (bagian-bagian komplek pemukiman) kian bersih.
Malam ini saya tidur pukul 23.05 CLT. Menulis dengan sedikit rasa malas.
Rabu, 18 Oktober 2017
Sudah beberapa hari saya tidak menulis. Banyak hal silih berganti datang mewarnai hari-hari saya. Beberapa ingin saya ceritakan walau tidak mendetail. Setidaknya, saya tidak membiarkan begitu saja sesuatu berlalu tanpa ada refleksi. Agar hati semakin tajam, otak semaikn terasah.
3 hari yang lalu, Ahad malam tepatnya, ketika saya sedang asyik menikmati murajaah hafalan saya di Masjid, seseorang dari belakang menepuk pelan pundak saya. Dalam kondisi mata yang terpejam tentu saja tepukan itu mengagetkan. Ternyata orang Mesir yang sedari tadi menyimak saya. Dirasakannya janggal dalam bacaan saya di surat Al-Qiyamah. Saya diminta mengulang dari depan, lalu sembari menyimak ia membetulkan. Mengajari tahsin dengan lebih baik. Jadilah 30 menit saya di permulaan mala itu habis untuk menimba ilmu dengan laki-laki tersebut.
Orang mesir memang ramah dan senang menebar kebaikan. Walau bicara saya agak terbata, dapat saya tangkap bahwa beliau mahasiswa Azhar tingkat 4 fakultas syariah. Namanya Abdullah (kalau tidak keliru). Di akhir pembicaraan ia bertanya apakah peci saya mau dijadikan hadiah untuknya. Haha. Entah serius atau bercanda, saya jawab besok saja saya kasih yang lain. Sampai saat ini kami belum lagi ngobrol. Saya berhutang budi padanya, atas kehangatan dan samudra ilmunya yang bersedia dicipratkan pada saya.
Lalu Senin malam kemaren, pihak asrama mengadakan semacam public discussion mengundang pembicara mahasiswa mesir kandidat doktor dari indonesia. Namanya Mahkamah Mahdin. Katanya murid langsung Syekh Ali Jum’ah. Pembahasan malam itu tentang manhaj Al Azhar. Sejak Curriculum Vitae pembicara dibacakan saya sudah sepakat dengan otak saya untuk melahirkan pertanyaan, kendati belum tau apa yang dibicarakan. Saya rasa itu sebuah dorongan untuk memeras otak sedemikian rupa selain mengasah sikap kritis dan analitis.
Pengalaman belajar beliau amat luas. Tentu saja itu biasa bagi seorang kandidat doktor. Ia bertutur secara lugas namun begitu mendalam. Hanya saja, retorikanya terlalu datar. Sebagian peserta bosan mendengarkan, bila bukan sebab mic yang kurang keras. Saya berfikir, beberapa orang hebat dalam mengingat dan lihai dalam menulis. Namun tidak jarang yang demikian lemah dalam berbicara. Padahal tidak semua orang senang membaca dan sudah pasti setiap orang (normal) memiliki telinga.
Oiya, saya sempat jadi bertanya. Tentang mengapa sistem Al-Azhar tidak menggunakan sistem absen dikelas dan perihal pergerakan yang lahir dan sempat tumbuh susbur di Mesir : Ikhwanul Muslimin. Saya tanyakan bagaimana sikap Al-Azhar terhadapnya mengingat kejadian revolusi Mesir 2013 yang memakzulkan Presiden Mursi (kandidat dari IM). Sebenarnya ingin saya tanyakan pula bagaimana Al-Azhar memandang Dr. Yusuf Qordhowi, seorang ulama kibar di Azhar, yang empat kali pernah meringkuk di penjara. Sayang moderator tidak mengabulkan yang ketiga.
Maka dijawablah pertanyaan pertama saya dengan sederhana. Karena tidak cukup waktu dan kapasitas ruangan bila dibanding mahasiswa yang membludak (seperti jawaban Kak Musa). Pertanyaan kedua dijawab dengan sedikit berputar-putar dan tak kunjung menyentuh poin pertanyaan saya. Sejujurnya saya kurang puas. Namun sedikit bersyukur juga mendapat maklumat bahwa IM disekitar tahun 2009 keatas dikuasai kalangan moderat yang menyingkirkan kalangan konservatif didalamnya, termasuk ketika pegangkatan Mursi sebagai presiden Mesir kala itu. Saya malah disarankan membaca karya Dr. Usamah Sayid yang berjudul “Al-haqq al mubin fil al Radd ‘ala man Talaba bi al-Din” yang telah diterjemahkan dalam bahasa indonesia dengan judul “Islam Radikal”. Sebuah saran yang telah saya lakukan bahkan sebelum disarankan. Hehe. Beberapa waktu lalu saya telah menghatamkan terjemahannya.
