Krisis Keteladanan, Sadarkah?
“Dek, kok kamu nggak sopan e?!”
Kalimat
diatas, mungkin tidak asing lagi bagi telinga kita semua. Tidak terkecuali, baik
yang sekarang masih kelas satu MTs maupun yang sudah hampir resmi menyandang
gelar alumni, bahkan yang sudah alumni-pun tidak jarang ditelinganya dihinggapi
kalimat diatas. Intinya sama : yang ngucapin kakak kelas, ditujukan kepada adek
kelas yang tidak sopan. Bukankah begitu, Sob?
Di Muallimin senioritas memang cukup
kental terasa. Kakak kelas pasti tidak suka apabila ada adek kelas yang
bertingkah nggleleng, pecicilan, dan seenaknya sendiri.
Akibatnya, mereka akan berpikir gimana caranya agar adek kelasku bisa sopan dan
tidak seenaknya sendiri. Ujungnya, berbagai cara pun dilakukan. Dari mulai
menasihati dengan pendekatan, hingga dengan cara membentak dan kekerasan.
Ketika kita melihatnya secara
sekilas mungkin hal tersebut adalah sesuatu yang wajar dimana seorang kakak
kelas ingin adik kelasnya menjadi baik, terlepas bagaimana cara kakak kelas
tersebut. Karena sebenarnya, saya termasuk pro terhadap sistem mendidik dengan
kekerasan yang proporsional. Namun demikian, ketika kita mau mencermati dan
menggali lebih dalam lagi, dapat kita temui dibalik itu ada sebuah “racun” yang
harus segera diobati. Ada sebuah kerusakan yang mesti segera diperbaiki.
Kalian pasti membatin “Loh,
kakaknya nyuruh harus gini ngga boleh gitu, tapi mereka sendiri malah melakukan
dan melanggarnya?”. Maka disinilah sebenarnya letak permasalahanya. Adalah
sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa adik kelas sering melihat kakak
kelas melakukan sesuatu yang tidak sepatutnya dilakukan. Padahal manis sekali
wejangan mereka tentang kebaikan, tapi dibalik itu? Hmmm, saya pikir anda lebih
paham.
Seorang
kakak kelas yang baik semestinya tidak membiarkan sifat jarkoni(ujar ora
ngelakoni) melekat pada dirinya. Kalau berceramah tentang ‘A’ tidak bisa
tidak, dirinya harus demikian. Pun juga sebaliknya dia harus menjauhi sesuatu
yang telah dilarangnya kepada adik kelas, bukan malah melakukan dengan dalih
‘asal tidak ketauan’. Tapi bukan pula berarti sebagai kakak kelas kalian lantas
tidak mau lagi menasihati lantaran tidak ingin dikatakan jarkoni. Sebab Hasan
Al Bashri Rahimahullah telah berpesan :
“
Jika sekiranya seorang muslim tidak memberikan nasihat kepada saudaranya
kecuali setelah dirinya menjadi sempurna, maka tidak akan ada pemberi nasihat”
Maka, bagi
kakak kelas yang baik saya berpesan tetaplah memberikan wejangan, tetaplah
berbagi nasihat kepada siapapun dan dalam kondisi apapun. Akan tetapi silakan
dipikir pula, apa mau terus terusan memberikan nasihat, sedang dirinya sendiri
belum cukup “sehat” akan hal itu?
Kurangnya
Keteladanan dari Guru
Itu
tadi ketika berbicara di ranah siswa antar siswa. Sekarang, mari kita luaskan
lagi pembahasan kita. Sudah sepantasnya guru, sebagai agen pendidik bisa
menjadi teladan yang baik bagi siswa. Khususnya tentang perilaku. Guru ialah
sosok yang sering berjumpa dengan siswa, karena sering berjumpa maka ia akan
dipandang oleh siswa. Sebab, bagaimana mau mendidik tentang perilaku ketika si
pendidik sendiri kurang berperilaku sebagaimana mestinya?
Bisa dibilang dewasa ini, terjadi
krisis keteladanan. Guru yang diharapkan dapat memberi teladan, kurang maksimal
dalam pemenuhanya. Sebenarnya yang dilakukan oleh para guru ialah sesuatu yang
dibolehkan, hanya saja tidak etis bila hal tersebut terlihat atau bahkah
diperlihatkan kepada para siswa.
Misalnya,
ketika adzan dzuhur berkumandang ada siswa Mts dengan bercanda mengajak gurunya
untuk turun sholat kebawah. Dengan bercanda pula, sang guru menyahut “Dah
kalian turun dulu sana kebawah, ustdaz mau makan dulu didalem” padahal
speaker di kelas telah menginstruksikan semuanya agar segera sholat ke masjid.
Sebenarnya bukanlah termasuk itu hal yang dilarang, bahkan islam juga mengiyakannya.
Tetapi apabila dinampakkan hanya akan mencederai makna guru sebagai teladan,
Lagi,
ketika sedang UAS ‘ada’ seorang guru yang mendesak seorang siswanya untuk
segera mengumpulkan ujianya, padahal ketika itu waktu masih tersisa dan suara
bel belumlah berbunyi. “Dah segera dikumpulkan, ngebak-ngebak i gawean guru
koe ki lee..” ujar beliau dengan sedikit marah. Terdengar tidak parah
memang, tapi siapa yang mampu menjamin siswa tidak sakit hati, tatkala sedang
berusaha membahagiakan orang tua dengan nilai yang maksimal justru diperlakukan
demikian?
Disini,
bukan berarti saya menilai guru di Muallimin buruk, tidak! Saya yakin dengan
sangat bahwa “pondok pesantren” sekaliber Muallimin memiliki kapabilitas tenaga
pendidik yang hebat dan berperilaku baik. Tetapi, bukankah sekarung mangga
panen, masih mengandung kemungkinan didapati didalamnya ‘ada’ buah mangga yang
“terlampau jauh matangnya”?
Kesimpulannya,
sekolah kita saat ini sedang “terjangkit” krisis keteladanan. Bagi yang masih
terlelap dalam tidurnya semoga lekas sadar, dan mencari tahu apa yang sedang
terjadi?
Dan bagi yang sudah bangun dan paham
akan kondisi saat ini, jangan menunggu terinspirasi, baru bergerak. Tapi
bergeraklah, niscaya engkau akan menemukan inspirasi, dan bahkan menginspirasi
yang lainya. So, mari kita berubah, dan selamat merubah, sob!
10.15 WIB ( Ahad, 3 Januari 2016)
---------------------------------
10.15 WIB ( Ahad, 3 Januari 2016)
---------------------------------
Komentar
Posting Komentar