BRCH 35: Tawaran Khatam?


Ahad, 21 April 2019

Tidak seperti biasanya, pagi ini saya dikumpulkan di salah satu kamar bersama beberapa teman saya. Belum tertebak motif di balik ini, sampai satu teman saya nyeplos kemungkinan diminta mengejar khatam tahun ini.

Jika dilihat dari siapa saja yang diajak berkumpul, mungkin saja celetuk teman saya tadi benar. Kami yang berkumpul ialah yang hafalannya telah sampai di kisaran juz 14-16, kecuali Rusdi yang masih di Juz 9 namun pernah sekali khatam dan terhitung lancar. Namun bila ini nanti benar, sejak awal saya akan menolak mentah-mentah tawaran tersebut.

Benar saja, setelah Ustaz Dery memulai pembicaraan, tanpa banyak basa-basi pembicaraan mengerucut pada sebuah tawaran: maukah mengejar khatam dan wisuda tahun ini?

Saya hanya tersenyum. Sejak bertemu Ustaz Asep Maulana, dalam hati telah saya tanamkan untuk tidak lagi terlalu mengejar cepat selesai, namun mengutamakan mutkin. Bukan berapa banyak hafalan yang saya setor, melainkan berapa juz yang saya mutkin dan lancar untuk membacanya.

Itu, idealisme yang saya pasang. Karenanya mengejar khatam tanpa memperhatikan kualitas tentu saja berseberangan dengan idealisme saya. Wisuda tahun ini digelar pada September, artinya saya hanya punya 4 bulan untuk mengejar 15 juz. Hitungan ini belum dipotong masa ujian termin II dan persiapannya sekitar 1,5 bulan. Maka, boleh dikatakan waktu efektif saya hanya sekitar 2,5-3 bulan.

Apakah mustahil?

Tentu saja tidak, bahkan sangat mungkin. Namun hasilnya pasti tidak maksimal. Memaksakan hafalan demi memenangkan target, seringkali meniscayakan kualitas yang buruk. Hal ini sama halnya dengan membiarkan kondisi hafalan saya kelak prematur, bahkan cacat sehingga tidak mudah untuk mengembalikannya lagi.

Namun pertimbangan yang Ustaz Dery sampaikan ternyata tidak main-main. Sebagian besar diantaranya bahkan tidak saya pikirkan sama sekali. Diantara yang beliau sampaikan :

1. Mutqin butuh proses. Mau idealis bisa, tapi di waktu yang sama banyak hal harus dilakukan dalam waktu yang singkat di Mesir. Berani ambil resiko, sambil menyiapkan solusi setelah khatam.

2. Hafalan kalian nanggung. Jika bertahan dengan 
sistem yang ada sampai setelah wisuda, tidak ada yang menjamin semangat yang masih sama. Banyak hal diluar yang menggoda dan menarik-narik. Tidak ada yang menjamin kita masih mampu bertahan?

3. Mutqin ketika meraih titel hafiz, atau meraih titel dulu baru mengejar mutqin sambil berjalan? Pertimbangkan waktu dan semangat. Menjadi penyimak di MAQURAA, memiliki dorongan yang lebih untuk menjadi mutqin, apalagi membawa titel hafiz; besar tanggung jawab untuk murajaah.

4. Ada proses yang jauh lebih utama daripada pengorbanan sebelum khatam, yakni perjuangan setelah khatam. Godaan banyak pasti, namun di sini kita diuji, semakin semangat murajaah atau terlena dengan titel. Mutqin tidak bisa didapat dengan sekali khatam, barangkali di khatam ke-5, 6, dan seterusnya.

5. Untuk mengejar itu, selama ujian harus tetap setor sekalipun sudah tawaquf. Namun porsi murajaah dan ujian kenaikan juz tidak seberat biasanya, disamping amaliyah yang akan dikurangi. Agar tetap fokus.

6. Jika tawaran ini diterima, harapannya dapat fokus dan sabar dahulu. Sabar tidak banyak keluar, sabar tidak nampak di lingkaran pergaulan luar, sabar dari hal-hal yang biasanya sah sah saja dilakukan. 

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, tentu saja hati saya goyah sambil melihat idealisme saya yang tengah di hadapkan dengan realitas yang ada. Seperti namanya, idealisme memang sesuatu yang amat sangat ideal, namun buta dengan realitas juga menjadikan nilai ideal itu sendiri tidak ideal. Bukankah begitu? Saya tidak tahu, hehe. 

Apakah tawaran tersebut lantas saya terima? Kita lihat saja nanti. Doakan yang terbaik, ya. 

Komentar

VIEWERS

Postingan Populer