Sosok di balik Juara I MHQ Internasional Mesir 2019
Oleh : Hidanul Achwan
Laki-laki yang berdiri tegak namun penuh kerendahan hati tersebut bernama Adriyan. Di atas panggung, diiringi gemuruh tepuk tangan penonton, namanya disebut dan dipersilahkan maju, menerima sebuah penghargaan atas suatu pencapaiannya. Kelak, tempat ia berdiri akan menjadi saksi; tentang doa, dukungan, dan keringat perjuangan yang mengantarkannya dapat mengharumkan nama Indonesia di kancah Internasional.
Kata orang bijak, “today is yesterday, tomorrow is today”. Yang terjadi hari ini adalah sebuah hasil dari hari kemarin, sementara esok hari ialah apa yang kita lakukan saat ini. Dalam kisah Adriyan, prestasinya menyabet Juara I MHQ Internasional antar pelajar asing di Mesir tempo hari (27/4), tidak lain karena hasil jerih payah yang diupayakan sebelumnya. Pencapaian tersebut bukan sesuatu yang instan, melainkan dengan proses panjang nan berliku. Sayangnya, tidak banyak yang tahu proses di balik keberhasilannya tersebut.
Lahir di Jakarta tahun 2002, Muhammad Adriyan Hidayat ditempa dalam keluarga qurani. Ayahnya yang juga seorang hafiz, membiasakannya untuk menghafal surat-surat pendek sejak kecil. 3 juz terakhir berhasil ia hafal, sebelum akhirnya masuk SD Pondok Tahfiz Yanbuul Quran Anak (PTYQA) di Kudus, Jawa Tengah.
Di masa inilah, proses dan perjuangan menghafal Alquran yang sesungguhnya dimulai.
Tempaan Keras di PTYQA
Sebagaimana para ulama terdahulu yang hafal Alquran sejak belia, bersama teman-temannya di PTYQA, Adriyan digembleng untuk meniti jalan para ulama tersebut. Di usianya yang masih seumuran anak kelas 1 SD, ketika anak seusianya sibuk bermain-main, hari-hari Adriyan senantiasa diisi dengan menghafal, mengulang, dan selalu berinteraksi dengan kalam Allah, Alquran.
Di PTYQA, ada tiga waktu khusus untuk menghafal. Pagi, sebelum sekolah, untuk menyetorkan hafalan baru. Kemudian sore, selepas pulang sekolah, untuk murajaah, dan malam hari hingga menjelang tidur juga untuk murajaah. Di sini amat jelas terlihat bahwa, PTYQA jauh lebih mementingkan murajaah daripada menyetorkan hafalan baru itu sendiri.
Selain itu, murajaah yang dilakukan tidak asal mengulang, namun juga tetap disetorkan sehingga dapat mengetahui dimana letak kesalahan maupun ketidak lancaran hafalannya. Untuk membentuk kedisiplinan, diterapkan pula sistem yang cukup keras. “Dulu, kalau ada yang tidak setor, pasti dipukul keras dengan kayu. Jika menangis, malah ditambah lagi pukulannya,” kenang Adriyan sambil terkekeh, ketika diwawancarai.
Setelah menjalani proses yang cukup panjang, pada tahun 2010 atau ketika ia menginjak kelas 3 SD, akhirnya hafalan 30 juz Alqurannya selesai. Tiga tahun bukan waktu yang singkat. Itu pun, dengan penuh kesadaran, ia sampaikan bahwa hafalannya belum mutqin. Jika kita bandingkan belakangan, marak sekali iklan daurah cepat hafal Alquran dalam 6 bulan, 3 bulan, bahkan 40 hari. Bagaimana kualitasnya? Mereka yang lebih tahu.
Nampaknya Adriyan pun menyadari bahwa, menjadi hafiz bukan hanya soal telah selesai menyetorkan 30 juz, melainkan upaya apa yang dilakukan setelahnya. Ia telah melewati satu fase, dan bersiap memasuki fase yang lebih serius; murajaah dan melancarkan. Tidak ayal, di masa kelas 4-5 SD nya, tidak ada yang lebih berharga bagi Adriyan selain murajaah, sambil tetap disetorkan.
Peran Orang tua
Kita semua tau, kisah yang terbaik—sebagaimana kisah Nabi Yusuf As dalam Alquran—bukanlah yang lurus, mulus, tanpa aral rintangan, melainkan kisah yang berliku dan penuh cobaan. Begitu pun masa lalu Adriyan, prosesnya menghafal Alquran di PTYQA bukan tanpa halangan dan kesulitan.