Satu lagi kejadian yang cukup menggetarkan. Insiden dirampoknya HP Mahasiswa Indonesia oleh orang kulit hitam ketika berjalan sendirian malam hari di daerah Musallas. Korban tidak hanya kehilangan HP, melainkan beberapa tetes darah dari dagunya yang sobek hingga mengharuskan jahit 7 kali. Pasalnya perampok/haromi sampai melayangkan 5 kali pukulannya melihat korban melakukan perlawanan dalam merebut. Dalam hati saya salut dengan keberanian Najib (korban) yang sempat membalas dengan pukulan walau kalah juga. Saya jadi merasa perlu mengasah ilmu beladiri saya. Sudah terazamkan insyaAllah akan belajar Tapak Suci lagi.
Hikmahnya adalah agar tidak keluar malam sendiri lebih-lebih memamerkan HP di jalan atau tempat umum. Dalam hal ini di Mesir memang sangat rawan muncul kecemburuan sosial yang berbuah perampokan.
Jum’at 20 Oktober 2017
Lafal alhamdulillah saja rasanya tidak cukup. Menyadari betapa beruntungnya saya berada dalam lingkaran pertemanan yang memungkinkan banyak persinggungan dengan orang-orang hebat dan tentu menginspirasi. Untuk itu saya jadi menulis—setelah sempat malas dan berniat untuk tidak menulis.
Baru saja terfikirkan oleh saya, ketika seorang teman datang ke kamar, Auliaurrahman, melihat saya sedang makan dengan lahapnya, ia bertanya,
“Enta suka kusyari, Dan?”
Saya tersenyum, “Alhamdulillah cocok sih,”
Kusyari semacam makaroni, campur sedikit mie, dan kacang-kacangan yang diberi bumbu seperti seblak. Kemudian ia melontarkan pertanyaan yang sama dengan objek lain seperti full(kacang), belhana(yoghurt), fiita(mentega), dan beberapa makanan asrama lainnya dimana sebagian besar orang indonesia tidak cocok. Dengan ringan saya jawab semuanya cocok, bahkan enak. Masa awal memang butuh adaptasi dengan rasa. Perlahan saya menemukan ritme dan kecocokan dengan cita-rasanya. Saya rasa sugesti cukup memberi dampak besar, setelah sebelumnya ogah-ogahan. Lagipula sudah membayar pula, terlalu berharga jerih payah orangtua untuk tidak dimakan.
Beberapa teman-teman cukup heran dengan mudahnya lidah saya beradaptasi dan saya mensyukurinya. Seperti hal yang seolah sederhana, perihal lidah dan citarasa. Namun ketika pelan-pelan saya coba telusuri, teringat pula dengan pertanyaan kekhawatiran serta perhatian Ibu saya ketika awal-awal saya disini. Bagaimana makanannya, Le? Cocok ‘kan? Dan bahkan beberapa hari sebelum keberangkatan, diantara wejangan dan doa yang disampaikan ialah agar diberikan kecocokan dalam soal makanan.
Sepintas sepele dan sederhana, namun saya rasa tiada yang meragukan betapa diantara bukti besar perhatian seorang ibu terhadap anaknya ialah dengan menanyakan sesuatu yang sepele. Bukan untuk meremehkan, melainkan sebagai wujud sejuta perhatian dan memastikan, apakah buah hatinya benar-benar dalam kondisi baik. Amat disayangkan, sebagian orang merasa risih dengan hal seperti itu.
Entah benar atau tidak, saya yakin ini tidak terlepas daripada doa ibu. Amat sederhana namun begitu dalam bermakna bila berwujud sebagai doa ibu. Seorang senior saya, Kak Bani, pernah menyyampaikan diantara rahasia dibalik terpilihnya beliau sebagai TEMUS HAJI (pembimbing haji, gratis haji, dapat mukafaah) ialah doa ibunnya di tanah air, yang kebetulan saat itu hendak berangkat haji pula sehingga dapat melepas rindu di Tanah Suci Mekkah. Padahal, namanya dalam undian hanya satu slot.
Hari ini mengikuti public discussion di daerah el Shawy dekat sungai Nil. Pembicara ialah Dr. Usman Syihab dari KBRI. Sebenarnya Public Discussion ini untuk orang Mesir sebab isinya mengenalkan K.H Ahmad Dahlan secara khusus berikut perjuangannya dan umumnya tentang Muhammadiyah kepada warga Mesir. Namun kami tetap antusias. Sambil pembiasaan istima’ sekaligus charging semangat hidup.
Sayang, sholat isya’ kami tertunda sekian lamanya. Saya menyesal sejadi-jadinya. Kenapa tadi tidak keluar barang sebentar untuk menjaga waktu sholat. Kenapa orang-orang hebat dan terpercaya (Kak Fardan, Kak Wahyudi) tiada nampak gelisah dengan keganjilan. Entah apa jadinya nanti saya bila berusaha tetap istiqomah mengutamakan dalam kondisi apapun. Barangkali patah-patah, penuh luka, atau kandas terbentur realitas.
