Bunga Rampai Catatan Harian (11)
Sabtu, 16 Desember 2017
Adakalanya bahagia sesederhana kita mengerti bagaimana harus
bersikap. Ketika tidak semua hal harus ditanggapi dengan sebuah pernyataan.
Sebab, diam juga tidak selamanya berarti apatis atau masa bodoh. Terkadang,
memilih diam adalah menentukan sikap untuk berdamai, ketika berkata sering
menimbulkan luka; ketika mengutarakan acapkali tidak sesuai harapan; dan ketika
menyuratkan sering bertolak dari yang tersiratkan
Kita berharap semua akan baik baik saja. Bagaimanapun, agar
jangan sampai kita berhenti berkontribusi, dibelahan bumi mana saja kaki kita
dipijakkan. Tidakkah masa muda kita terlalu berharga? Sekedar habis dalam
persoalan yang, alih-alih meringankan sesama, produktif saja sama sekali tidak.
Kecuali sedikit sih, hehe.
Ahad, 17 Desember 2017
STUDI KE BARAT
Ditengah gejolak kegelisahan dalam memaknai beberapa
perbedaan paham antara Saudi-Mesir, saya kembali dihadapkan pada bayangan masa
depan yang sesegera mungkin harus dituliskan. Bermula dari cerita Nabila yang
menemukan atau bertemu tante-tante Indonesia di Italy. Lama tinggal di Italy,
Tante tersebut dan keluarganya sudah tidak lagi sholat walaupun masih mengaku
muslim. Tidak perlu lama mencari sebab. Walau demikian, bukan ranah saya untuk
menarik kesimpulan. Namun, sudah menjadi mafhum bahwa humanisme di Barat telah
menggeser posisi agama. Ia yang mulanya berteduh di rumah agama, dalam istilah
Hamid Fahmy Zarkasy, telah meninggalkan bahkan menghujatnya. Tidak peduli
agamamu, selama baik dengan yang lain, orang akan menganggapmu baik pula.
Literally, bukan itu sih pokok gelisah saya. Hehe. Melainkan, perihal mimpi untuk melanjutkan
studi di Barat yang pernah tumbuh, apakah mesti disuburkan kembali?
Kalau Grand Syekh Al Azhar sekaliber Ahmad Tayyeb saja,
ketika ditawari mengajar di Sorbonne lebih memilih untuk kembali ke Mesir sebab
tidak tahan godaan, bagaimana dengan saya? Apakah iman saya yang lebih sering
surut daripada naiknya dapat sedemikian kuat membentengi diri dari ganasnya
pergaulan? Apakah intelektualitas dapat seiring dengan spiritualitas ditengah
kebebasan yang amat lantang disuarakan? Bagaimana dengan kaidah ushul, ‘dar’ul
mafasid muqoddamun ‘ala jalbil masholih’ ?
Adalah benar bahwa kita tidak boleh menutup diri. Bahkan
dibalik kemajuan Barat yang sarat dengan ‘jasa’ cendekiawan muslim, ialah sikap
tidak menutup diri mereka pada peradaban islam dahulu. Hanya saja, saya amat
takut, bagaimana bila dalam perjalanan intelektual saya kelak, tiba-tiba Allah
memanggil saya tepat disaat rasa skeptis dan bimbang, yang sarat dengan wordview
barat, menghantui dan belum tuntas terselesaikan? Tidakkah saya hanya akan
sangat merugi? Saya rasa ini bukan paranoid. Hanya membuka dan memikirkan
beberapa kemungkinan yang akan terjadi, sehingga mematangkan dalam
pertimbangan.
Saya jadi teringat perkataan Ust Muhammad Rofiq bahwa, “Wa
lillahi Al Masyriqi wa Al Maghribi” (Milik Allah lah timur dan Barat).
Beliau sekarang sedang menempuh program doktoralnya di Arizona State University
(ASU) Amerika. Kami bertemu di Darul Arqam akhir kelas 6 dulu ketika beliau
menjadi pemateri. Terus terang beliau membuka banyak pikiran saya. Selain
sama-sama lahir dari rahim Mu’allimin, beliau juga lulusan Al Azhar. Kendatipun
demikian, keputusan beliau memilih belajar studi islam di Barat meninggalkan
skeptis pada saya. Sekalipun sama sekali saya tidak menafikkan sosok Muhammad
Iqbal, Al Attas, Hamid Fahmy Zarkasy, Syamsudin Arif, dan banyak lagi tokoh
yang mengukir perjalanannya di Barat menjadi catatan emas bagi perkembangan
peradaban Islam dewasa ini.
Maka segera saya cari FB beliau dan menelusurinya. Lalu
muncul setidaknya akan ada beberapa hal
yang harus saya lakukan :
1.
Kirim e-mail ke beliau.
Curhat dan konsultasi
2.
Menggiatkan kembali FB.
Banyak alumni hebat aktif dan harus ditelusuri
3.
Menekuni bahasa inggris. Berani
membuat target.
Senin, 18 Desember 2017
Hari ini saya mengikuti seminar Sejarah dan Peradaban Islam
dengan nekat. Sehari sebelum dimulai saya baru mendaftar dan panitia mengatakan
overload. Bagi saya itu bukan larangan sehingga saya tetap datang. Kalau
persoalannya tempat, toh tidak semua orang berfikiran seperti saya. Maka
satu-dua orang ndesel saya rasa tiada berdampak. Lagipula mustahi panitia
menolak kedatangan saya jauh-jauh hanya karena belum mendaftar. Hehe
Hadir sebagai pembicara Ust Indra Gunawan. Walaupun orang
Indonesia, ketika munaqosah tesis kemaren, seorang Wakil Rektor sampai datang
menikmati pemaparan beliau. Calon pakar sejarah InsyaAllah. Diawal penyampaian,
beliau menyentak kami dengan sebuah kalimat,“Mesir adalah tempat paling kejam
dalam merubah pola pikir atau prinsip seseorang”.
Secara refleks saya manggut-manggut. Benar juga. Barangkali
pertentangan batin saya terhadap beberapa paham di Mesir, hanya soal waktu akan
berubah sebaliknya. Apakah 3-4 tahun lagi saya akan berubah 180 derajat, tentu
saya tidak tau. Bagaiamanapun ini akan menjadi perjalan intelektual yang
menarik.
Disampaikan pula bahwa sebagai masisir, setidaknya akan ada
5 hal yang akan didapat. Diantaranya adalah :
1.
Akademis
2.
Organisatoris
3.
Spiritual-Intelektual
4.
Bisnis
5.
Cinta
Seorang masisir disebut luar biasa bila dapat mengumpulkan
kelimanya pada dirinya. Atau setidaknya mendapat tiga hal. Bilamana hanya satu
atau dua cukup dikatakan merugi. Dalam hati saya tersenyum. Beliau memang
berbicara sesuai pengalaman. Untuk tiga pertama, suatu kemutlakan bagi saya
harus ada. Sementara poin empat dan lima, saya merasa itu belum terlalu
mendesak. Namun saya tidak akan menutup diri pada keduanya. Suatu saat saya
harus memiliki penghasilan jerih payah tangan sendiri. Suatu saat pula, nanti,
saya harus berfikir bagaimana dunia kedepannya, salah satunya, dengan
menghadirkan keturunan saya. Hehe.
Komentar
Posting Komentar