Sesekali Adriyan merasa bosan, jenuh, dan tidak jarang kesulitan untuk menghafal. Naluri anak-anaknya terkadang menuntut untuk ingin bebas dan tidak ‘terkurung’ di Pondok. Sampai batas terjauh, ia sempat ingin meminta keluar. Dalam kondisi seperti ini, peran orang tua sangat berarti. “Abi terus menyemangatin, di belikan ini, di janjikan hadiah itu, dan tidak henti-hentinya mendukung untuk tetap melanjutkan proses,” tutur Adriyan sambil menceritakan peran Ayahnya.
Begitulah orang tua, kasihnya tiada kenal muara. Segala hal diperjuangkan, demi yang terbaik untuk buah hatinya.
Tidak hanya itu, setahun sekali ketika masa liburan tiba, setiap anak dibolehkan pulang selama 20 hari. Alih-alih diberikan waktu rehat, refreshing, atau sekedar berlibur dari padatnya kegiatan Pondok, Ayahnya justru tetap meminta Adriyan menyetorkan hafalannya setiap hari padanya. Bagi Ayahnya, tidak ada istilah libur bagi seorang penghafal Alquran.
Mutqin Butuh Proses
Di usianya yang masih 16 tahun, kecepatan dan ketepatannya menjawab pertanyaan dewan juri tentu memukau penonton. Sampai akhirnya ia berhasil menjadi juara, mengungguli perwakilan negara lainnya, ialah salah satu klimaks dari rentetan perjuangannya selama ini.
Sebelumnya, ia pernah dua kali mengikuti perlombaan serupa tingkat nasional. Pertama MHQ Nasional di Lombok tahun 2016 dimana ia belum mendapatkan juara, dan kedua di Kalimantan Utara tahun 2017, berhasil berada di peringkat keempat. Sementara di level Internasional, Adriyan tercatat pernah empat kali menjadi perwakilan Indonesia; di Bahrain tahun 2014 (tidak juara), Dubai tahun 2016 (tidak juara), Iran tahun 2017 (peringkat 5), dan Mesir tahun 2018 (peringkat 7).
Tentu saja, keberhasilannya menduduki juara pertama dalam event MTQ Internasional yang diselenggarakan PPMI Mesir tahun ini, menjadi anugerah besar bagi Adriyan.
Setidaknya, deretan event yang pernah ia ikuti cukup membuktikan kualitasnya sehingga ia berulang kali dapat dipercaya. Barangkali kita akan bertanya, usaha seperti apa yang dilakukan sehingga dapat lancar, mutqin, bahkan meguasai ayat-ayat mutasyabihat (yang mirip satu dengan lainnya)?
Alquran, kata Adriyan menirukan ustaznya, bisa diibaratkan seperti onta. Jika tidak kita ikat, akan lepas dan hilang. Begitu pula hafalan kita, bila tidak kita ikat dengan murajaah akan cepat hilang dan lupa. “Maka kuncinya ialah murajaah,” tegasnya.
Namun melakukan murajaah hafalan memang tidak sesederhana mengucapkannya. Sejauh mana ikhtiar ditegakkan, sejauh itu pula hasil akan dituai. Terkadang kita butuh lingkungan dan sistem yang mendukung, bila tidak mampu melakukannya sendiri.
Ketika masih di PTYQA, sebelum ujian kelulusan Alquran, Adriyan bersama teman-temannya di gembleng untuk melakukan murajaah dalam porsi ‘ekstra’. Tiga bulan menjelang ujian, Adriyan wajib memurajaah dan menyetorkan hafalannya 9 juz perhari, setiap hari. Sementara dua minggu mendekati ujian, ia harus menghatamkan 30 juz hafalannya hanya dalam dua hari. Dan ini berlangsung terus-menerus, di usianya yang masih terhitung kanak-kanak, sampai tiba hari ujian dan ia dapat lolos dengan baik.
Namun proses dan perjalanannya bersama Alquran tidak berhenti disitu, setelah lulus PTYQA ia berpindah-pindah melanjutkan jenjang SMP, dari Pesantren Darul Quran Mulia Bogor, lalu di Ma’had Ilmi al-Madinah Solo, sampai di Ma’had Abdullah Ibnu Mas’ud Subang untuk berguru kepada Syekh Ibrahim dari Yaman, perwakilan Haiah Alamiah Alquran di Jeddah. Mencapai mutqin meniscayakan proses yang panjang. Tidak cukup satu dua kali khatam, namun puluhan kali, berkali-kali sampai akhir hembusan nafas kehidupan.