Ketika hendak pulang, salah seorang senior, Mas Izam, nyeletuk, bahwa didaerah Nil kondisi relatif bersih dari sampah. Nyaman dan sejuk untuk dipandang. Walau ada beberapa tempat yang kotor, bukan berarti sedikit atau bahkan sama sekali tiada tempat yang bersih. Saya sedikit insyaf. Memang tiada adil memukul rata atau menggenalisir. Kendati demikian, gereget saya akan selalu tetap pada adanya perubahan agar Cairo (bagian-bagian komplek pemukiman) kian bersih.
Malam ini saya tidur pukul 23.05 CLT. Menulis dengan sedikit rasa malas.
Rabu, 18 Oktober 2017
Sudah beberapa hari saya tidak menulis. Banyak hal silih berganti datang mewarnai hari-hari saya. Beberapa ingin saya ceritakan walau tidak mendetail. Setidaknya, saya tidak membiarkan begitu saja sesuatu berlalu tanpa ada refleksi. Agar hati semakin tajam, otak semaikn terasah.
3 hari yang lalu, Ahad malam tepatnya, ketika saya sedang asyik menikmati murajaah hafalan saya di Masjid, seseorang dari belakang menepuk pelan pundak saya. Dalam kondisi mata yang terpejam tentu saja tepukan itu mengagetkan. Ternyata orang Mesir yang sedari tadi menyimak saya. Dirasakannya janggal dalam bacaan saya di surat Al-Qiyamah. Saya diminta mengulang dari depan, lalu sembari menyimak ia membetulkan. Mengajari tahsin dengan lebih baik. Jadilah 30 menit saya di permulaan mala itu habis untuk menimba ilmu dengan laki-laki tersebut.
Orang mesir memang ramah dan senang menebar kebaikan. Walau bicara saya agak terbata, dapat saya tangkap bahwa beliau mahasiswa Azhar tingkat 4 fakultas syariah. Namanya Abdullah (kalau tidak keliru). Di akhir pembicaraan ia bertanya apakah peci saya mau dijadikan hadiah untuknya. Haha. Entah serius atau bercanda, saya jawab besok saja saya kasih yang lain. Sampai saat ini kami belum lagi ngobrol. Saya berhutang budi padanya, atas kehangatan dan samudra ilmunya yang bersedia dicipratkan pada saya.
Lalu Senin malam kemaren, pihak asrama mengadakan semacam public discussion mengundang pembicara mahasiswa mesir kandidat doktor dari indonesia. Namanya Mahkamah Mahdin. Katanya murid langsung Syekh Ali Jum’ah. Pembahasan malam itu tentang manhaj Al Azhar. Sejak Curriculum Vitae pembicara dibacakan saya sudah sepakat dengan otak saya untuk melahirkan pertanyaan, kendati belum tau apa yang dibicarakan. Saya rasa itu sebuah dorongan untuk memeras otak sedemikian rupa selain mengasah sikap kritis dan analitis.
Pengalaman belajar beliau amat luas. Tentu saja itu biasa bagi seorang kandidat doktor. Ia bertutur secara lugas namun begitu mendalam. Hanya saja, retorikanya terlalu datar. Sebagian peserta bosan mendengarkan, bila bukan sebab mic yang kurang keras. Saya berfikir, beberapa orang hebat dalam mengingat dan lihai dalam menulis. Namun tidak jarang yang demikian lemah dalam berbicara. Padahal tidak semua orang senang membaca dan sudah pasti setiap orang (normal) memiliki telinga.
Oiya, saya sempat jadi bertanya. Tentang mengapa sistem Al-Azhar tidak menggunakan sistem absen dikelas dan perihal pergerakan yang lahir dan sempat tumbuh susbur di Mesir : Ikhwanul Muslimin. Saya tanyakan bagaimana sikap Al-Azhar terhadapnya mengingat kejadian revolusi Mesir 2013 yang memakzulkan Presiden Mursi (kandidat dari IM). Sebenarnya ingin saya tanyakan pula bagaimana Al-Azhar memandang Dr. Yusuf Qordhowi, seorang ulama kibar di Azhar, yang empat kali pernah meringkuk di penjara. Sayang moderator tidak mengabulkan yang ketiga.
