Menuju Aksi 212
Enforce Justice! Jails Blasphemer!
Aksi “Super Damai” 212 kian dekat. Segala bersi-tegang antara kelompok pendemo dan pihak kepolisian telah sirna. Mulai dari tuduhan makar yang sembarang dialamatkan, larangan sholat jum’at di jalan protokol, sampai larangan penggunaan bis sebagai akodomasi, telah menemukan titik temunya. Win-win solution. Ibarat semilir angin yang berbalik arah, gelagat lembaga pengamanan yang mulanya kontra demonstrasi, kini justru bersikap welcome pasca pertemuannya dengan GNPF-MUI tempo hari.
Dalam setiap hiruk-pikuk, Ulama dan Habaib yang lantang menyuarakan kebenaran selalu mendapat tempat di hati. Arah angin yang berubah tak lain ialah lantaran cerdiknya diplomasi mereka. Tegas tanpa belit. Sampai-sampai rasio ini tidak sampai menalar teguh dan kuatnya pendirian Habib Riziq; sediktpun tak bergeser dari orasi manakala semprotan gas air mata terus menyerangnya. Bahtiar Natsir lantang menyuarakan keadilan yang disatu sisi menyakitkan elemen pemerintah, namun menyejukkan bagi umat islam.
Tidak banyak yang tahu bahkan berpikir bagaimana teror pembunuhan yang mengancam mereka, menelikung dibalik itu semua. Tapi aku memikirkannya! Hingga muncul 2 sikap, atau mungkin perasaan lebih tepatnya : bahagia dan sedih. Bahagia karena memiliki ulama yang teladan dan tegas menyuarakan kebenaran. Namun sedih ini hinggap menyusul pertanyaan dalam batin, apakah para ulama yang ikhlas dan teguh berjuang tersebut, masih dapat menyaksikan estafet perjuangannya kelak? Mengingat bagaimana kondisi dan mental pemuda islam saat ini. Tidak jarang mata ini menjadi gerimis yang menemani cuaca ketidakpantasan diri.
Kali ini aku dapat kesempatan berangkat bersama kawan-kawan lainya, insaAllah. Sekitar 12 anak kelas 6, 7 anak kelas 5, dan 6 anak kelas 4. 25 anak Muallimin. Jangan kira kami diizinkan atau bahkan diutus madrasah. Seperti biasa, nekat kembali menjadi andalan; jurus ampuh yang seakan meniadakan kemustahilan. Madrasah sedang dilematis. Madrasah ingin menjaga perasaan Buya syafi’i—ketua pembangunan gedung baru Muallimin—yang dalam hal ini melawan arus. Memberangkatkan sama halnya menambah arus yang nantinya berdampak buruk bagi pembangunan Muallimin. Sementara itu, para ustadz berharap ada utusan yang diberangkatkan—sebagaimana dilakukan MBS, Ibnu Juraim, Ibnu Abbas—demi pendidikan ghirah dalam diri santri. Bahkan, satu-dua ustadz menyayangkan sikap pimpinan yang abu-abu.
Lain pimpinan, lain denganku. Bagiku abu-abu adalah celah sekaligus arena permainan nekat. Kita bisa menerabas membelakangkan resiko yang akan muncul. Sebab, lebih baik meminta maaf daripada meminta izin yang membuka kemungkinan tidak diizinkan. Kita masih muda, kawan!
Buya Syafi’i adalah idola. Menelaah tulisan dan pemikiranya selalu menakjubkan. Namun tidak berarti memberhalakan. Dalam beberapa hal, aku tidak sependapat, termasuk dalam menyikapi kasus penistaan agama ini. Ironisnya, ketidak setujuanku harus bentrok. Tentu tidak dengan Buya. Perdebatan tak terelakkan terjadi dengan salah satu ustadz Muallimin—kebetulan dekat dengan Buya—tentang demonstrasi yang kemudian melahirkan dua kutub bertentangan: aku pro, dan beliau di pihak kontra.
“Siapa yang habis tenaganya? Bagi kami ini ajang persatuan umat islam! setelah sekian lama terpecah belah. Dan bukan sebuah kesia-siaan bagi kami memperjuangkan agama yang dinista!” Ucapku kala itu, menanggapi pernyataan bahwa demonstrasi hanya membuang-buang tenaga.
Menunggu proses hukum sama halnya jauh api dari panggang. Lebih dekat kepada membiarkan berjalan bagaimana adanya. Sebab sudah terlalu banyak persoalan hukum dikebiri, oleh kalangan berkepentingan. Kebenaran hakiki sering kalah dengan kebenaran hukum. Adalah naif, berdiam diri melihat agama kita dinodai dan membiarkan penista tidak dihukum sebagaimana mestinya.
Aku membiasakan untuk tidak selalu nggah-nggeh saja. Takluk kepada arus pembicaraan. Kalau dirasa bertentangan, masih ada lisan untuk “berontak”, dalam adab dan cara yang santun pastinya.
Banyak pula suara provokatif sinis pencegahan demonstarasi. "Subuhan telat rapopo, sing penting Allahuakbar!," misalnya. Atau pernyataan "Sholat udah bener belum? Benerin dulu sholatnya baru demo!" Helloo?! Sampean yang sok 'moderat' mencegah itu apa sudah benar pula solatnya? Sudah di awal waktu? Kalau belum, ya sama ajaaa. Bahkan tidak lebih baik, sebab mereka berjihad menegakkan keadilan yang dikebiri.
Kemudian, siapa yang meragukan kapabilitas Bahtiar Natsir? Habib Riziq? Ridwan Hamidi? Sepenuhnya kita sadar, ilmu mereka lebih dalam. Mereka ulama, menjaga solat, menyerukan kebaikan, bahkan memimpin aksi penegakan keadilan. Toh, ajakan kebaikan senantiada didengungkan pada para demonstran(sekalipun aksi damai), termasuk ajakan solat dengan benar.
Lengkap sudah. Ghirah dapat, siraman qolbu menyejukkan. Dan pastinya terhindar dari kemunafiqan.
Adagium "kewajiban pelajar itu belajar" tidak salah. Namun tidak sepenuhnya benar manakala diseret dalam persoalan sekarang. Jangan lantas mendudukkan kalimat tersebut tidak pada tempatnya. Barangkali 5 tahun lebih kita belajar di sekolah. Sekitar 1800 hari kita habiskan di kelas. Tentu menyelokan 3 hari untuk ikut aksi tidak keliru. Lebih lebih belajar tidak hanya di kelas. Praktik lapangan langsung juga merupakan pembelajaran yang bahkan meninggalkan kesan lebih dalam.
Tulisan ini ditulis 14 jam menuju aksi digelar. Segalanya masih misteri. Apakah rusuh atau damai setiap pribadi boleh memperkirakan, namun kuasa ditangan yang diatas. Prediksi tetaplah prediksi sampai sejarah hadir menuliskan tintanya.
Selamat menantikan sejarah, berbahagialah anda yang memiliki kesempatan sebagai pelaku sejarah!
Enforce justice! ALLAHUAKBAR!
Komentar
Posting Komentar