Meluruskan Niat
Sekalipun deretan event MHQ dari berbagai jenjang pernah diikuti, sepenuhnya Adriyan menyadari bahwa itu bukanlah tujuan utama dari menghafal Alquran. Itu semua hanyalah wasilah atau sarana untuk murajaah, agar Alquran senantiasa tetap terjaga.
Motivasi utamanya ialah agar dapat lebih mencintai dan dicintai oleh Allah SWT, disamping agar dapat memberikan mahkota kehormatan kepada kedua orang tuanya di akhirat kelak. Orang tua, dua malaikat tak bersayap yang cintanya tanpa batas, bagi Adriyan sangat pantas untuk diperjuangkan dan mendapatkan kemuliaan melalui jalan Alquran.
Ia juga mewanti-wanti agar tidak mudah terjebak dalam niat yang keliru. Tidak sedikit orang yang menghafal hanya agar disebut sebagai hafiz, imam, ikut perlombaan, dan tujuan-tujuan dunia lainnya. Jika demikian, maka di akhirat kelak akan dicampakkan dalam neraka sebagaimana dalam hadis rasulullah SAW.
“Menghafal Alquran ialah perantara kita agar dapat membaca dengan nikmat, memahami maknanya, serta mengamalkan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Adriyan saat ini tengah menjalani pendidikan tahun terakhir di Ma’had Al-Azhar Mesir. Di usianya yang terbilang muda, ia telah menyelesaikan qiraat ‘Ashim dan sedang mempelajari qiraat dan riwayat lainnya dari para masyayikh di Mesir. Ia bercita-cita, setelah selesai dari Ma’had hendak masuk Fakultas Alquran dan Qiraat Universitas Al-Azhar di Thanta, salah satu fakultas terbaik yang tidak semua mahasiswa dapat masuk kesana.
Di tengah zaman dimana banyak anak muda mendamba tenar dengan berbagai eksistensinya di sosial media, kehadiran sosok Adriyan bersama Alqurannya semoga dapat menjadi inspirasi, teladan, dan syukur-syukur menjadi orientasi bagi anak muda generasi penerus kita.
Laki-laki yang berdiri tegak namun penuh kerendahan hati tersebut bernama Adriyan. Di atas panggung, diiringi gemuruh tepuk tangan penonton, namanya disebut dan dipersilahkan maju, menerima sebuah penghargaan atas suatu pencapaiannya. Kelak, tempat ia berdiri akan menjadi saksi; tentang doa, dukungan, dan keringat perjuangan yang mengantarkannya dapat mengharumkan nama Indonesia di kancah Internasional.
Kata orang bijak, “today is yesterday, tomorrow is today”. Yang terjadi hari ini adalah sebuah hasil dari hari kemarin, sementara esok hari ialah apa yang kita lakukan saat ini. Dalam kisah Adriyan, prestasinya menyabet Juara I MHQ Internasional antar pelajar asing di Mesir tempo hari (27/4), tidak lain karena hasil jerih payah yang diupayakan sebelumnya. Pencapaian tersebut bukan sesuatu yang instan, melainkan dengan proses panjang nan berliku. Sayangnya, tidak banyak yang tahu proses di balik keberhasilannya tersebut.
Lahir di Jakarta tahun 2002, Muhammad Adriyan Hidayat ditempa dalam keluarga qurani. Ayahnya yang juga seorang hafiz, membiasakannya untuk menghafal surat-surat pendek sejak kecil. 3 juz terakhir berhasil ia hafal, sebelum akhirnya masuk SD Pondok Tahfiz Yanbuul Quran Anak (PTYQA) di Kudus, Jawa Tengah.
Di masa inilah, proses dan perjuangan menghafal Alquran yang sesungguhnya dimulai.
Tempaan Keras di PTYQA
Sebagaimana para ulama terdahulu yang hafal Alquran sejak belia, bersama teman-temannya di PTYQA, Adriyan digembleng untuk meniti jalan para ulama tersebut. Di usianya yang masih seumuran anak kelas 1 SD, ketika anak seusianya sibuk bermain-main, hari-hari Adriyan senantiasa diisi dengan menghafal, mengulang, dan selalu berinteraksi dengan kalam Allah, Alquran.