Maka dijawablah pertanyaan pertama saya dengan sederhana. Karena tidak cukup waktu dan kapasitas ruangan bila dibanding mahasiswa yang membludak (seperti jawaban Kak Musa). Pertanyaan kedua dijawab dengan sedikit berputar-putar dan tak kunjung menyentuh poin pertanyaan saya. Sejujurnya saya kurang puas. Namun sedikit bersyukur juga mendapat maklumat bahwa IM disekitar tahun 2009 keatas dikuasai kalangan moderat yang menyingkirkan kalangan konservatif didalamnya, termasuk ketika pegangkatan Mursi sebagai presiden Mesir kala itu. Saya malah disarankan membaca karya Dr. Usamah Sayid yang berjudul “Al-haqq al mubin fil al Radd ‘ala man Talaba bi al-Din” yang telah diterjemahkan dalam bahasa indonesia dengan judul “Islam Radikal”. Sebuah saran yang telah saya lakukan bahkan sebelum disarankan. Hehe. Beberapa waktu lalu saya telah menghatamkan terjemahannya.
Satu lagi kejadian yang cukup menggetarkan. Insiden dirampoknya HP Mahasiswa Indonesia oleh orang kulit hitam ketika berjalan sendirian malam hari di daerah Musallas. Korban tidak hanya kehilangan HP, melainkan beberapa tetes darah dari dagunya yang sobek hingga mengharuskan jahit 7 kali. Pasalnya perampok/haromi sampai melayangkan 5 kali pukulannya melihat korban melakukan perlawanan dalam merebut. Dalam hati saya salut dengan keberanian Najib (korban) yang sempat membalas dengan pukulan walau kalah juga. Saya jadi merasa perlu mengasah ilmu beladiri saya. Sudah terazamkan insyaAllah akan belajar Tapak Suci lagi.
Hikmahnya adalah agar tidak keluar malam sendiri lebih-lebih memamerkan HP di jalan atau tempat umum. Dalam hal ini di Mesir memang sangat rawan muncul kecemburuan sosial yang berbuah perampokan.
Jum’at 20 Oktober 2017
Lafal alhamdulillah saja rasanya tidak cukup. Menyadari betapa beruntungnya saya berada dalam lingkaran pertemanan yang memungkinkan banyak persinggungan dengan orang-orang hebat dan tentu menginspirasi. Untuk itu saya jadi menulis—setelah sempat malas dan berniat untuk tidak menulis.
Baru saja terfikirkan oleh saya, ketika seorang teman datang ke kamar, Auliaurrahman, melihat saya sedang makan dengan lahapnya, ia bertanya,
“Enta suka kusyari, Dan?”
Saya tersenyum, “Alhamdulillah cocok sih,”
Kusyari semacam makaroni, campur sedikit mie, dan kacang-kacangan yang diberi bumbu seperti seblak. Kemudian ia melontarkan pertanyaan yang sama dengan objek lain seperti full(kacang), belhana(yoghurt), fiita(mentega), dan beberapa makanan asrama lainnya dimana sebagian besar orang indonesia tidak cocok. Dengan ringan saya jawab semuanya cocok, bahkan enak. Masa awal memang butuh adaptasi dengan rasa. Perlahan saya menemukan ritme dan kecocokan dengan cita-rasanya. Saya rasa sugesti cukup memberi dampak besar, setelah sebelumnya ogah-ogahan. Lagipula sudah membayar pula, terlalu berharga jerih payah orangtua untuk tidak dimakan.
Beberapa teman-teman cukup heran dengan mudahnya lidah saya beradaptasi dan saya mensyukurinya. Seperti hal yang seolah sederhana, perihal lidah dan citarasa. Namun ketika pelan-pelan saya coba telusuri, teringat pula dengan pertanyaan kekhawatiran serta perhatian Ibu saya ketika awal-awal saya disini. Bagaimana makanannya, Le? Cocok ‘kan? Dan bahkan beberapa hari sebelum keberangkatan, diantara wejangan dan doa yang disampaikan ialah agar diberikan kecocokan dalam soal makanan.
Sepintas sepele dan sederhana, namun saya rasa tiada yang meragukan betapa diantara bukti besar perhatian seorang ibu terhadap anaknya ialah dengan menanyakan sesuatu yang sepele. Bukan untuk meremehkan, melainkan sebagai wujud sejuta perhatian dan memastikan, apakah buah hatinya benar-benar dalam kondisi baik. Amat disayangkan, sebagian orang merasa risih dengan hal seperti itu.
Entah benar atau tidak, saya yakin ini tidak terlepas daripada doa ibu. Amat sederhana namun begitu dalam bermakna bila berwujud sebagai doa ibu. Seorang senior saya, Kak Bani, pernah menyyampaikan diantara rahasia dibalik terpilihnya beliau sebagai TEMUS HAJI (pembimbing haji, gratis haji, dapat mukafaah) ialah doa ibunnya di tanah air, yang kebetulan saat itu hendak berangkat haji pula sehingga dapat melepas rindu di Tanah Suci Mekkah. Padahal, namanya dalam undian hanya satu slot.
another soe hok gie?
BalasHapuskeren Dan.. lanjutkan, semoga bisa ada cetakannya ya
Aamiinn