Di PTYQA, ada tiga waktu khusus untuk menghafal. Pagi, sebelum sekolah, untuk menyetorkan hafalan baru. Kemudian sore, selepas pulang sekolah, untuk murajaah, dan malam hari hingga menjelang tidur juga untuk murajaah. Di sini amat jelas terlihat bahwa, PTYQA jauh lebih mementingkan murajaah daripada menyetorkan hafalan baru itu sendiri.
Selain itu, murajaah yang dilakukan tidak asal mengulang, namun juga tetap disetorkan sehingga dapat mengetahui dimana letak kesalahan maupun ketidak lancaran hafalannya. Untuk membentuk kedisiplinan, diterapkan pula sistem yang cukup keras. “Dulu, kalau ada yang tidak setor, pasti dipukul keras dengan kayu. Jika menangis, malah ditambah lagi pukulannya,” kenang Adriyan sambil terkekeh, ketika diwawancarai.
Setelah menjalani proses yang cukup panjang, pada tahun 2010 atau ketika ia menginjak kelas 3 SD, akhirnya hafalan 30 juz Alqurannya selesai. Tiga tahun bukan waktu yang singkat. Itu pun, dengan penuh kesadaran, ia sampaikan bahwa hafalannya belum mutqin. Jika kita bandingkan belakangan, marak sekali iklan daurah cepat hafal Alquran dalam 6 bulan, 3 bulan, bahkan 40 hari. Bagaimana kualitasnya? Mereka yang lebih tahu.
Nampaknya Adriyan pun menyadari bahwa, menjadi hafiz bukan hanya soal telah selesai menyetorkan 30 juz, melainkan upaya apa yang dilakukan setelahnya. Ia telah melewati satu fase, dan bersiap memasuki fase yang lebih serius; murajaah dan melancarkan. Tidak ayal, di masa kelas 4-5 SD nya, tidak ada yang lebih berharga bagi Adriyan selain murajaah, sambil tetap disetorkan.
Peran Orang tua
Kita semua tau, kisah yang terbaik—sebagaimana kisah Nabi Yusuf As dalam Alquran—bukanlah yang lurus, mulus, tanpa aral rintangan, melainkan kisah yang berliku dan penuh cobaan. Begitu pun masa lalu Adriyan, prosesnya menghafal Alquran di PTYQA bukan tanpa halangan dan kesulitan.
Sesekali Adriyan merasa bosan, jenuh, dan tidak jarang kesulitan untuk menghafal. Naluri anak-anaknya terkadang menuntut untuk ingin bebas dan tidak ‘terkurung’ di Pondok. Sampai batas terjauh, ia sempat ingin meminta keluar. Dalam kondisi seperti ini, peran orang tua sangat berarti. “Abi terus menyemangatin, di belikan ini, di janjikan hadiah itu, dan tidak henti-hentinya mendukung untuk tetap melanjutkan proses,” tutur Adriyan sambil menceritakan peran Ayahnya.
Begitulah orang tua, kasihnya tiada kenal muara. Segala hal diperjuangkan, demi yang terbaik untuk buah hatinya.
Tidak hanya itu, setahun sekali ketika masa liburan tiba, setiap anak dibolehkan pulang selama 20 hari. Alih-alih diberikan waktu rehat, refreshing, atau sekedar berlibur dari padatnya kegiatan Pondok, Ayahnya justru tetap meminta Adriyan menyetorkan hafalannya setiap hari padanya. Bagi Ayahnya, tidak ada istilah libur bagi seorang penghafal Alquran.
Mutqin Butuh Proses
Di usianya yang masih 16 tahun, kecepatan dan ketepatannya menjawab pertanyaan dewan juri tentu memukau penonton. Sampai akhirnya ia berhasil menjadi juara, mengungguli perwakilan negara lainnya, ialah salah satu klimaks dari rentetan perjuangannya selama ini.
Sebelumnya, ia pernah dua kali mengikuti perlombaan serupa tingkat nasional. Pertama MHQ Nasional di Lombok tahun 2016 dimana ia belum mendapatkan juara, dan kedua di Kalimantan Utara tahun 2017, berhasil berada di peringkat keempat. Sementara di level Internasional, Adriyan tercatat pernah empat kali menjadi perwakilan Indonesia; di Bahrain tahun 2014 (tidak juara), Dubai tahun 2016 (tidak juara), Iran tahun 2017 (peringkat 5), dan Mesir tahun 2018 (peringkat 7).
Tentu saja, keberhasilannya menduduki juara pertama dalam event MTQ Internasional yang diselenggarakan PPMI Mesir tahun ini, menjadi anugerah besar bagi Adriyan.
Setidaknya, deretan event yang pernah ia ikuti cukup membuktikan kualitasnya sehingga ia berulang kali dapat dipercaya. Barangkali kita akan bertanya, usaha seperti apa yang dilakukan sehingga dapat lancar, mutqin, bahkan meguasai ayat-ayat mutasyabihat (yang mirip satu dengan lainnya)?
Alquran, kata Adriyan menirukan ustaznya, bisa diibaratkan seperti onta. Jika tidak kita ikat, akan lepas dan hilang. Begitu pula hafalan kita, bila tidak kita ikat dengan murajaah akan cepat hilang dan lupa. “Maka kuncinya ialah murajaah,” tegasnya.
Namun melakukan murajaah hafalan memang tidak sesederhana mengucapkannya. Sejauh mana ikhtiar ditegakkan, sejauh itu pula hasil akan dituai. Terkadang kita butuh lingkungan dan sistem yang mendukung, bila tidak mampu melakukannya sendiri.
Ketika masih di PTYQA, sebelum ujian kelulusan Alquran, Adriyan bersama teman-temannya di gembleng untuk melakukan murajaah dalam porsi ‘ekstra’. Tiga bulan menjelang ujian, Adriyan wajib memurajaah dan menyetorkan hafalannya 9 juz perhari, setiap hari. Sementara dua minggu mendekati ujian, ia harus menghatamkan 30 juz hafalannya hanya dalam dua hari. Dan ini berlangsung terus-menerus, di usianya yang masih terhitung kanak-kanak, sampai tiba hari ujian dan ia dapat lolos dengan baik.
Namun proses dan perjalanannya bersama Alquran tidak berhenti disitu, setelah lulus PTYQA ia berpindah-pindah melanjutkan jenjang SMP, dari Pesantren Darul Quran Mulia Bogor, lalu di Ma’had Ilmi al-Madinah Solo, sampai di Ma’had Abdullah Ibnu Mas’ud Subang untuk berguru kepada Syekh Ibrahim dari Yaman, perwakilan Haiah Alamiah Alquran di Jeddah. Mencapai mutqin meniscayakan proses yang panjang. Tidak cukup satu dua kali khatam, namun puluhan kali, berkali-kali sampai akhir hembusan nafas kehidupan.
Meluruskan Niat
Sekalipun deretan event MHQ dari berbagai jenjang pernah diikuti, sepenuhnya Adriyan menyadari bahwa itu bukanlah tujuan utama dari menghafal Alquran. Itu semua hanyalah wasilah atau sarana untuk murajaah, agar Alquran senantiasa tetap terjaga.
Motivasi utamanya ialah agar dapat lebih mencintai dan dicintai oleh Allah SWT, disamping agar dapat memberikan mahkota kehormatan kepada kedua orang tuanya di akhirat kelak. Orang tua, dua malaikat tak bersayap yang cintanya tanpa batas, bagi Adriyan sangat pantas untuk diperjuangkan dan mendapatkan kemuliaan melalui jalan Alquran.
Ia juga mewanti-wanti agar tidak mudah terjebak dalam niat yang keliru. Tidak sedikit orang yang menghafal hanya agar disebut sebagai hafiz, imam, ikut perlombaan, dan tujuan-tujuan dunia lainnya. Jika demikian, maka di akhirat kelak akan dicampakkan dalam neraka sebagaimana dalam hadis rasulullah SAW.
“Menghafal Alquran ialah perantara kita agar dapat membaca dengan nikmat, memahami maknanya, serta mengamalkan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Adriyan saat ini tengah menjalani pendidikan tahun terakhir di Ma’had Al-Azhar Mesir. Di usianya yang terbilang muda, ia telah menyelesaikan qiraat ‘Ashim dan sedang mempelajari qiraat dan riwayat lainnya dari para masyayikh di Mesir. Ia bercita-cita, setelah selesai dari Ma’had hendak masuk Fakultas Alquran dan Qiraat Universitas Al-Azhar di Thanta, salah satu fakultas terbaik yang tidak semua mahasiswa dapat masuk kesana.
Di tengah zaman dimana banyak anak muda mendamba tenar dengan berbagai eksistensinya di sosial media, kehadiran sosok Adriyan bersama Alqurannya semoga dapat menjadi inspirasi, teladan, dan syukur-syukur menjadi orientasi bagi anak muda generasi penerus kita.
Komentar
Posting Komentar